KABARBURSA.COM – Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya menanggapi terbitnya Keputusan Presiden yang membuka kembali keran ekspor bagi sejumlah perusahaan tambang, kecuali PT GAG Nikel. Ia menyebut keputusan itu sepenuhnya berada di ranah pemerintah, namun menegaskan pentingnya pembaruan regulasi untuk menjamin kepastian hukum dan keberlanjutan sektor pertambangan.
"Apapun itu kami kembalikan kepada pemerintah. Yang jelas saat ini keputusannya sudah seperti itu. Tapi di sektor pertambangan banyak aspek yang harus diperhatikan. Ada aspek regulasi, kepatutan, dan yang tak kalah penting adalah aspek sosial," ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 11 Juni 2025.
Menurutnya, kunjungan langsung Menteri ESDM ke Pulau Gag, yang disertai pertemuan dengan gubernur, bupati, hingga masyarakat lokal, memperlihatkan tidak adanya rekayasa dalam pengambilan keputusan. Ia menyebut, Pulau Gag dihuni sekitar 700 kepala keluarga dan dukungan warga merupakan komponen penting dalam menjaga keberlangsungan kegiatan pertambangan.
Fokus Tiga Pilar: Regulasi, Kepatuhan, dan Dampak Sosial
Bambang menegaskan pentingnya pemenuhan terhadap tiga pilar utama dalam sektor tambang: regulasi, kepatuhan terhadap izin, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
"Pertama, apakah aspek regulasi sudah dipenuhi? Kedua, pelaksanaan pertambangannya, apakah sudah sesuai izin dan berkelanjutan? Ketiga, bagaimana dampak sosialnya, termasuk pelaksanaan CSR perusahaan terhadap masyarakat," katanya.
Politisi Partai Golkar ini menilai optimalisasi sektor pertambangan tidak hanya soal manfaat ekonomi, melainkan juga keseimbangan ekologi dan kesejahteraan masyarakat.
“Jadi artinya, manfaat ekonomi dapat, ekologi terjaga, dan masyarakat merasakan manfaat. Harus ada titik temu agar semua pihak diuntungkan,” katanya.
Menanggapi usulan Center of Economic and Law Studies (Celios) agar dilakukan moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) karena potensi over supply, Bambang menyatakan bahwa setiap keputusan harus didasarkan pada kajian menyeluruh, bukan hanya pendapat satu pihak.
“Kalau menurut saya, hal itu silakan dievaluasi. Apakah benar over supply atau tidak, tentu harus ada studi menyeluruh. Tidak bisa hanya dari satu pihak. Ini menyangkut agenda besar bangsa,” tegasnya.
Ia mengingatkan arah pembangunan nasional sudah tercantum dalam dokumen Astacita, yakni delapan cita-cita besar Indonesia. Dalam konteks pertambangan, dua poin penting adalah kemandirian energi (Astacita kedua) dan keberlanjutan hilirisasi sumber daya alam (Astacita kelima).
“Kita tidak boleh berhenti di tengah jalan. Jangan sampai upaya kita menjadi negara maju terhambat oleh kebijakan yang justru menjadi ganjalan,” kata Bambang.
Hilirisasi Nikel Jangan Terbatas pada Metalurgi
Bambang juga menyoroti pentingnya memperluas cakupan hilirisasi, tak hanya pada produk metalurgi seperti nikel matte atau feronikel, tapi juga ke sektor hilir seperti baterai kendaraan listrik (EV). Ia menyebut adanya pengembangan proyek intermediate smelting product and laterite (ISPAL) sebagai peluang besar dalam rantai nilai nikel nasional.
“Hilirisasi tidak boleh hanya berhenti pada metalurgi. ISPAL itu bisa dikembangkan untuk baterai EV, dan ini harus didorong. Jadi yang ditanyakan tadi, harus dikaji secara menyeluruh. Kita harus lihat balance-nya seperti apa,” jelasnya.
Bambang berharap seluruh pemangku kepentingan—dari pemerintah, pelaku usaha hingga masyarakat—bisa duduk bersama mengevaluasi arah kebijakan pertambangan nasional agar tidak saling tumpang tindih dan tetap konsisten dengan visi Indonesia Emas 2045.
“Kalau kita ingin jadi negara maju, sektor strategis seperti ini tidak boleh dikelola setengah-setengah. Keputusan harus berdasarkan data, kajian, dan pertimbangan multipihak. Jangan asal rem, tapi juga jangan asal gas,” katanya.(*)