Logo
>

QRIS Disorot AS, DPR: Jangan Campuri Urusan Domestik

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun memperingatkan Amerika Serikat agar tidak menjadikan QRIS dan GPN alat tawar dalam negosiasi dagang.

Ditulis oleh Dian Finka
QRIS Disorot AS, DPR: Jangan Campuri Urusan Domestik
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun memperingatkan Amerika Serikat agar tidak menjadikan QRIS dan GPN alat tawar dalam negosiasi dagang. Foto: Dok. Kemenperin.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mengatakan sistem pembayaran nasional seperti Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) tidak seharusnya dijadikan alat tawar dalam negosiasi dagang dengan Amerika Serikat. Ia memperingatkan, intervensi terhadap QRIS dan GPN bukan sekadar soal bisnis, melainkan menyentuh kedaulatan finansial Indonesia.

    “QRIS itu nggak ada kaitannya. Kenapa tiba-tiba dijadikan isu? QRIS itu berbasis rekening debit, bukan sistem kredit seperti yang dijalankan Visa dan Mastercard,” ujar Misbakhun di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat, 25 April 2025.

    Misbakhun mengatakan pengembangan QRIS merupakan bagian dari langkah strategis untuk membangun kemandirian sistem pembayaran nasional, bukan untuk menyaingi dominasi pemain global seperti Visa dan Mastercard. Ia menguraikan hingga saat ini, kedua raksasa pembayaran tersebut masih menguasai sekitar 92 hingga 95 persen pasar transaksi di Indonesia, serta tetap meraup pendapatan miliaran dolar dari pasar domestik. Dengan begitu, menurutnya, tidak ada kompetisi langsung antara sistem pembayaran nasional dengan pemain asing tersebut.

    Misbakhun menekankan pembangunan GPN dan QRIS harus dipahami sebagai bagian dari upaya memerdekakan sistem keuangan nasional dari ketergantungan global. Ia mempertanyakan mengapa upaya kedaulatan ini justru diintervensi oleh pihak luar, padahal tujuannya murni untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional.

    Misbakhun dengan tegas menolak jika pengembangan sistem pembayaran domestik diperlakukan sebagai bahan negosiasi politis. “Kalau Visa dan Master mau bersaing, silakan bersaing dalam ranah bisnis. Tapi jangan mainkan kebijakan dan tekan negara lain agar tunduk. Kita negara berdaulat, sistem kita dibangun untuk kepentingan nasional,” katanya.

    Sementara itu, negosiasi kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump masih berlangsung antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. Laporan 2025 National Trade Estimate (NTE) dari USTR menyoroti keberatan sejumlah perusahaan AS atas implementasi QRIS dan GPN, dengan alasan kurangnya konsultasi dan potensi hambatan bagi pelaku usaha asing.

    USTR Soroti TKDN dan QRIS

    Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tengah merampungkan pembahasan tarif impor dengan pemerintah Amerika Serikat. Kedua negara sepakat memberi tenggat waktu selama 60 hari untuk menyelesaikan isu kebijakan tarif resiprokal yang kian memanas sejak awal tahun.

    Amerika Serikat saat ini menerapkan tarif tinggi—mencapai 32 persen—terhadap sejumlah produk asal Indonesia. Pemerintahan Donald Trump beralasan kebijakan ini merupakan langkah untuk menyeimbangkan neraca perdagangan yang dinilai merugikan AS. Washington menuding Indonesia selama ini menjalankan kebijakan tarif dan non-tarif yang dinilai mempersulit produk dan kepentingan AS masuk ke pasar dalam negeri.

    Pernyataan tersebut ditegaskan dalam laporan tahunan bertajuk 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang diterbitkan oleh United States Trade Representative (USTR). Laporan ini merinci sejumlah keluhan yang secara spesifik ditujukan kepada Indonesia, mulai dari bea masuk yang dianggap melampaui batas ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) hingga regulasi yang dianggap memberatkan pelaku usaha asing.

    Salah satu poin yang disorot adalah tarif impor untuk produk teknologi komunikasi berkode HS 8517, seperti peralatan switching dan routing. Meski tarif terikat di WTO seharusnya nol persen, Indonesia disebut masih mengenakan bea masuk sebesar 10 persen.

    USTR juga menyoroti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2023 yang menaikkan bea masuk terhadap sejumlah barang kiriman. Perubahan ini dinilai meningkatkan beban bagi pelaku usaha, khususnya sektor e-commerce lintas negara.

    Keluhan lainnya datang dari sektor perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak dianggap menjalankan proses yang tidak transparan, mulai dari sistem penilaian pajak yang rumit, hingga mekanisme sengketa yang lambat dan tanpa preseden hukum yang jelas. Ketentuan dalam PMK Nomor 41 Tahun 2022 mengenai PPh Pasal 22 juga dipersoalkan, terutama karena penambahan jenis barang yang dikenai pajak, yang menurut pengusaha AS membuat proses klaim kelebihan bayar bisa memakan waktu bertahun-tahun.

    Selain itu, kebijakan cukai terhadap minuman beralkohol impor turut dipermasalahkan. Produk luar negeri dikenakan tarif yang lebih tinggi hingga 52 persen dibanding produk lokal, tergantung dari kadar alkoholnya. USTR menyebut ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap produk asing.

    Keluhan AS terhadap Indonesia. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com

    Amerika Serikat juga menyoroti sistem perizinan impor di Indonesia. Perubahan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas dianggap telah menciptakan hambatan non-tarif baru karena prosedur perizinan yang tumpang tindih. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa kebijakan ini mempersempit akses pasar bagi pelaku usaha AS.

    Kebijakan sertifikasi halal juga masuk dalam daftar keluhan. Perpres Nomor 6 Tahun 2023 mewajibkan semua obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang dijual di Indonesia harus bersertifikat halal, termasuk seluruh proses produksinya. Pemerintah AS menilai kebijakan ini dibuat tanpa konsultasi yang memadai dan tidak selaras dengan standar halal internasional yang telah disepakati banyak negara.

    Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) juga ikut menjadi sorotan. AS menyampaikan kekhawatiran karena regulator Indonesia, yakni Bank Indonesia, tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional dalam proses penyusunan kebijakan tersebut. Hal ini dinilai berpotensi merugikan perusahaan teknologi dan keuangan asal AS yang ingin beroperasi di Indonesia.

    Tak ketinggalan, aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) juga dikritisi. Pemerintah Indonesia dianggap memberlakukan batasan lokal yang menghambat masuknya produk-produk telekomunikasi dan elektronik dari perusahaan AS ke pasar domestik. Pemerintah AS secara terbuka meminta Indonesia menghapus kebijakan tersebut.

    Secara keseluruhan, laporan USTR mencerminkan kekhawatiran Negeri Paman Sam terhadap meningkatnya kebijakan proteksionisme di Indonesia dan menyerukan agar seluruh hambatan ini dapat segera dihapus dalam kerangka perundingan dagang yang adil dan saling menguntungkan. Pemerintah Indonesia hingga kini belum memberikan tanggapan resmi atas laporan tersebut.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.