KABARBURSA.COM - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya semakin mengkhawatirkan, terutama setelah kasus PHK massal yang terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex usai di perusahaan pailit.
Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia ini harus merumahkan 10 ribuan buruh yang terkena PHL usai Sritex berhenti beroperas per 1 Maret 2025.
Pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menyoroti bahwa sejak akhir 2024, sektor ini mengalami tantangan berat. Keterlambatan dalam penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI) dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Vietnam, dan Thailand membuat produk dalam negeri kalah bersaing.
"Penyebab utamanya adalah pengusaha padat karya di Indonesia terlambat menerapkan teknologi AI dibandingkan dengan China, Vietnam, dan Thailand, sehingga barang produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor dari ketiga negara tersebut. Oleh sebab itu," ujar Payaman kepada Kabar Bursa melalui pesan singkat, Senin 3 Maret 2025.
Untuk menghadapi tantangan ini, ia menekankan perlunya langkah konkret dari pemerintah. Pertama, mendorong industri padat karya untuk secara bertahap mengadopsi teknologi AI guna meningkatkan daya saing. Kedua, memberikan berbagai insentif, seperti keringanan impor bahan baku, bunga kredit, dan biaya distribusi, agar industri tetap bertahan.
Selain itu, ia mengusulkan adanya kebijakan khusus yang memungkinkan pengusaha dan pekerja berunding untuk menyepakati penyesuaian upah guna mencegah PHK massal. Pemerintah juga perlu membatasi impor produk padat karya untuk melindungi industri dalam negeri.
Terakhir, Payaman menekankan pentingnya persiapan bagi pekerja yang terdampak otomatisasi. "Mengantisipasi pekerja yang akan digantikan oleh teknoligi AI, Pemerintah mempersiapkan pekerja usaha padat karya untuk alih profesi," katanya.
Industri Tekstil Terancam Remuk
Industri tekstil nasional sedang menghadapi gempuran produk tekstil impor. Masalah ini mengakibatkan banyak perusahaan yang terpaksa pailit karena tidak sanggup bertahan.
Ketua Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai, industri tekstil memiliki potensi dalam memberikan nilai tambah ekonomi.
Besarnya potensi industri tekstil, kata Redma, dapat dilihat dari besarnya keuntungan yang didapat dalam proses produksinya. Dengan harga bahan baku PX (Paraxylene) sebesar Rp5.000 per 0,30 kg, dapat menghasilkan nilai tambah berupa 1 kg pakaian jadi senilai Rp104 ribu atau naik hingga 2.000 persen.
Berdasarkan data APSyFI, kebutuhan konsumsi garmen domestik pada tahun 2023 mencapai 2,26 juta ton. Jika ditambah dengan nilai konsumsi garmen domestik sebesar USD15,18 miliar, artinya nilai ekonomi industri tekstil mencapai Rp235 triliun per tahun (kurs 1 USD sama dengan Rp15.500).
“Dari PX yang cuma Rp5.000 kali kuantitinya, kita beli dari Pertamina hampir 600.000 metrik ton per tahun, jadi total nilainya sekitar Rp10 triliun. Dari Rp10 triliun itu, business size-nya bisa berkembang jadi Rp235 triliun,” jelas Redma dalam keterangan resmi yang diterima Kabarbursa.com, Senin, 13 Januari 2025.
Sumbangan pajak industri tekstil mencapai Rp25 triliun per tahun. Dari jumlah tersebut, industri tekstil memiliki andil yang besar dalam mendorong perekonomian nasional.
Belum lagi kontribusi PPN impor tekstil, salah satunya dari komoditas kapas. Diketahui per tahun 2023, konsumsi kapas di Indonesia mencapai 611.550 metrik ton dengan harga beli Rp31.000 per kilogram. Jika impor kapas berjalan dengan benar, kata dia, pajak yang dapat diterima negara sekitar Rp18,95 triliun per tahun.
“Dari PPN saja bisa mencapai Rp25 triliun. Ini menunjukkan betapa besar multiplier effect dari industri tekstil terhadap ekonomi nasional,” sebut Redma.
Tapi sayangnya, potensi ini menemui jalan buntu akibat masuknya barang impor dan selundupan, terutama pada produk kain dan garmen. Hal ini berdampak langsung pada sektor benang dan polyester yang kini mengalami penurunan kapasitas produksi.
“Kalau baju impor masuk, berarti kain lokal tidak dibutuhkan. Akhirnya kain impor juga masuk, pabrik benang dan polyester pun terkena imbas. Padahal, kapasitas produksi polyester kita cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik, tetapi pabrik-pabrik ini malah tutup karena serbuan impor,” ucap Redma
Ia kemudian mempertanyakan akurasi data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per triwulan III 2024 pada sektor tekstil sebesar 7,43 persen secara tahunan (YoY).
Rupanya hal ini karena besarnya barang impor yang tidak tercatat dan tidak dimasukan dalam perhitungan neraca perdagangan. Sehingga Redma menilai, prodik tekstil impor justru dihitung sebagai produk dalam negeri.
“Itu impor kain dan garmen yang tercatat hanya 50 persennya, seakan neraca kita positif padahal negatifnya sangat besar, tahun ini lebih dari USD2,5 miliar. Faktanya PHK juga terjadi dimana-mana, baiknya pemerintah turun langsung, verifikasi 60 perusahaan yang tutup ini biar jelas,” paparnya.
Redma menyoroti pentingnya kebijakan yang mampu melindungi industri tekstil dari serangan produk impor dan selundupan. Salah satunya dengan memperketat pengawasan di sektor hilir seperti kain dan garmen.
Ia juga mendorong pemerintah untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal dalam berbagai proyek, termasuk pengadaan seragam sekolah hingga kebutuhan pemerintahan.
“Jika impor terus menggempur, pabrik lokal yang memproduksi kain, benang, polyester, PTA, Paraxylene bakal mengalami tekanan berat dan terancam mati,” ujarnya.
Revisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan Pengaturan Impor dapat direvisi.
Menurut Budi, perubahan ini akan bergantung pada hasil evaluasi yang dilakukan bersama kementerian dan lembaga terkait.
"Ini bisa diubah tergantung hasil review-nya. Makanya kami masih terus berdiskusi,” ujar Budi kepada media, saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jakarta, Senin 6 Januari 2025.
Budi menerangkan, perubahan regulasi perdagangan, termasuk Permendag Nomor 8, merupakan hal yang wajar karena aturan harus bersifat dinamis dan menyesuaikan kondisi perekonomian nasional. Ia menyebut, peraturan tersebut dapat diubah sesuai hasil evaluasi.
Budi juga menegaskan, pihaknya terbuka terhadap masukan masyarakat maupun pelaku usaha untuk melakukan peninjauan bersama jika ada rasa ketidakpuasan terhadap kebijakan tersebut.
Dalam waktu dekat, Kemendag akan membahas peraturan tersebut lebih lanjut bersama Kementerian Perindustrian. “Minggu ini kami akan rapat lagi dengan Kemenperin,” sebut politikus Partai Amanat Nasional tersebut.
Bukan cuma Permendag Nomor 8 Tahun 2024, Budi juga akan melakukan peninjauan kembali hingga evaluasi soal regulasi-regulasi lain yang mempengaruhi sektor industri. “Jadi semua Permendag dan kebijakan pasti perlu dievaluasi,” ucapnya.
Diletahui, Permendag Nomor 8 Tahun 2024 merupakan aturan yang mengatur impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dan hanya bisa dilakukan dengan adanya pertimbangan teknis. Di samping itu, lewat Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor 7 Tahun 2024 telah diatur mengenai kuota impor pakaian jadi.
Permendag Nomor 8 Tahun 2024 ditetapkan pada masa Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau sebelum Budi Santoso, tepatnya pada 17 Mei 2024 lalu. Regulasi tersebut dinilai kontroversial karena dianggap menjadi penyebab penutupan perusahaan tekstil dalam negeri semisal PT Sri Rejeki Isman atau Sritex (SRIL). (*)