KABARBURSA.COM - Setelah sekian lama dihantui pesimisme, sinyal optimisme mulai bermunculan dari para raksasa keuangan global terhadap prospek ekonomi China tahun ini. Meskipun ancaman tarif dari Amerika Serikat masih menggantung di udara, geliat pemulihan ekonomi Negeri Tirai Bambu yang ditopang stimulus pemerintah ternyata lebih kuat dari dugaan.
Dalam sebulan terakhir, sejumlah bank papan atas seperti HSBC, ANZ, dan Citi kompak mengerek proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China. Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 26 maret 2025, HSBC dan ANZ kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi China mencapai 4,8 persen, sementara Citi sedikit di bawah di angka 4,7 persen. Padahal sebelumnya, ketiganya masih bermain di kisaran 4,2 hingga 4,5 persen. Perkiraan anyar ini makin mendekati target ambisius pemerintah China yang membidik pertumbuhan sekitar 5 persen.
Sementara itu, Morgan Stanley, BBVA, dan Nomura juga ikut-ikutan merevisi prediksi mereka meski tetap lebih konservatif. Ketiga bank tersebut kini mematok angka 4,5 persen, naik dari estimasi awal yang hanya di kisaran 4 persen. Revisi ini tidak datang tiba-tiba. Pekan lalu, China melaporkan serangkaian data ekonomi awal tahun yang bikin kening banyak analis mengernyit—bukan karena bingung, tapi karena kagum. Konsumsi masyarakat yang tercermin dalam penjualan ritel tumbuh lebih cepat, sementara investasi dan produksi industri pun naik melebihi ekspektasi.
Pasar properti yang selama ini jadi titik lemah juga mulai menunjukkan tanda-tanda stabil. Penjualan rumah dari 100 pengembang terbesar naik 1,2 persen pada Februari dibanding tahun lalu, meskipun bulan sebelumnya masih minus 3,2 persen. Ini seperti percikan kecil di tengah bara: belum meledak, tapi cukup memberi harapan.
Tak berhenti di situ, pemerintah China mengumumkan bakal menambah utang untuk mendanai stimulus baru. Fokusnya kini beralih ke penguatan konsumsi domestik lewat peningkatan pendapatan rumah tangga dan jaminan sosial. Ada juga komitmen untuk menjaga stabilitas pasar properti dan saham, meski rinciannya masih disimpan rapat.
Menurut catatan analis HSBC, kombinasi tekad pemerintah yang lebih kuat, respons kebijakan yang lebih cepat, dan data aktivitas ekonomi yang menggembirakan menjadi alasan utama mereka kini lebih optimistis. Dan rupanya bukan cuma para ekonom yang mulai sumringah. Investor yang menjadi klien Goldman Sachs pun mulai melirik China lagi.
Sektor kecerdasan buatan menjadi bintang baru, ditambah pelonggaran regulasi yang membuat sektor swasta bisa bernapas lebih lega. Meski begitu, Goldman tetap mengingatkan bahwa kebijakan masih jadi kunci utama. “Tunas-tunas hijau mulai tumbuh di beberapa sudut ekonomi, tapi hasil akhirnya tetap tergantung dari seberapa serius pemerintah mengawal kebijakan,” tulis mereka.
Di sisi lain, BBVA menyoroti bahwa tarif baru dari AS sejauh ini belum seekstrem ancaman kampanye Donald Trump. Trump memang mengancam akan mematok tarif hingga 60 persen untuk produk-produk China, tapi sejauh ini baru 20 persen yang benar-benar diterapkan. Namun ancaman tetap ancaman. BBVA memperingatkan kalau tarif 60 persen bisa benar-benar terjadi, tergantung dari hasil negosiasi AS-China.
Sayangnya, di balik geliat pertumbuhan ini, China masih harus menghadapi risiko-risiko yang tak bisa diabaikan. Para ekonom menilai belum ada jaminan stimulus saat ini cukup untuk memulihkan pasar properti yang sedang terseok. Belum lagi kekhawatiran konsumen yang masih dihantui tekanan disinflasi, lemahnya kepercayaan diri, dan pasar kerja yang belum benar-benar pulih.
Morgan Stanley pun mengingatkan, jika respons kebijakan China terhadap tarif AS terlalu reaktif, pemulihan ekonomi yang lebih luas bisa ikut terganggu. "Kami masih meyakini kerangka kebijakan yang dipakai pemerintah adalah untuk menjaga dasar pertumbuhan, bukan menciptakan reflasi cepat dengan stimulus besar-besaran," tulis mereka.
Jadi meskipun langit sudah mulai cerah, awan gelap belum sepenuhnya pergi. Namun buat para pemodal dan pembuat kebijakan, setidaknya ada secercah harapan dari Timur yang bisa digenggam.
Pemulihan Mulai Tampak, tapi China Masih Dihantui Risiko Deflasi
Meski proyeksi pertumbuhan ekonomi China kini mulai membaik berkat rangkaian stimulus yang dijalankan pemerintah, sejumlah akademisi dalam negeri tetap mengingatkan agar jangan cepat puas. Menurut mereka, jalan menuju pemulihan penuh masih panjang, apalagi data mutakhir justru memperlihatkan bayang-bayang deflasi yang belum sepenuhnya pergi.
Ekonomi China dinilai sudah mendekati titik dasar alias bottoming out—alias tak bakal lebih buruk dari sekarang—dan mulai terlihat peluang pertumbuhan baru. Tapi menurut para akademisi dari Universitas Peking, data yang dirilis sepanjang awal tahun ini justru masih mengindikasikan risiko deflasi. Karena itu, mereka mendesak agar kebijakan ekonomi digulirkan lebih cepat demi mendorong pemulihan yang lebih nyata.
Dilansir dari SCMP, Dekan Fakultas Manajemen Guanghua di Universitas Peking, Liu Qiao, bilang dalam sebuah seminar di Beijing, Rabu pekan lalu, tahun lalu kemungkinan adalah tahun terberat bagi ekonomi China dibanding sepuluh tahun ke depan. Meski tensi dagang dengan Amerika masih bikin pusing, Liu tetap yakin China sedang menuju fase pemulihan.
Ia menilai adopsi inovasi teknologi di sektor manufaktur yang sangat besar bisa berperan krusial dalam mendorong produktivitas total. Salah satu bukti kuatnya adalah munculnya model kecerdasan buatan lokal bernama DeepSeek, yang membuka potensi baru dalam berbagai industri.
Yan Se, dosen di Fakultas Guanghua, menambahkan bahwa sektor-sektor baru kini mulai tampil sebagai penggerak pertumbuhan utama. Pendapatan industri otomotif tahun lalu bahkan melampaui penjualan properti lebih dari 1 triliun yuan (sekitar USD138,29 miliar). Menurut Yan, sektor-sektor baru ini akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi China tahun ini, seiring mulai stabilnya sektor properti setelah beberapa tahun terpuruk.
Liu menyoroti perubahan arah kebijakan pemerintah yang cukup besar, terutama dengan komitmen fiskal yang lebih aktif dan kebijakan moneter yang lebih longgar. Untuk pertama kalinya juga, pemerintah terang-terangan menjadikan peningkatan konsumsi sebagai target utama. Alat-alat kebijakan baru pun diluncurkan, mulai dari peningkatan dana pensiun bagi warga pedesaan hingga subsidi pengasuhan anak.
Liu bilang kejelasan arah kebijakan dan tekad pemerintah ini bikin banyak pihak merasa lebih percaya diri terhadap target pertumbuhan ekonomi China sekitar 5 persen tahun ini.
Namun, Yan mengingatkan risiko deflasi masih mengintai. Ia mengutip data indeks harga konsumen (CPI) yang turun 0,7 persen pada Februari dibanding tahun sebelumnya, dan indeks harga produsen (PPI) yang turun 2,2 persen. Menurutnya, data Produk Domestik Bruto (PDB) empat tahun terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan cenderung lebih lambat di kuartal kedua, dibanding kuartal pertama yang biasanya terdongkrak dampak kebijakan baru dari konferensi kerja ekonomi nasional setiap Desember.
Persediaan properti memang menurun, tapi luas proyek pembangunan baru masih terus menyusut—yang menunjukkan investasi belum pulih. Ia pun mengkhawatirkan apakah pemulihan ekonomi yang kuat bisa terjadi dalam jangka pendek.
Yan juga menyoroti lambannya pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Contohnya, penerbitan obligasi khusus masih seret dan suku bunga riil tetap tinggi. Meski bank sentral China sudah berjanji bakal memangkas suku bunga dan rasio giro wajib minimum di saat yang tepat untuk menyokong perekonomian di tengah perang dagang dengan AS, hingga kini belum ada pengumuman konkret soal pemangkasan itu.(*)