KABARBURSA.COM – Kejaksaan Agung RI resmi menetapkan Muhammad Riza Chalid (MRC) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina tahun 2018–2023.
Penetapan ini disebut sebagai tonggak penting dalam pemberantasan mafia migas yang selama ini diduga menikmati kekebalan hukum.
Ekonom Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai penetapan tersangka terhadap Riza Chalid merupakan momen bersejarah yang meruntuhkan mitos kekebalan mafia migas di Indonesia.
“Selama ini Riza Chalid dianggap tidak tersentuh. Penetapan ini membuktikan mitos itu runtuh,” ujar Fahmy kepada KabarBursa.com dikutip Minggu, 13 Juli 2025.
Fahmy menuturkan, Riza Chalid selama bertahun-tahun diduga menggunakan berbagai entitas anak usaha Pertamina untuk mendapatkan rente dari bisnis migas nasional.
“Modusnya melalui PT Petral di Singapura, tempat dia melakukan permainan impor minyak,” ungkapnya.
Menurut Fahmy, praktik markup juga terjadi dalam proses pengapalan melalui PT International Shipping hingga pengolahan minyak mentah di PT Kilang Pertamina Internasional. Bahkan, pola serupa juga dilanjutkan oleh anak kandung MRC, Muhammad Kerry Adrianto, melalui PT Patra Niaga.
“Kejaksaan menduga kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun per tahun selama lima tahun. Itu angka yang sangat fantastis,” jelas Fahmy.
Ia menyebut bahwa upaya mengungkap peran Petral sebagai sarang mafia migas sempat dilakukan oleh Menteri BUMN era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Dahlan Iskan. Namun, niat itu gagal karena kuatnya perlindungan politik terhadap Petral.
“Dahlan pernah bilang backing Petral sampai langit ketujuh,” ucapnya.
Langkah pembubaran Petral baru dilakukan di era Presiden Joko Widodo berdasarkan rekomendasi Tim Anti Mafia Migas. Namun, lanjut Fahmy, upaya untuk membawa hasil audit forensik ke ranah hukum justru terhenti.
“Saat itu Sudirman Said mengaku dicegah oleh Presiden sendiri untuk menyerahkan hasil audit Petral ke penegak hukum,” kata Fahmy.
Korupsi MRC Terjadi Sejak Lama
Ia menilai penetapan MRC sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung saat ini sangat mungkin terjadi karena restu dari Presiden Prabowo Subianto, yang membawa agenda besar pemberantasan korupsi di sektor strategis.
“Kalau tidak ada komitmen dari Presiden, Kejaksaan tidak akan berani menyentuh MRC,” ujarnya.
Meski begitu, Fahmy menegaskan bahwa penetapan tersangka saja tidak cukup. Ia mendesak Kejaksaan untuk menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama MRC dan segera menangkapnya agar bisa diproses secara hukum.
“Harus diburu, jangan dibiarkan bebas seperti dulu,” tegasnya.
Selain itu, tujuh tersangka lain, termasuk Kerry Adrianto, juga harus segera diproses hingga mendapatkan vonis hukum yang setimpal. Menurutnya, tanpa proses hukum yang tuntas, agenda antikorupsi pemerintahan Prabowo bisa dianggap sekadar retorika belaka.
“Kalau tidak ada proses hukum nyata, maka ini hanya jadi omon-omon saja,” kata Fahmy.
Perjalanan Kasus MRC
Sebelumnya, penetapan Muhammad Riza Chalid sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung membuka babak baru dalam pengusutan kasus tata kelola migas paling kompleks dan merugikan negara dalam sejarah sektor energi Indonesia.
Pria yang selama ini dikenal sebagai raja minyak dan tak tersentuh hukum, kini harus menghadapi proses pidana bersama sejumlah pihak yang diduga ikut terlibat dalam praktik korupsi di tubuh Pertamina.
Kasus ini mencuat setelah Kementerian ESDM mengeluarkan regulasi pada 2018 yang mewajibkan BUMN energi tersebut menyerap minyak bumi produksi dalam negeri. Namun, alih-alih menjalankan kewajiban tersebut, sejumlah pihak di internal Pertamina justru memilih melakukan impor melalui pihak ketiga, dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran dan kualitas bahan bakar yang dipertanyakan.
Melansir dari berbagai sumber, skema korupsi ini berjalan sistematis melalui jaringan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Riza Chalid dan anaknya, Muhammad Kerry Adrianto Riza.
Mereka diduga mengatur pengadaan minyak dan distribusi BBM dari hulu ke hilir. Di antaranya dengan menyewa terminal BBM milik sendiri, seperti PT Orbit Terminal Merak dan PT Tangki Merak, kemudian melakukan pengolahan dan distribusi melalui unit usaha Pertamina seperti PT Kilang Pertamina Internasional dan PT Patra Niaga.
Praktik ini diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun dan menyebabkan kerugian keuangan negara yang sangat signifikan. Kejaksaan Agung menyebut potensi kerugian mencapai Rp193,7 triliun per tahun, yang jika dikalkulasikan selama periode 2018–2023 bisa menyentuh angka lebih dari Rp285 triliun.
Penyimpangan ini antara lain berupa markup harga minyak, manipulasi biaya sewa kapal, hingga pengadaan BBM dengan kualitas rendah namun dijual dengan harga premium di dalam negeri.
Hingga pertengahan 2025, penyidik telah memeriksa sedikitnya 273 saksi dan 16 orang ahli, menyita ratusan dokumen dan uang tunai yang diduga terkait kasus ini.
Dejumlah lokasi penting telah digeledah, termasuk kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM dan rumah pribadi para tersangka. Dari hasil penyidikan, Kejaksaan Agung telah menetapkan total 18 tersangka. Sembilan berasal dari lingkungan internal Pertamina dan anak usahanya, serta sembilan lainnya dari pihak swasta.
Salah satu momentum penting dalam perkembangan kasus ini adalah penetapan tersangka terhadap Riza Chalid dan anaknya, Kerry, pada 10 Juli 2025.
Mereka disebut sebagai aktor sentral yang memainkan peran penting dalam keseluruhan skema. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menyatakan bahwa telah terjadi tujuh bentuk pelanggaran berat dalam praktik bisnis Pertamina, yang juga melanggar setidaknya 15 regulasi, termasuk Undang-Undang Migas, UU Perseroan Terbatas, serta peraturan menteri terkait tata kelola BUMN.
Menanggapi mangkirnya Riza Chalid dari tiga kali panggilan pemeriksaan, Kejaksaan menyatakan akan segera menerbitkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap buronan kakap tersebut. Ia diduga melarikan diri ke luar negeri dan menetap di Singapura, yang memperumit proses hukum. Sementara itu, beberapa tersangka lain telah ditahan untuk memudahkan proses penyidikan lebih lanjut.
Kasus ini dinilai menjadi ujian serius bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang sejak awal menjanjikan penindakan tegas terhadap praktik korupsi, khususnya di sektor energi dan BUMN strategis.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyatakan bahwa proses hukum terhadap Riza Chalid menandai berakhirnya era impunitas mafia migas.
“Kalau tidak ada restu Presiden, penetapan tersangka terhadap Riza Chalid ini tidak mungkin terjadi,” kata Fahmy.
Lebih lanjut, ia meminta agar aparat hukum tidak berhenti pada penetapan tersangka, namun juga memastikan seluruh pelaku utama diproses secara tuntas dan transparan. Ia menilai, jika tidak ada langkah lanjutan berupa penangkapan dan pemidanaan, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi jargon kosong.
Dengan skala kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah dan dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap BUMN energi, kasus ini telah mengguncang fondasi tata kelola migas nasional. (*)