Logo
>

Rupiah Ditutup Melemah, Emerging Markets Asia Loyo

Ditulis oleh Yunila Wati
Rupiah Ditutup Melemah, Emerging Markets Asia Loyo

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kurs rupiah ditutup melemah moderat terhadap dolar AS pada Selasa sore, 15 Oktober 2024, tertekan oleh berbagai sentimen eksternal yang bersumber dari Amerika Serikat, Timur Tengah, dan China. Meskipun demikian, berlanjutnya surplus neraca perdagangan Indonesia pada bulan September berhasil menahan laju penurunan mata uang Garuda.

    Rupiah ditutup pada level Rp15.588 per dolar AS pada pukul 15.00 WIB, melemah 23 poin atau 0,15 persen dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya di Rp15.565 per dolar AS.

    Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa penguatan indeks dolar AS pada hari ini didorong oleh data ekonomi yang menunjukkan ketangguhan ekonomi AS.

    "Serangkaian data AS menunjukkan bahwa ekonomi tetap tangguh dan hanya mengalami perlambatan yang sangat sedikit," kata Ibrahim.

    Inflasi AS pada bulan September tercatat sedikit lebih tinggi dari yang diperkirakan, yang membuat pelaku pasar menyesuaikan spekulasi terkait kemungkinan penurunan suku bunga acuan oleh The Federal Reserve (The Fed).

    Komentar dari beberapa pejabat The Fed, termasuk Gubernur Christopher Waller, yang cenderung konservatif juga turut mendukung penguatan dolar. Waller mengungkapkan bahwa meskipun ada tanda-tanda ketahanan ekonomi, ia mendukung pendekatan hati-hati dalam menurunkan suku bunga lebih lanjut.

    "Dasar saya tetap menyerukan pengurangan suku bunga secara bertahap selama tahun depan," tambahnya.

    Ketegangan Timur Tengah dan Kelemahan Ekonomi China

    Selain pengaruh dari AS, perkembangan geopolitik di Timur Tengah turut memberikan tekanan pada rupiah. Israel meluaskan serangannya terhadap militan Hizbullah di Lebanon, yang memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan tersebut.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahkan menyatakan kesiapan untuk menyerang target militer Iran, meskipun bukan infrastruktur nuklir atau minyak negara tersebut. Ketegangan ini meningkatkan permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS.

    Sementara itu, data ekonomi dari China menambah beban pada mata uang regional, termasuk rupiah. Neraca perdagangan China tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan karena ekspor melambat tajam. Disinflasi yang berlanjut di China, meskipun direspons oleh langkah-langkah stimulus fiskal baru dari Beijing, hanya memberikan dukungan sementara pada sentimen pasar.

    Surplus Neraca Dagang Indonesia Menahan Pelemahan

    Di sisi domestik, tren surplus neraca perdagangan Indonesia masih menjadi faktor positif yang membatasi pelemahan rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia untuk bulan September 2024 mencapai USD3,26 miliar. Ini menambah rekor surplus neraca perdagangan yang telah berjalan selama 53 bulan berturut-turut.

    Secara kumulatif, surplus neraca dagang Indonesia pada periode Januari—September 2024 tercatat sebesar USD21,98 miliar.

    "Surplus ini menjadi sentimen positif yang menahan laju penurunan rupiah di tengah tekanan eksternal," ujar Ibrahim.

    Meskipun tekanan dari faktor eksternal masih signifikan, daya tahan ekonomi domestik dan surplus perdagangan terus menjadi penopang penting bagi rupiah, setidaknya dalam jangka pendek.

    EM Asia Ikutan Loyo

    Mata uang negara-negara emerging market (EM) di Asia mengalami pelemahan pada akhir sesi perdagangan Asia, hari ini. Baht Thailand dan peso Filipina memimpin penurunan ini, diikuti oleh ringgit Malaysia, seiring penguatan dolar AS yang mendekati puncak tertinggi dalam dua bulan terakhir. Investor semakin berhati-hati menjelang rilis keputusan kebijakan moneter yang penting dari beberapa bank sentral di Asia.

    Indeks dolar AS (Indeks DXY) tetap berada sedikit di bawah puncaknya pada level 103,36, tertinggi sejak 8 Agustus. Penguatan dolar ini didukung oleh ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) tidak akan melakukan pemotongan suku bunga yang agresif dalam waktu dekat, meskipun inflasi tetap tinggi dan pertumbuhan ekonomi AS menunjukkan ketangguhan.

    Hal ini menyebabkan mata uang seperti baht Thailand melemah 0,8 persen, mengalami sesi terburuknya sejak 7 Oktober. Peso Filipina juga turun 0,3 persen, mencapai level terendah dalam lebih dari dua bulan, sementara ringgit Malaysia menyusut 0,3 persen, menyentuh level terendah sejak 13 September.

    Philip Wee, Ahli Strategi Valas Senior di DBS, mencatat bahwa meskipun dolar AS saat ini masih menarik bagi investor, daya tarik ini kemungkinan akan menurun dengan meningkatnya minat pada aset berisiko di pasar global. Namun, hingga rilis kebijakan moneter dari beberapa bank sentral utama di Asia, kehati-hatian tetap mendominasi.

    Fokus pada Bank Sentral Asia

    Investor di Asia sedang menunggu keputusan kebijakan dari bank-bank sentral di Thailand, Filipina, dan Indonesia yang dijadwalkan untuk rilis pada hari Rabu, 16 Oktober 2024. Bank Indonesia diperkirakan oleh sebagian besar analis akan mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah.

    Namun, analis dari ING memperingatkan bahwa volatilitas rupiah dapat meningkat akibat kekhawatiran pasar terhadap anggaran dan rencana pengeluaran pemerintah.

    Pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut dari Bank Indonesia di masa mendatang diantisipasi, tetapi ruang geraknya kemungkinan terbatas karena rupiah yang sesekali melemah. Volatilitas yang terjadi sesekali ini dapat memaksa Bank Indonesia untuk lebih berhati-hati dalam kebijakan pelonggaran yang diambil.

    Di Filipina, bank sentral diperkirakan akan melakukan pemotongan suku bunga dua kali lagi pada kuartal ini, setelah melakukan pemangkasan pertama kali dalam hampir empat tahun pada Agustus. Meskipun peso mengalami pelemahan baru-baru ini, Bank Sentral Filipina diharapkan untuk mengikuti kebijakan pelonggaran The Fed dengan penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin lagi pada bulan Oktober.

    Sementara itu, Bank of Thailand kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah. Gubernur bank sentral Thailand menekankan kebijakan yang netral dan mengisyaratkan bahwa tidak ada pelonggaran lebih lanjut yang diperlukan dalam waktu dekat, meskipun baht mengalami tekanan jual yang cukup signifikan.

    Tantangan Emerging Markets di Asia

    Pelemahan mata uang emerging market Asia menunjukkan kerentanan negara-negara tersebut terhadap sentimen eksternal, terutama dari AS dan perkembangan geopolitik global. Penguatan dolar AS yang didorong oleh kebijakan moneter The Fed serta ketidakpastian di sekitar pertumbuhan global dan inflasi menciptakan tekanan tambahan bagi mata uang di kawasan Asia.

    Di sisi lain, kinerja pasar saham Indonesia menjadi pengecualian dengan mencatatkan kenaikan sebesar 0,6 persen, mencapai level tertinggi sejak awal Oktober. Ini menandai optimisme pasar di tengah sentimen global yang cenderung negatif.

    Namun, bagi negara-negara emerging market Asia secara keseluruhan, tantangan dalam menjaga stabilitas mata uang masih menjadi perhatian utama, terutama dengan ketidakpastian seputar kebijakan moneter global dan tekanan inflasi yang terus membayangi perekonomian dunia.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79