KABARBURSA.COM – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyoroti dinamika kerja sama Indonesia dan Vietnam di Laut Natuna Utara, khususnya terkait klaim sepihak China atas kawasan tersebut lewat sembilan garis putus-putus (nine-dash line).
Menurut Hikmahanto, posisi Indonesia dalam isu ini sudah sangat tegas dan konsisten sejak era Menteri Luar Negeri Ali Alatas.
“Kita tidak pernah mengakui nine-dash line. Itu jelas tertuang dalam Pasal 8 Ayat 1 UU Wilayah Negara,” ujar Hikmahanto di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, Rabu, 23 April 2025
Ia menyebut, dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Indonesia hanya berbatasan yurisdiksi dengan sejumlah negara Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam tanpa menyebut China.
“Jadi, kalau ada pernyataan soal joint development dengan China, saya cukup terkejut. Karena itu bisa saja diartikan sebagai pengakuan terhadap klaim nine-dash line,” tegasnya.
Namun, Hikmahanto melihat pernyataan resmi Indonesia di Washington DC yang menegaskan prinsip UNCLOS dan keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) 2016 menjadi koreksi penting. Putusan PCA tersebut dengan tegas menolak klaim historis China di Laut China Selatan.
Menurut dia, langkah ini juga menjadi faktor pendorong bagi Vietnam untuk menerima konsep dual line—yakni perjanjian batas laut dengan Indonesia tanpa mengakui klaim China.
“Bagi Vietnam, ini peluang menegaskan posisi hukum mereka juga. Karena mereka punya masalah serupa dengan China,” jelasnya.
Hikmahanto memperkirakan, setelah penetapan batas bersama Indonesia, bukan tak mungkin China akan mengajukan protes diplomatik. Namun, menurut dia, sikap Indonesia sudah sangat jelas sejak awal.
“Ini keuntungan kita. Konsistensi Indonesia menjadi dasar kuat dalam setiap diplomasi kawasan,” pungkasnya.
Hanya Alasan Historis
Setelah pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping di Beijing Sabtu pekan lalu, Indonesia dan China mengeluarkan pernyataan bersama perihal kerja sama maritim. Pernyataan tersebut juga mencakup isu sengketa di Laut China Selatan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyampaikan kekhawatirannya ihwal kemungkinan nelayan China diizinkan menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia. Ia menyoroti pembangunan nine-dash line oleh China yang mencakup wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Terlebih China memiliki kapal tangkap ikan dengan fasilitas cold storage dan tonase besar yang dapat mengancam sumber daya perikanan Indonesia.
“Selama ini China ketika membuat 9 dash line tidak didasarkan dari garis pantai lalu menjorok ke depan. Tapi dengan tiba-tiba saja membuat garis imaginer 9 dash line tersebut. alasannya hanya alasan historis karena dahulu kala nelayan-nelayan China mencari ikan sampai ke wilayah 9 dash line itu,” kata Hikmahanto dalam salah satu acara diskusi publik virtual.
Pada era Menteri Luar Negara Ali Alatas, tutur Hikmahanto, langkah China membuat sembilan dash line sempat dipertanyakan kendati tidak menuai jawaban. Hanya saja, saat itu China mengakui kedaulatan Natuna.
Selama ini, ia juga menilai Indonesia tidak pernah menganggap adanya sembilan dash line. Sebab itu, kedaulatan atas wilayah Laut Natuna Utara tidak dapat diganggu oleh China. “Dalam konteks ZEE yang kita akui sebagai hak kita bukan wilayahnya, tapi adalah sumber daya alamnya. Tapi kalau di bawah laut landas kontinennya (minyak dan gas),” ungkapnya.
Hikmahanto juga menjelaskan, setiap kali Indonesia memiliki pemerintahan baru, China selalu mencoba memprovokasi untuk menguasai nine-dash line yang berada di wilayah Indonesia. Ia mengingatkan kejadian serupa pada masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016 hingga 2020. Namun, provokasi tersebut gagal karena Jokowi mengambil langkah tegas dengan mengadakan rapat di KRI Imam Bonjol.
“Sekarang dicoba lagi di era Prabowo. China tetap ingin nine-dash line-nya diterima,” jelasnya.
“Yang jadi masalah sekarang adalah Joint Statement Prabowo dengan Xi Jin Ping, meski itu bukan instrumen hukum, tapi itu mengindikasikan jangan-jangan (menurut China) Indonesia sudah mengakui nine-dash line,” tambahnya.
Menurut Hikmahanto, nilai investasi sebesar Rp157 triliun yang dibawa oleh Prabowo hanya menjadi pemanis dan tidak berkaitan langsung dengan perjanjian tersebut. Ia menilai Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus bertanggung jawab dalam menyiapkan naskah pernyataan bersama.
Meski naskah tersebut diduga disusun oleh pihak China, Hikmahanto berpendapat Kemenlu seharusnya mengingatkan Prabowo mengenai implikasi dari pernyataan bersama tersebut. Hikmahanto pun menilai para pihak yang bertanggungjawab pun harus berani mengundurkan diri atas kelalaian tersebut, mengingat ini menyangkut kedaulatan bangsa dan negara.
Pasalnya, klaim overlapping di nine-dash-line dinilai menjadi modal bagi China untuk mengabarkan dunia internasional bahwa Indonesia telah mengakui keberadaan nine-dash-line . Di sisi lain, Hikmahanto juga mengungkapkan, dua hari setelah joint statement, China melakukan klaim internasional.
“Dengan joint statement itu, dikhawatirkan nelayan-nelayan china boleh saja mengambil ikan di wilayah 9 dash line yang dalam wilayah ZEE Indonesia, dengan fasilitas kapal mereka yang lengkap, ada cold storage, tonase kapalnya besar,” kata Hikmahanto. “Sementara nelayan kita mau ke wilayah China tidak akan mampu karena butuh bahan bakar yang lebih banyak. Kapal nelayan kita juga banyak yang masih tradisional. Tidak menutupi cost dibanding ikan yang didapat."(*)