KABARBURSA.COM - Stimulus yang dilakukan China sepertinya gagal lagi. Paket stimulus terbaru dari konsumen utama ini terbukti tidak memenuhi ekspektasi investor.
Mengutip laporan Reuters di Bengaluru, Senin, 11 November 2024, sebagian besar logam dasar Shanghai merosot. Kontrak tembaga Desember yang paling aktif diperdagangkan di Shanghai Futures Exchange (SHFE) turun 0,8 persen menjadi 76.650 yuan atau setara dengan USD10.665,83 per ton.
Begitu pula alumunium yang melorot 0,8 persen menjadi 21.505 yuan per ton. Nikel ikut jatuh sebanyak 1,6 persen ke posisi 127.510 yuan. Logam lainnya seperti seng, timah, dan timbal, ikut terjatuh, masing-masing 0,9 persen, 0m5 persem dan 0,2 persen. Seng (zinc) berubah menjadi 24.965 yuan, dan timah menjadi 260.320 yuan.
Sedangkan timbal (lead) naik tipis 0,2 persen ke level 16.920 yuan.
Sementara, harga logam lain di London Metal Exchange (LME) menguat. Misalnya tembaga untuk kontrak pengiriman diga bulan, naik 0,4 persen menjadi USD9.478 per metrik ton.
Alumunium di kompleks LME juga naik 0,3 persen menjadi USD2.628,5 per ton. Seng menguat 0,6 persen menjadi USD2.996, timbal naik 0,2 persen ke posisi USD2.028,5. Untuk timah, menyusut 0,5 persen ke level USD31.485, begitu pula dengan nikel yang anjlok 1,1 persen ke level USD16.225.
"Harga tembaga mungkin akan tetap atau tidak berubah pada saat ini, kecuali perumus kebijakan China berbuat lebih banyak untuk menggairahkan perekonomian," kata Kelvin Wong, analisis OANDA untuk Asia Pasifik.
"Tapi, bisa jadi seperti pada tahun 2016, di mana dia (Trump) berenca untuk meningkatkan infrastruktur Amerika, hal itu terus mendongkrak permintaan tembaga," lanjut Wong.
Adapun persediaan tembaga di gudang yang dipantau oleh SHFE merosot 8,8 persen sejak 1 November 2024.
Diketahui, badan legislatif tertinggi China menyetujui paket stimulus jumbo senilai USD1,4 triliun pada Jumat, 8 November 2024. Tujuan dari paket stimulus itu adalah meringankan beban utang tersembunyi pemerintah daerah dari pada menyuntikkan uang secara langsung, seperti yang diharapkan banyak investor.
Sayangnya, paket stimulus jumbo ini sepertinya gagal. Karena, data menunjukkan harga konsumen China tumbuh pada laju yang paling lambat dalam empat bulan sepanjang Oktober. Sementara, deflasi semakin dalam.
Data ekonomi tersebut, lanjut analis ANZ Daniel Hynes, digunakan oleh para investor untuk mengukur permintaan.
Di sisi lain, investor juga khawatir pada kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Mereka khawatir akan terjadi peningkatan ketegangan perdagangan yang pada akhirnya mengancam tarif lebih dari 60 persen untuk semua barang-barag China.
Emas Terus Tertekan, Investor Masih Menunggu
Harga emas terus mengalami penurunan pada perdagangan hari Senin, 11 November 2024, melanjutkan tren pelemahan untuk sesi kedua berturut-turut.
Investor global tengah menantikan data ekonomi Amerika Serikat serta pernyataan dari pejabat Federal Reserve yang dijadwalkan minggu ini. Hal ini diharapkan akan memberikan gambaran lebih jelas terkait arah kebijakan suku bunga di masa mendatang.
Menurut data yang dilaporkan oleh Reuters dan Bloomberg, pada pukul 12:54 WIB, harga emas spot turun 0,53 persen menjadi USD2.670,45 per ons, sementara harga emas berjangka Amerika Serikat melemah 0,68 persen menjadi USD2.676,50 per ons.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pergerakan harga emas saat ini adalah penguatan dolar AS. Indeks Dolar (DXY) tercatat mengalami sedikit peningkatan setelah menguat 0,6 persen minggu lalu, terutama terhadap euro.
Penguatan dolar membuat emas menjadi kurang menarik bagi investor yang memegang mata uang lainnya, mengingat harga emas biasanya lebih tinggi dalam mata uang selain dolar AS.
Analis dari IG Yeap Jun Rong, menyebutkan bahwa harga emas sebelumnya dianggap sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian politik di Amerika Serikat. Namun, hasil pemilu yang lebih cepat dari ekspektasi tampaknya menjadi pemicu pelemahan emas dalam jangka pendek, seiring dengan menguatnya dolar AS.
Selain itu, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat turut memperkuat ekspektasi kenaikan suku bunga di masa depan, yang memicu penurunan harga emas. Kenaikan suku bunga cenderung meningkatkan opportunity cost untuk menyimpan emas, yang tidak menghasilkan imbal hasil seperti aset berbunga.
Pekan ini, pasar juga akan mencermati pernyataan dari sejumlah pejabat Federal Reserve, termasuk Chairman Jerome Powell, yang dijadwalkan untuk berbicara.
Para investor berharap dapat memperoleh petunjuk lebih lanjut terkait kebijakan moneter di masa mendatang, terutama terkait dengan kemungkinan penurunan suku bunga.
Selain pernyataan dari The Fed, sejumlah data ekonomi Amerika yang penting akan dirilis, termasuk indeks harga konsumen (CPI), indeks harga produsen (PPI), klaim pengangguran mingguan, dan angka penjualan ritel.
Data ini akan menjadi indikator penting dalam mengevaluasi kondisi ekonomi Amerika Serikat dan potensi kebijakan suku bunga selanjutnya.
Menurut FedWatch Tool CME Group, peluang terjadinya penurunan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin pada bulan Desember mencapai 65 persen, sementara peluang untuk tidak ada perubahan sebesar 35 persen.
Selain emas, beberapa logam lainnya juga mengalami pergerakan harga.
Harga perak spot turun 0,4 persen menjadi USD31,16 per ons, sementara platinum naik 0,6 persen menjadi USD973,99 per ons, dan paladium menguat 0,9 persen menjadi USD997,41 per ons.
Kenaikan harga platinum dan paladium dapat dikaitkan dengan permintaan industri yang stabil dan ketatnya pasokan.
Di luar Amerika Serikat, China sebagai salah satu konsumen utama logam mulia, mencatatkan kenaikan harga konsumen pada laju paling lambat dalam empat bulan terakhir pada bulan Oktober. Di sisi
lain, deflasi harga produsen di China semakin dalam, meskipun pemerintah setempat telah meningkatkan stimulus ekonomi untuk mendorong pertumbuhan.
Situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, juga menjadi faktor yang mempengaruhi pergerakan harga logam di pasar internasional.(*)