KABARBURSA.COM – Saham tambang batu bara tengah menghadapi dilema di mata investor. Di satu sisi, harga yang tertekan dalam dua tahun terakhir membuka peluang akumulasi saham murah berfundamental kuat. Namun di sisi lain, tekanan struktural akibat transisi energi global membuat sebagian besar investor memilih menepi.
Pengamat pasar modal Wahyu Laksono menilai respons investor terhadap sektor batu bara saat ini sangat terpolarisasi. Mereka terbagi antara kelompok yang melihat peluang jangka panjang, dan kelompok yang menilai risikonya terlalu tinggi untuk diambil.
“Kalau kita lihat, investor dengan pandangan kontrarian justru mulai melirik saham batu bara. Mereka percaya bahwa harga saat ini sudah terlalu murah untuk dilewatkan, terutama untuk emiten-emiten dengan kinerja operasional solid,” ujar Wahyu kepada KabarBursa.com, Jumat, 20 Juni 2025.
Wahyu menyebut sejumlah investor jangka panjang mulai melakukan akumulasi terhadap saham-saham batu bara, khususnya yang memiliki rekam jejak kuat dalam efisiensi produksi, manajemen kas yang sehat, dan komitmen dividen yang stabil.
“Meski batu bara menghadapi tekanan, nyatanya sektor ini masih mencetak keuntungan. Emiten seperti ADRO, PTBA, dan ITMG masih menarik bagi investor yang mencari pendapatan pasif lewat dividen,” jelasnya.
Menurut Wahyu, banyak investor melihat bahwa meskipun transisi energi terus berlangsung, permintaan terhadap batu bara—terutama dari negara berkembang—tidak akan hilang dalam waktu dekat.
“Negara seperti India, Vietnam, hingga beberapa kawasan di Afrika masih sangat tergantung pada batu bara untuk listrik. Ini menciptakan ruang eksistensi yang lebih panjang bagi komoditas ini,” katanya.
Mayoritas Masih Wait and See
Namun demikian, Wahyu menekankan bahwa mayoritas investor, terutama institusi besar dan investor yang berorientasi pada prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), justru memilih bersikap wait and see atau bahkan mengurangi eksposurnya di sektor ini.
“Bagi dana pensiun, asuransi, dan institusi global, reputasi itu penting. Batu bara dianggap tidak ramah lingkungan, sehingga mereka lebih memilih sektor energi hijau atau sektor dengan rating ESG yang lebih baik,” ujarnya.
Selain risiko reputasi, sektor batu bara juga menghadapi tantangan lain seperti:
- Volatilitas Harga: Pergerakan harga batu bara yang sangat fluktuatif membuat proyeksi laba menjadi sulit diprediksi.
- Regulasi yang Semakin Ketat: Banyak negara mulai memberlakukan pajak karbon dan pembatasan operasional terhadap sektor bahan bakar fosil.
- Kesulitan Akses Pembiayaan: Lembaga keuangan internasional semakin enggan membiayai proyek batu bara, membuat ekspansi dan peremajaan tambang makin sulit.
- Ketidakpastian Kebijakan Energi: Negara konsumen bisa sewaktu-waktu mengubah peta jalan energi nasionalnya, yang berdampak langsung pada permintaan batu bara.
Investor Kontrarian vs Investor ESG
Wahyu menjelaskan, dua kubu ini memiliki profil risiko dan horizon investasi yang sangat berbeda. Investor kontrarian siap menunggu 3-5 tahun untuk melihat batu bara rebound, sementara investor institusi cenderung menghindari risiko jangka panjang.
“Yang bertahan saat ini adalah investor dengan profil risiko tinggi atau mereka yang bermain jangka pendek di fluktuasi harga. Tapi untuk investor institusional global, saham batu bara cenderung dilihat sebagai sektor yang kehilangan momentum,” jelasnya.
Menurut Wahyu, prospek jangka panjang saham tambang batu bara sangat ditentukan oleh arah kebijakan energi global dan kemampuan emiten untuk beradaptasi.
“Jika emiten batu bara mulai diversifikasi ke sektor energi hijau atau downstreaming batubara, ada potensi revaluasi. Tapi selama mereka hanya bermain di hulu, valuasi mereka akan terus disesuaikan turun oleh pasar,” ujarnya.
Wahyu menilai saat ini adalah momen krusial bagi sektor tambang batu bara. Investor yang masuk harus sadar bahwa ini bukan permainan jangka pendek, kecuali mereka bermain di trading harian atau spekulasi teknikal.
“Kalau ingin masuk ke saham batu bara sekarang, pastikan investor tahu risikonya. Ini sektor yang sedang menjalani tekanan struktural, bukan hanya siklus biasa,” kata Wahyu.(*)