KABARBURSA.COM - Asosiasi peternak sapi perah mengeluhkan tumpang-tindihnya regulasi persusuan akibat sektor ini diurus lintas kementerian. Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, menanggapi keluhan ini. Ia mengungkapkan, isu tersebut juga menjadi perhatian komisinya yang tengah mengkaji Undang-Undang Peternakan.
"Mengemuka di kita, di Komisi IV itu soal revisi undang-undang peternakan," kata Rosihan saat ditemui KabarBursa.com di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 12 November 2024.
Rosihan berharap pembahasan revisi UU Peternakan dapat terus berjalan. Menurutnya, keluhan perihal regulasi persusuan bisa segera teratasi. Ia menyebut hal ini merupakan inisiatif Komisi IV agar permasalahan serupa dapat diantisipasi dari sisi regulasi.
Begitu pun dengan rencana audit yang sebelumnya disuarakan Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, perihal impor persusuan. Rosihan menilai audit tersebut perlu dilakukan setelah Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Badan Gizi Nasional (BGN) menyelesaikan komposisi susu untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
[caption id="attachment_99053" align="alignnone" width="991"] Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa. Foto: dpr.go.id.[/caption]
"Soal audit segala macam, ini kan nanti kita bicara ketika bagaimana komposisi, kita kan belum tahu dari Badan Gizi, dari Badan Pangan itu bagaimana menyikapi atau menyusun rencana-rencana makan gizi gratis," ungkapnya.
Melalui kesepakatan yang tercapai dalam forum media pada Senin, 11 November 2024, antara peternak, pengepul, dan pelaku Industri Pengolahan Susu (IPS), Rosihan menilai audit tidak diperlukan jika kesepakatan tersebut dapat diterapkan dengan baik. Ia berharap kesepakatan antara Kementerian Pertanian, Kementerian Sekretariat Negara, dan asosiasi peternak sapi perah tersebut bisa dijalankan dengan lancar.
Pasar Susu Segar Lokal Monopsoni
Direktur Ekonomi Digital, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyebut pasar susu segar domestik tengah mengalami kondisi di mana satu pembeli menguasai pasar yang terdiri dari banyak penjual atau Monopsoni. "Pasar susu segar lokal yang cenderung monopsoni sehingga produsen pengolahan susu segar bisa menetapkan kuota pembatasan susu sapi lokal," kata Huda kepada KabarBursa.com, Selasa, 12 November 2024.
Terlebih, kata Huda, ada opsi bagi pelaku IPS untuk melakukan impor yang akan semakin menekan harga jual dari dari produsen susu perah lokal. Ia menilai faktor harga produk luar yang lebih murah dan opsi tersebut ada ketika pemerintah membuka keran impor untuk program MBG.
"Jadi mereka lebih memilih untuk impor susu segar dibandingkan membeli dari lokal. Sedangkan di Indonesia sendiri, cost-nya juga sudah relatif mahal. Jika diminta bersaing dengan susu segar impor, dari sisi harga, kita akan kalah," jelasnya.
[caption id="attachment_99055" align="alignnone" width="1200"] Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda usai menghadiri diskusi media di Kantor Amar Bank, Jakarta, Rabu, 6 Maret 2024. (ANTARA/Rizka Khaerunnisa).[/caption]
Impor untuk sapi perah sangat sangat menguntungkan bagi importir sapi dan perusahaan susu dalam negeri. Dalam hal ini, Huda menyebut para peternak sapi perah lokal yang sengsara lantaran tertekan akibat impor sapi perah program Presiden Prabowo Subianto.
"Jadi komplit, dari sisi anggaran kurang dan dari sisi produksi masih belum memenuhi permintaan akibat program. Jadi buat apa dikampanyekan lagi perihal susu gratis ini jika hanya menguntungkan pengusaha susu sapi dan importir sapi perah," ujarnya.
Program MBG yang memuat komoditas susu sapi segar, Huda menilai pemerintah perlu meninjau ulang manfaatnya bagi masyarakat secara luas atau hanya menambah beban negara plus impor. Kedua, pemaksaan impor susu harus memenuhi standar yang berlaku seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM, sertifikat halal, serta standarisasi lainnya.
Adapun hal itu beririsan dengan rencana pemerintah yang hendak membawa perusahaan besar sapi perah asal Vietnam untuk berinvestasi di dalam negeri. Jika impornya sapi perah, kata Huda, pemerintah juga perlu mengecek sapinya sehat atau tidak, tata cara pemerasannya, hingga lingkungan sapinya seperti apa nanti.
"Jadi secara akal, impor susu atau impor sapi ini hanya menguntungkan beberapa pihak. Badan Gizi Nasional ataupun Bulog yang akan menikmati rente impor ini. Rusak memang," kata Huda.
Aksi Buang Susu Lokal
Sebelumnya, akun sosial media X, @NenkMonica, mengunggah video amatir sejumlah peternak sapi perah lokal membuang hasil panennya. Dalam keterangan unggahannya, akun tersebut menyebut para peternak sapi alas Pasuruan itu terdampak pembatasan jumlah pengiriman susu ke industri.
Industri disebut lebih memilih menggunakan produk susu sapi perah impor ketimbang produksi para peternak lokal. “Susu yang ada di dalam negeri terbuang percuma. Peternak sapi di Pasuruan membuang susu karena adanya pembatasan jumlah pengiriman susu ke industri pengolahan susu. Industri juga lebih memilih menggunakan susu impor dari pada susu dalam negeri,” tulis @NenkMonica di akun X, dikutip Sabtu, 9 November 2024.
Dewan Pakar Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf, mengungkapkan aksi membuang hasil panen susu yang dilakukan peternak lokal bukan hal yang baru terjadi di Indonesia. Protes serupa juga sempat dilakukan peternak sekitar tahun 1980-an. Aksi ini dilakukan dengan alasan yang sama: harga susu sapi segar kalah saing dengan produk impor yang membandrol harga lebih murah.
Kala itu, Rochadi menyebut pemerintahan Orde Baru berinisiatif membuat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 1985. Beleid ini mewajibkan IPS menyerap susu sapi peternak lokal dengan melampirkan bukti serap produk.
“IPS diwajibkan menyerap susu dengan bukti serap lokal. Misalnya kalau dia (IPS) mau impor satu bagian, maka sekian bagian itu diserap dari dalam negeri. Oleh sebab itu, waktu itu aman dengan tentunya kualitas tergantung kepada harga,” ungkap Rochadi.
Akan tetapi, kondisi berubah saat Indonesia mengalami krisis moneter pada 1997. Soeharto menandatangani surat kesediaan menerima bantuan dari International Monetary Fund (IMF) yang berdampak pada terbukanya perdagangan bebas.
“Menandatangani bahwa Indonesia sudah masuk, meratifikasi kebijakan WTO (World Trade Organization) untuk pasar bebas. Jadi tidak lagi ada proteksi. Nah sejak 98 itu sampai sekarang tidak ada proteksi terhadap peternak. Jadi industri pengolah susu bebas, peternak rakyat juga bebas. Nah akibatnya apa? Ya sekarang ini. Jadi tidak ada perlindungan hukum dari pemerintah terhadap pengembangan peternakan rakyat,” beber Rochadi.
Regulasi Persusuan Mandek
Pada 2016, pemerintah berencana membentuk Peraturan Presiden (Perpres) khusus untuk membenahi tata kelola persusuan. Rochadi mengatakan dirinya terlibat dalam perumusan Perpres tersebut. Namun, aturan ini jauh panggang dari api. ”Mandek, enggak jalan-jalan itu,” ujarnya.
Gagalnya penyusunan Perpres tersebut akhirnya membawa peternak sapi perah seperti sekarang. Rochadi menyebut selisih paham tentang kualitas susu masih terus terjadi. Belum lagi, kebijakan persusuan di dalam negeri terlalu semrawut. “Semrawut kalau menurut saya. Jadi enggak ada yang ngatur gitu. Nah itu kondisi yang terjadi sekarang,” katanya.
[caption id="attachment_98779" align="alignnone" width="1179"] Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf. Foto: Instagram @rochadi.tawaf.[/caption]
Rochadi mengatakan pemerintah perlu kembali mengaktifkan Tim Persusuan yang diisi oleh beberapa kementerian teknis terkait. Ada tiga kementerian yang mengatur ihwal persusuan, yakni Kementerian Koperasi, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian. Tim Persusuan ini, kata Rochadi, berguna untuk memberikan kepastian hukum.
“Tiga kementerian ini harus membuat kayak dulu, ada tim persusuhan yang menampung segala persoalan kemitraan, PUSP, Panca Usaha Sapi Perah, masalah kredit, masalah-masalah kaitannya dengan susu, itu ada forumnya. Sekarang enggak ada,” kata Rochadi.
“Jadi kalau misalnya sekarang, dinas atau Kementerian Pertanian membuat kemitraan dengan koperasi, koperasinya ngaco, enggak bisa apa-apa karena ada di luar Kementerian Pertanian,” tambahnya.
Melalui forum itu, para asosiasi peternak susu juga akan merumuskan sekaligus juga mengevaluasi persusuan secara berkala. Tim tersebut nantinya akan menjadi semacam forum Ad-hoc bagi para peternak susu lokal.
“Bekerja misalnya sebulan sekali mengevaluasi penerimaan susu, mengevaluasi kualitas, mengawasi kemitraan. Saling mengisi. Kalau sekarang kan tiga kementerian itu masing-masing kerja, jadi susah,” katanya.(*)