Logo
>

Rusia-RI Perkuat Perdagangan Bebas, Cuan atau Ancaman?

Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) antara Rusia dan Indonesia membuka peluang ekspor baru, namun juga membawa potensi ancaman bagi sektor lokal yang belum siap bersaing.

Ditulis oleh Dian Finka
Rusia-RI Perkuat Perdagangan Bebas, Cuan atau Ancaman?
Para pembicara duduk dalam sesi pleno Forum Bisnis Internasional Rusia–Indonesia yang digelar di Jakarta, 14 April 2025. Forum ini membahas peluang kerja sama dagang bilateral, termasuk rencana Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) antara kedua negara. Foto: KabarBursa/Dian Finka

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Wakil Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rusia Alexey Gruzdev menegaskan komitmen negaranya untuk memperkuat hubungan dagang dengan Indonesia melalui skema Perjanjian Perdagangan Bebas atas free trade agreement (FTA).

    Gruzdev mengatakan Rusia akan menghapus hambatan perdagangan demi memperdalam kerja sama bilateral. “Kami sangat ambisius terkait Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) ini, jadi kami berupaya sefleksibel mungkin dari kedua belah pihak,” ujarnya di forum bisnis Rusia-Indonesia yang dihadiri KabarBursa.com di Jakarta, Senin, 14 April 2025.

    Ia menambahkan, target utama dari kesepakatan ini adalah mengeliminasi sebagian besar hambatan dagang. Namun, karena masih dalam tahap negosiasi, detail lebih lanjut belum dapat diungkapkan. Menanggapi pertanyaan mengenai tarif timbal balik dari Amerika Serikat dan apakah Rusia akan memanfaatkannya untuk kepentingan bilateral dengan Indonesia, Gruzdev menegaskan isu tersebut seharusnya ditangani secara terpisah.

    “Itu adalah hal yang seharusnya ditangani secara independen, tapi dalam hal ini, FTA (Perjanjian Perdagangan Bebas) justru bisa menjadi jaminan bagi perdagangan bilateral, terlepas dari semua tarif timbal balik,” jelasnya.

    "Kami akan memastikan bahwa setidaknya perdagangan bilateral kami tetap menjadi saluran yang terpisah," imbuhnya.

    Perbandingan peluang dan risiko FTA Rusia-Indonesia. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com. Naskah dan kurasi oleh Alpin Pulungan.

    Gruzdev mengatakan Rusia tidak akan memanfaatkan situasi ketika suatu negara sedang menghadapi tekanan ekonomi dari negara lain sebagai celah untuk mendistribusikan barang. Menurutnya, tindakan semacam itu bukanlah pendekatan yang akan diambil Rusia.

    Pernyataan ini mencerminkan pendekatan Rusia yang berhati-hati namun strategis dalam memperluas kemitraan global di tengah dinamika geopolitik dan ketegangan dagang global. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia akan mengirimkan sejumlah menteri ke Washington DC pada 16 hingga 23 April mendatang sebagai bagian dari upaya strategis menghadapi kebijakan tarif baru yang diberlakukan Amerika Serikat (AS). 

    Langkah ini merupakan penugasan langsung dari Presiden Prabowo Subianto dan bisa dibaca sebagai keseriusan pemerintah dalam menjaga posisi Indonesia di tengah ketegangan perdagangan global.

    Prabowo Kirim Delegasi ke AS

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan delegasi akan bertemu langsung dengan otoritas ekonomi dan perdagangan AS, termasuk United States Trade Representative (USTR), Secretary of Commerce, Secretary of State, dan Secretary of Treasury.

    "Menteri luar Negeri sudah ke Washington dan besok saya, Bu Mari Elka Pangestu serta Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono akan bertolak ke Washington juga. Kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani juga karena ada pertemuan World Bank," ujar Airlangga di Jakarta, Senin 14 April 2025.

    Kunjungan ini dipandang sebagai langkah penting dalam diplomasi ekonomi, menyusul surat resmi Indonesia kepada tiga kementerian di AS yang telah mendapat tanggapan positif. Pemerintah juga telah menyiapkan dokumen non-paper berisi sejumlah isu strategis yang akan menjadi bahan pembahasan dalam pertemuan tersebut.

    Airlangga menjelaskan dokumen itu mencakup berbagai topik penting seperti tarif, hambatan non-tarif, investasi, serta usulan kerja sama timbal balik yang diharapkan oleh Indonesia. Seluruh isu yang berkaitan dengan perdagangan, investasi, dan keuangan direncanakan akan dibahas secara menyeluruh dalam pertemuan itu.

    Ia juga menekankan pentingnya antisipasi atas dampak ketidakseimbangan perdagangan akibat tarif baru, khususnya perlindungan terhadap perusahaan Indonesia yang telah maupun akan berinvestasi di AS. "Seluruh keputusan nanti akan bergantung kepada pembicaraan nanti di Washington," katanya.

    Dampak FTA Rusia–Indonesia, Jembatan Dagang atau Ujian Baru?

    Di tengah dunia yang makin cair secara geopolitik, langkah Rusia mengajak Indonesia menyusun Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) terdengar seperti ajakan nonton film yang sudah lama dinanti: penuh harap tapi tetap bikin deg-degan. Wakil Menteri Perdagangan Rusia, Alexey Gruzdev, datang langsung ke Jakarta dan menyatakan komitmen negaranya untuk menghapus hambatan dagang. Kalimatnya manis: "Kami sangat ambisius," katanya.

    Tentu saja, Indonesia menyambut. Di satu sisi, tawaran FTA dari Rusia ini bisa dibaca sebagai upaya membuka jalur baru di tengah dunia yang sedang sibuk perang tarif. Apalagi Amerika Serikat lagi galak-galaknya soal pengenaan bea masuk terhadap barang-barang dari negara lain, termasuk sekutu dekatnya. Tapi di sisi lain, ketika tarif dibuka dan perdagangan bebas dijanjikan, pertanyaannya selalu sama: siapa yang bakal untung, dan siapa yang bakal megap-megap?

    Untuk Pemerintah: Diplomasi Perdagangan tak Bisa Lagi Instingtif

    Dari perspektif pemerintah, FTA Rusia–Indonesia jelas terlihat seperti angin segar. Saat jalur dagang ke Barat penuh kabut, Timur bisa jadi pelabuhan baru. Tapi untuk bisa mengoptimalkannya, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan nalar umum—bahwa pasar besar pasti menguntungkan.

    Teori gravitasi perdagangan yang disempurnakan oleh Jeffrey H. Bergstrand dalam artikel jurnalnya berjudul The Gravity Equation in International Trade: Some Microeconomic Foundations and Empirical Evidence (1985), memberi petunjuk penting bagi pembuat kebijakan. Berdasarkan model tersebut, perdagangan internasional tidak cukup dijelaskan hanya dengan melihat ukuran PDB dan jarak geografis. Variabel seperti perbedaan harga antarnegara, nilai tukar, dan struktur substitusi produk memiliki pengaruh signifikan terhadap arah dan volume perdagangan.

    Jadi, FTA bukan hanya menghilangkan tarif, tapi juga memengaruhi persepsi harga, stabilitas arus barang, dan keseimbangan neraca dagang. Pemerintah bisa menggunakan model ini untuk memetakan sektor mana yang berpeluang berkembang—misalnya logam dasar seperti nikel dan timah, yang dibutuhkan Rusia untuk teknologi dan pertahanan. Tapi juga harus berhitung pada sektor yang mungkin terpapar barang impor murah dari Rusia, seperti pupuk atau gandum, yang bisa menekan produsen lokal.

    Teori gravitasi dagang. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com. Naskah dan kurasi oleh Alpin Pulungan.

    Dalam konteks ini, FTA bukan sekadar perjanjian, tapi arena ujian akal sehat kebijakan. Pemerintah harus mampu menyusun strategi yang menyeimbangkan keuntungan ekspor dengan perlindungan pasar domestik. Jangan sampai membuka pintu lebar-lebar, tapi lupa pasang pagar di belakang.

    Untuk Investor: Bukan Cuma soal Cuan, tapi soal Cermat

    Sementara itu, bagi investor, kabar soal FTA ini mungkin terdengar seperti peluang. Dan memang benar, pasar baru bisa berarti margin baru. Tapi cuan tidak datang cuma karena tarif dihapus. Model Bergstrand justru mengingatkan investor harus melihat lebih dalam, yakni berapa harga barang kita dibandingkan barang Rusia? Seberapa kuat rupiah terhadap rubel? Apakah produk Indonesia cukup berbeda untuk bisa bersaing?

    Sektor ekspor seperti sawit, logam dasar, dan produk manufaktur mungkin mendapat angin segar, apalagi jika Rusia serius membuka akses pasarnya. Tapi sektor konsumsi atau industri lokal berbasis bahan baku impor perlu waspada. Jika barang Rusia masuk dengan harga lebih murah, efeknya bisa menekan permintaan domestik dan menurunkan performa emiten tertentu.

    Artinya, investor yang cermat tidak hanya membaca laporan keuangan, tapi juga membaca geopolitik. Dalam dunia yang rantai pasoknya saling silang, kabar dari Moskow bisa berdampak ke portofolio di Jakarta.

    FTA Rusia–Indonesia, kalau benar-benar terwujud, bisa menjadi jembatan baru bagi perdagangan luar negeri Indonesia. Tapi ia juga bisa jadi jebakan strategis jika dibaca dengan kacamata yang terlalu polos. Baik pemerintah maupun investor harus bersiap, bukan hanya menyambut peluang, tapi juga mengenali dan mengelola risikonya.

    Dalam diplomasi dagang, harga murah dan pintu terbuka bukan jaminan kesejahteraan. Yang dibutuhkan adalah kalkulasi matang, intuisi yang terlatih, dan keberanian untuk mengakui bahwa perdagangan internasional tak pernah netral—selalu ada yang menang, dan selalu ada yang harus mengevaluasi ulang langkahnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.