KABARBURSA.COM - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengalihkan penggunaan energi batu bara menjadi gas pada smelter di Sulawesi. Langkah ini sebagai upaya dekarbonisasi hilirisasi mineral.
Plt Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebutkan, listrik yang diproduksi dari gas mengeluarkan emisi lebih sedikit dibandingkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Namun, menurut Dadan, Kementerian ESDM perlu melakukan kajian lebih mendalam untuk menetapkan jumlah dan kapasitas batu bara yang akan dialihkan dengan gas.
“Saat ini ada beberapa temuan lapangan gas di wilayah Selat Makassar yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik,” ujarnya dikutip Kamis 8 Agustus 2024.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menambahkan bahwa pemerintah membutuhkan investasi senilai USD14 miliar (Rp226,2 triliun asumsi kurs saat ini) untuk memenuhi kebutuhan listrik smelter Sulawesi hingga 2030 dengan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG).
Investasi tersebut meliputi USD10,7 miliar untuk pembangkit; USD2,3 miliar untuk transmisi; dan USD1 miliar gardu induk.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pihaknya berupaya menyediakan energi bersih di Sulawesi, wilayah yang memiliki banyak smelter. Dia menyebut kebutuhan listrik untuk smelter saat ini mencapai 20 gigawatt (GW) dan dipenuhi melalui PLTU.
Menurut Arifin, smelter merupakan industri yang membutuhkan energi besar. Bahkan di Sulawesi sendiri, suatu area smelter yang hanya 4.500 hektare membutuhkan energi listrik hampir mencapai 7 GW.
Sekadar catatan, kebutuhan listrik terbesar di Sulawesi adalah untuk kebutuhan listrik smelter hingga 2030 yang mencapai 11.139 megawatt (MW), dengan rincian 1.000 MW pada 2024, 2.763 MW pada 2027, dan 7.376 MW pada 2030.
"Kita akan menurunkan persentase pasokan listrik untuk smelter ini. Yang sebelumnya menggunakan batu bara kita alihkan dengan menggunakan gas," ujar Arifin.
Alokasi gas akan didapatkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, dengan berakhirnya kontrak gas bumi Donggi Senoro pada 2027 sebesar 337 MMSCF yang dapat dimanfaatkan untuk PLTGU Wellhead baru dengan kapasitas 1.800 MW.
Arifin juga menyatakan sebagian potensi gas bumi dari Lapangan ENI Muara Bakau di Selat Makassar (antara Kalimantan-Sulawesi) sebesar 500 MMSCFD dapat dimanfaatkan untuk membangun PLTGU baru di Palu dengan kapasitas 2.650 MW.
Listrik dari kedua PLTGU kemudian disalurkan melalui transmisi 500 kV untuk menyuplai smelter klaster Huadi di Sulawesi Selatan, Pomala-Ceria (Poci) dan Konawe-Morowali (Kemo) di Sulawesi Tenggara.
"Kita rencana gas dari Kalimantan dan Selat Makassar, kita tarik pipa ke Palu. Di sini kita bangun pembangkit gas, kemudian tarik transmisi. Berakhirnya kontrak gas bumi Donggi Senoro 2027, yang selama ini LNG diekspor terus, kita minta untuk domestik. Dari sini kita bangun pembangkit gas, tarik jaringan lagi sehingga mendukung carbon reduction program di industri smelter," jelas Arifin.
Jika harga gas untuk kedua PLTGU mengikuti HGBT sekitar 6 USD/MMBTU dan toll fee transmisi 3,88 c USD/kWh dengan harga listrik sekitar 11 c USD/kWh maka itu cukup kompetitif, tambahnya.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.