Logo
>

Ramal Penjualan Eceran Mei 2025 Meningkat: Data April Sebaliknya

Disonansi antara fakta data dan narasi resmi otoritas moneter

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Ramal Penjualan Eceran Mei 2025 Meningkat: Data April Sebaliknya
Ilustrasi pekerja

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Data penjualan eceran nasional menunjukkan tanda-tanda pelemahan konsumsi rumah tangga, di tengah proyeksi optimistis Bank Indonesia untuk bulan Mei 2025. Indeks Penjualan Riil (IPR) April 2025 tercatat sebesar 235,5—turun 5,1 persen dari Maret dan juga lebih rendah 0,31 persen dibandingkan April tahun lalu.

    Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti adanya disonansi antara fakta data dan narasi resmi otoritas moneter.

    “Judul siaran pers Bank Indonesia menonjolkan kenaikan Mei, tapi tidak menyoroti penurunan April yang sudah pasti terjadi. Padahal itu penting untuk menggambarkan realita pelemahan daya beli,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin 16 juni 2025.

    Bank Indonesia memang mencatat, penjualan eceran pada Mei 2025 diprakirakan tumbuh 2,6 persen secara tahunan menjadi IPR 234,0. Namun, secara bulanan, masih akan turun 0,64 persen dari April. Dengan kata lain, kontraksi penjualan tetap berlanjut.

    Awalil menyebut, meskipun proyeksi menunjukkan arah positif, tren aktual dalam beberapa bulan terakhir mengindikasikan lemahnya pembelian masyarakat. “

    Penurunan yang terjadi pada kelompok barang-barang non-pokok seperti perlengkapan rumah tangga dan budaya hiburan bukan hanya soal fluktuasi, tapi refleksi atas tekanan ekonomi yang lebih dalam,” ujarnya.

    IPR yang digunakan sebagai indikator konsumsi rumah tangga itu mencerminkan volume penjualan dibandingkan tahun dasar 2010. Nilai indeks 235,5 berarti penjualan riil April 2025 setara 235,5 persen dari total penjualan pada tahun tersebut.

    Secara sektoral, hanya tiga kategori barang yang mencatat indeks di atas 100: Makanan, Minuman dan Tembakau (334,8), Suku Cadang dan Aksesori (137,3), serta Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (104,0). Namun, ketiganya juga mengalami penurunan dari bulan sebelumnya.

    Khusus kelompok makanan, meskipun masih memimpin dari sisi IPR, sudah turun dari puncaknya di bulan Maret (350,3). Penurunan ini bahkan diprediksi berlanjut pada Mei. Kategori suku cadang pun demikian.

    “Kalau kita lihat, nilai saat ini jauh lebih rendah dibanding masa prapandemi. Artinya, belum ada pemulihan konsumsi barang sekunder di sektor otomotif,” jelas Awalil.

    Empat kategori lainnya justru mengkhawatirkan karena berada di bawah indeks 100. Peralatan Informasi dan Komunikasi berada di angka 92,4, dan diperkirakan turun menjadi 90,9—terendah dalam lebih dari satu dekade. Padahal pada 2016–2017, kelompok ini sempat melampaui indeks 400.

    Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya bahkan mencatat rekor terendah sepanjang masa dengan nilai 82,3, meski sedikit membaik di prakiraan Mei (86,9). Adapun Barang Budaya dan Rekreasi stagnan di kisaran 59 selama lima tahun terakhir. Barang Lainnya, termasuk sandang, juga konsisten di bawah 100 dengan nilai April sebesar 88,2.

    “Penurunan IPR secara konsisten dalam kategori non-pokok ini mengindikasikan daya beli masyarakat masih lemah. Bahkan jika inflasi rendah, kenyataannya masyarakat tetap menahan konsumsi untuk kebutuhan sekunder dan tersier,”kata Awalil.

    Bank Indonesia menjelaskan bahwa survei ini dilakukan di sepuluh kota besar, melibatkan 700 pengecer di pasar modern dan tradisional. Dengan cakupan dan metodologi seperti itu, SPE menjadi alat penting untuk menangkap dinamika konsumsi rumah tangga secara cepat. Namun menurut Awalil, pemerintah perlu mencermati data ini lebih serius.

    “Tren penurunan bukan hanya siklikal. Kita sedang melihat konsumen yang semakin berhati-hati, baik karena pendapatan yang stagnan, ketidakpastian pekerjaan, atau beban utang yang tinggi,” ujarnya.

    Dalam konteks makroekonomi, pelemahan konsumsi rumah tangga berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Terlebih konsumsi menyumbang lebih dari 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

    “Kalau narasi resmi hanya fokus pada proyeksi kenaikan, kita bisa kehilangan arah kebijakan. Yang dibutuhkan sekarang adalah intervensi untuk memperkuat daya beli, bukan sekadar menunggu rebound yang belum tentu datang,”pungkas Awalil.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.