KABARBURSA.COM – Direktur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan berdampak kepada perlambatan ekonomi di banyak negara, seperti China, Uni Eropa dan Indonesia. Selain perlambatan ekonomi, ketegangan geopolitik juga meningkatkan inflasi dunia.
“Risiko perekonomian global semakin tinggi disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Perry menuturkan, perkembangan politik di Amerika Serikat (AS) kan diikuti arah kebijakan fiscal yang lebih ekspansif dan menerapkan strategi ekonomi berorientasi domestik atau inward looking policy atau strategi perdagangan dengan membatasi perdagangan internasional.
Perkembangan politik di AS juga diprakirakan bakal mengakibatkan penerapan tarif tinggi yang diikuti dengan kebijakan imigrasi yang ketat.
Perry juga memprakirakan proses penurunan inflasi AS akan berjalan lebih lambat sehingga mendorong penurunan suku bunga The Fed AS juga lebih terbatas. Sedangkan untuk kebutuhan pembiayaan defisit fiscal yang lebih besar oleh pemerintah AS bakal memicu peningkatan yield US Treasury, baik untuk tenor jangka pendek atau panjang.
“Perubahan politik di Amerika Serikat tersebut telah berdampak pada menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat secara luas, serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portfolionya kembali ke Amerika Serikat,” jelasnya.
Menurutnya, hal ini berdampak kepada tekanan pelemahan nilai tukar berbagai nilai mata uang dunia dan terjadi aliran keluar portfolio asing termasuk dari negara emerging market.
Penguatan respon kebijakan, kata dia, diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburunya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara emerging market termasuk Indonesia.
Nilai Tukar Rupiah Jeblok
Guna mengantisipasi pelemahan rupiah berlanjut, Perry menuturkan bahwa kebijakan nilai tukar BI diarahkan untuk menjaga stabilitas rupiah dari dampak penguatan dolar AS secara luas.
Perry mengungkapkan bahwa nilai tukar rupiah pada 19 November 2024 melemah sebesar 0,84 persen point to point dari posisi akhir pada bulan sebelumnya.
“Pelemahan nilai tukar tersebut diakibatkan oleh menguatnya mata uang dolar Amerika Serikat secara luas serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portfolio-nya kembali ke Amerika Serikat pasca hasil pemilihan umum di Amerika Serikat,” jelasnya.
Kendati menurun, Perry mengklaim pelemahan nilai tukar rupiah tetap terkendali. Karena, jika dibandingkan dengan level akhir Desember 2023, terjadi deprisiasi sebesar 2,47 persen. Deprisiasi ini, lanjut dia, lebih kecil jika dibandingkan dengan pelemahan Dolar Taiwan, Peso Filipina dan Won Korea yang masing-masing deprisiasinya sebesar 5,26 persen, 5,83 persen dan 7,53 persen.
Perry menjanjikan ke depan nilai tukar rupiah bakal stabil. Hal ini didukung oleh komitmen BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal balik hasil yang menarik, inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga.
Selain itu, BI bakal mengupayakan pengoptimalan instrumen moneter tidak hanya terkait dengan intervensi, baik di pasar spot, forward dan pembelian SBN dari pasar skunder, tapi juga penguatan operasi moneter pro market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia, Sekuritas VALAS Bank Indonesia, dan Sukuk VALAS Bank Indonesia, SRPI, SVPI, dan SUVPI.
BI Tahan Suku Bunga
memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) di angka 6 persen.
Keputusan tersebut diumumkan setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 19-20 November 2024.
“RDG BI memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 6 persen, dengan suku bunga Deposit Facility tetap di 5,25 persen dan Lending Facility di 6,75 persen,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.
Kebijakan ini melanjutkan keputusan serupa pada Oktober 2024. Saat itu, BI juga menetapkan BI Rate tetap di 6 persen usai RDG 15-16 Oktober 2024.
“BI Rate tetap sebesar 6 persen, dengan bunga Deposit Facility 5,25 persen dan Lending Facility 6,75 persen,” ucap Perry pada 16 Oktober 2024 lalu.
Perry menjelaskan, langkah mempertahankan suku bunga acuan ini sejalan dengan target inflasi sebesar 2,5±1 persen pada periode 2024-2025.
“Keputusan ini mencerminkan konsistensi kebijakan moneter untuk menjaga inflasi dalam sasaran serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkasnya.(*)