Logo
>

Sejumlah Bisnis Elon Musk yang Terancam Akibat Perang Dingin dengan Trump

Dari robotaksi, kredit karbon, hingga SpaceX dan Starlink, inilah dampak konflik Musk-Trump yang bisa menggerus bisnis Tesla di banyak lini strategis.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Sejumlah Bisnis Elon Musk yang Terancam Akibat Perang Dingin dengan Trump
Konflik Elon Musk dan Donald Trump mengancam bisnis Tesla, dari proyek mobil otonom, kontrak SpaceX-NASA, hingga izin Starlink di negara berkembang. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Orang terkaya sejagat mungkin akan kehilangan miliaran dolar gara-gara berseteru dengan orang paling berkuasa di dunia politik. Pertarungan Elon Musk dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tak hanya berarti soal ego dua tokoh besar, tapi bisa membuat rencana besar Tesla, SpaceX, Starlink, hingga platform media sosial X tergelincir satu per satu.

Mulai dari uji coba taksi tanpa sopir di Texas, kontrak peluncuran roket NASA, sampai ekspansi satelit ke luar negeri, semua bisa terhambat. Tapi ya, itu semua masih kemungkinan. Tergantung seberapa besar nafsu balas dendam Trump dan seberapa jauh drama ini bergulir.

Analis otomotif dari Telemetry Insight, Sam Abuelsamid, sempat berkelakar mengenaiperseteruan ini. “Karena Trump tak pernah balas dendam ke lawan-lawannya, ya mungkin kali ini dia bakal cuek aja,” kata Abuelsamid, dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 9 Juni 2025.

Tentu itu sindiran. Dalam nada serius, Abuelsamid menilai Elon sedang menuju masalah besar. “Dia sering nyinyir soal subsidi pemerintah, tapi hampir semua bisnis Elon Musk justru sangat bergantung pada dana publik. Jadi, dia rentan sekali.”

Memang, kalau konflik ini berkepanjangan, pemerintah federal juga bisa kena imbas. Tapi jelas, kerugian Musk bakal lebih besar.

Konflik ini muncul hanya seminggu sebelum Tesla dijadwalkan menguji coba armada taksi tanpa sopir di Austin, Texas. Ini momen penting karena penjualan mobil listrik Tesla sedang lesu di banyak negara. Musk butuh kemenangan.

Tapi kalau Trump mau mengganggu, dia cukup ‘bisik-bisik’ ke regulator keselamatan kendaraan agar lebih cerewet soal proyek itu. Apalagi, bahkan sebelum perang kata-kata mereka pecah pada Kamis pekan lalu, Badan Keselamatan Transportasi Jalan Raya Nasional AS (NHTSA) sudah lebih dulu minta data soal performa robotaksi Tesla dalam kondisi jarak pandang minim.

Permintaan ini menyusul investigasi tahun lalu terhadap 2,4 juta unit Tesla yang memakai fitur full self-driving—setelah beberapa kecelakaan, termasuk satu yang menewaskan pejalan kaki.

Juru bicara NHTSA bilang penyelidikan masih berlangsung. “Kami akan mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga keselamatan jalan,” katanya.

Departemen Kehakiman AS juga pernah membuka penyelidikan terhadap keamanan mobil Tesla, meski statusnya belum jelas. DOJ belum memberi komentar.

Harapan Tesla soal masa depan tanpa sopir sempat bikin sahamnya melesat 50 persen sejak Musk mengumumkan uji coba Austin. Tapi Kamis lalu, saham Tesla rontok lebih dari 14 persen karena konflik dengan Trump. Hari berikutnya sempat bangkit 4 persen.

“Lonjakan saham Tesla belakangan ini hampir seluruhnya karena euforia robotaksi,” kata analis Morningstar, Seth Goldstein. “Kalau Elon ribut sama Trump, bisa jadi bumerang.”

Bisnis Kredit Karbon dan Konsumen Setia Mulai Goyah

Di tengah drama Musk vs Trump, ada satu lini bisnis Tesla yang jarang disorot, tapi bisa kena dampak besar, yakni penjualan kredit karbon.

Ketika keduanya saling serang pada Kamis lalu, para senator Republik menyelipkan pasal baru ke dalam rancangan anggaran Trump. Isinya adalah menghapus denda bagi mobil berbahan bakar bensin yang gagal memenuhi standar efisiensi bahan bakar. Padahal, selama ini Tesla mendapat cuan besar dari menjual “regulatory credits” ke pabrikan mobil lain yang tak lolos regulasi itu.

Musk bilang pendapatan dari kredit ini bukan hal besar. Tapi kalau aturan itu berubah, Tesla bakal kehilangan salah satu pilar pendapatannya—apalagi di saat penjualan mobil mereka lagi digerus boikot gara-gara kedekatan Musk dengan Trump.

Padahal, di kuartal pertama 2025, penjualan kredit karbon Tesla melonjak sepertiga menjadi USD595 juta (sekitar Rp9,77 triliun), meskipun total pendapatan perusahaan justru merosot.

Pembeli Loyal Menjauh

Keterlibatan Musk dalam politik sayap kanan juga bikin sebagian pembeli loyal—terutama yang peduli isu lingkungan—menjauh. Mereka adalah kelompok yang dulu memelopori tren mobil listrik, tapi kini malah ramai-ramai memboikot showroom Tesla. Kalau benar Musk sudah menjauh dari Trump, sebagian konsumen mungkin akan balik. Tapi itu pun belum pasti.

Di sisi lain, sempat muncul harapan bahwa pemilih Trump di wilayah konservatif—yang sering disebut red counties—bisa jadi basis pasar baru Tesla. Namun, kini analis mulai pesimistis.

“Setelah kejadian Kamis kemarin, pertanyaan jadi lebih banyak ketimbang jawabannya,” tulis analis TD Cowen, Itay Michaeli, dalam laporan terbarunya. “Masih terlalu dini untuk menyimpulkan dampak jangka panjangnya.”

Awal tahun ini, Michaeli mematok target harga saham Tesla di angka USD388 (sekitar Rp6,36 juta). Tapi sekarang dia turunkan jadi USD330 (sekitar Rp5,41 juta). Pada Jumat lalu, saham Tesla diperdagangkan di kisaran USD300 (sekitar Rp4,92 juta). Tesla sendiri menolak memberikan komentar atas seluruh isu ini.

Efek Domino Konflik Musk-Trump

Masalah buat Elon Musk belum selesai. Setelah Tesla dan kredit karbon, kini giliran SpaceX dan Starlink yang terancam jadi korban konflik gengsi dengan Donald Trump.

Pada Kamis lalu, Trump secara terbuka menyatakan bisa memotong kontrak pemerintah untuk SpaceX—sebuah ancaman besar bagi perusahaan swasta bernilai USD350 miliar (sekitar Rp5.740 triliun) itu yang selama ini menggantungkan miliaran dolar dari proyek-proyek federal.

SpaceX bukan hanya mengirim satelit ke orbit. Mereka juga meluncurkan astronot untuk NASA dan bahkan memegang kontrak misi pendaratan di tahun depan. Tapi kalau Musk punya banyak yang dipertaruhkan, begitu pula Amerika Serikat bisa kena imbasnya.

Soalnya, cuma SpaceX yang saat ini bisa mengangkut kru ke Stasiun Luar Angkasa dengan kapsul Dragon empat penumpang. Alternatifnya adalah Rusia dengan Soyuz-nya. Tentu saja, itu pilihan yang amat rumit secara politik.

Musk tahu kartu truf itu ada di tangannya. Maka ia sempat membalas Trump dengan ancaman akan mulai mempensiunkan kapsul Dragon. Tapi entah ancaman itu serius atau cuma gertakan. Beberapa jam kemudian, lewat balasan di platform X, Musk bilang: “Enggak kok, Enggak jadi.”

Bukan cuma SpaceX, anak usahanya—Starlink—juga ikut terdampak. Bisnis internet satelit ini disebut-sebut turut menuai berkah dari kedekatan Musk dan Trump. Bulan lalu, saat keduanya ke Timur Tengah, Musk mengumumkan bahwa Arab Saudi telah memberi izin layanan Starlink untuk beberapa wilayah.

Kesepakatan lain pun bermunculan. Starlink meraih kontrak di Bangladesh, Pakistan, India, dan negara-negara lain—di tengah ancaman tarif dari Trump terhadap negara-negara tersebut.

Masih belum jelas berapa besar pengaruh politik dalam semua kesepakatan itu atau murni pertimbangan bisnis. Namun pada Jumat lalu, kantor berita Associated Press mengonfirmasi bahwa India telah mengeluarkan lisensi penting untuk Starlink. Ini jadi momentum besar, mengingat lebih dari 40 persen dari 1,4 miliar penduduk India belum punya akses internet.

Iklan X Mulai Balik, tapi bisa Kabur Lagi

Sementara itu, platform X—yang sempat ditinggal pengiklan karena Musk dianggap membiarkan teori konspirasi berkembang—mulai mendapatkan mereka kembali. Mungkin karena takut diserang kelompok konservatif?

Musk bahkan menyebut boikot iklan itu “ilegal” dan menggugat sejumlah pengiklan. Pemerintahan Trump pun ikut campur lewat penyelidikan Komisi Perdagangan Federal (FTC) dan mencurigai adanya koordinasi antar perusahaan iklan besar.

Tapi kini, muncul risiko baru. Kalau Trump ikut-ikutan berbalik arah dari X, bisa-bisa platform itu jadi “zona bahaya politik” buat brand besar.

“Kalau Trump menjauh, X bisa lagi-lagi jadi bahan racun politik bagi merek-merek besar,” kata Sarah Kreps, pakar politik dari Universitas Cornell. “Tapi sejauh ini belum kelihatan tanda eksodus massal. Semua akan bergantung pada seberapa panas konflik ini, seberapa lama bertahan, dan bagaimana akhirnya.”(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).