Logo
>

Strategi Kementan Kejar Mimpi Swasembada Pangan 2025

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Strategi Kementan Kejar Mimpi Swasembada Pangan 2025

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah terus menggenjot target swasembada pangan, khususnya beras, pada 2025 sebagai langkah strategis mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

    Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian, Suwandi, menegaskan bahwa berbagai kebijakan telah disusun untuk memastikan target tersebut tercapai.

    “Kita sudah pernah swasembada beras pada 1984. Selain itu, pada 2017, 2019, 2020, dan 2021 kita juga tidak melakukan impor beras. Kalau pun ada impor, itu hanya untuk beras khusus gluten dan beras menir. Bulog tidak melakukan impor beras pada periode tersebut,” ujar Suwandi dalam seminar nasional Indef bertajuk "Outlook Sektor Pertanian 2025 dan Launching Buku Transformasi Sistem Pangan dan Pertanian" di Jakarta, Senin 3 Februari 2025.

    Optimisme pemerintah dalam mencapai swasembada beras didasarkan pada berbagai faktor ekonomi yang lebih kondusif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Stabilitas iklim yang lebih baik, kebijakan yang semakin terarah, serta kerja sama lintas sektor menjadi faktor pendorong utama dalam upaya ini.

    "Saat ini kondisi iklim lebih bagus, program pemerintah lebih tajam dan fokus, kemudian program kerja lebih sistematis, dan seluruh pihak ikut kolaborasi mencari solusi atas permasalahan yang ada," lanjut Suwandi.

    Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, pemerintah melakukan berbagai terobosan, termasuk reformasi tata kelola distribusi pupuk bersubsidi. Dengan mekanisme baru yang lebih sederhana, petani kini lebih mudah mengakses pupuk, yang pada gilirannya meningkatkan serapan pupuk di lapangan.

    "Masalah pupuk bersubsidi yang sebelumnya ribet, sekarang mekanismenya disederhanakan. Petani bisa menikmati dan serapan pupuk kini tinggi," ungkap Suwandi.

    Selain pupuk, pemerintah juga mendorong penggunaan benih unggul serta mengoptimalkan pompanisasi guna memastikan ketersediaan air sepanjang musim. Sinergi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dalam mengelola waduk dan bendungan menjadi salah satu strategi penting dalam mengantisipasi tantangan cuaca ekstrem.

    "Program optimasi lahan, khususnya lahan rawa, terbukti mampu meningkatkan indeks pertanaman," ucap Suwandi.

    Tak hanya berfokus pada beras, pemerintah juga mendorong diversifikasi pangan melalui kemitraan dengan Polri dan TNI. Kementan bersama Polri menargetkan penanaman jagung di satu juta hektare, sementara dengan TNI, dilakukan perluasan lahan tanam padi di area kering seluas 350 ribu hektare. Inisiatif ini bertujuan memperkuat ketahanan pangan secara keseluruhan sekaligus membuka peluang ekonomi bagi petani lokal.

    "InsyaAllah saya optimistis kita bisa swasembada beras tahun ini. Semua upaya ini dilakukan demi memastikan produksi pangan nasional lebih baik dan mandiri di masa depan," kata Suwandi.

    Sektor Pangan Dianggap Gagal

    Dekan Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, Sofyan Sjaf, dengan tegas mengkritik kebijakan pemerintah dalam mengelola sektor pangan yang dianggapnya gagal. Menurutnya, rezim perdagangan pangan yang berlaku saat ini justru memperburuk ketahanan pangan Indonesia dan membuat negara ini semakin bergantung pada impor.

    “Kenapa ini terjadi? Karena ada enam akar masalah. Salah satunya adalah rezim perdagangan pangan yang sangat luar biasa. Saya berharap, di bawah kepemimpinan Pak Prabowo Subianto, yang memiliki cita-cita besar, bisa mendorong swasembada pangan,” ujar Sofyan dalam diskusi publik di Jakarta Selatan, Kamis  30 Januari 2025.

    Sofyan menekankan pentingnya menghentikan sistem perdagangan pangan yang tidak mendukung dan menggantinya dengan sistem produksi pangan berbasis lokal yang lebih memberdayakan masyarakat desa.

    Lebih lanjut, Sofyan mengungkapkan bahwa komodifikasi pangan, lemahnya kebijakan pangan. Dan kepemimpinan yang tidak berkarakter menjadi faktor utama yang menyebabkan ketidakmampuan Indonesia untuk mencapai swasembada pangan.

    “Komodifikasi pangan, disorientasi kebijakan, lemahnya politik pangan, dan kepemimpinan yang berkarakter saya kira ini akan menjadi masalah besar,” tegasnya.

    Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Sofyan adalah desentralisasi pengelolaan data pangan. Ia menyoroti ketidakakuratan data yang sering kali disusun secara top-down oleh pemerintah pusat, yang justru berimplikasi pada kesimpangsiuran dalam perhitungan kebutuhan pangan dan subsidi pemerintah.

    “Data yang disajikan itu sering tidak tepat. Ini berimplikasi pada kesimpangsiuran dalam menghitung kemampuan produksi dan kebutuhan subsidi pupuk,” katanya.

    Selain itu, Sofyan mengkritik buruknya kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian, yang dianggap menjadi batu sandungan bagi kemajuan sektor tersebut. Ia menegaskan bahwa kelemahan dalam sektor pertanian harus segera diperbaiki agar Indonesia tidak lagi bergantung pada impor pangan.

    “Masalah terbesar adalah lemahnya sumber daya di sektor pertanian. Perusahaan dan sektor pertanian kita sadar akan kelemahan ini, dan ini harus segera diperbaiki,” katanya.

    Pola Pikir Generasi Muda

    Sofyan juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kurangnya partisipasi generasi muda dalam sektor pertanian. Menurutnya, untuk mewujudkan ketahanan pangan, generasi muda harus diberdayakan untuk kembali ke desa dan menjadi kepala desa yang mampu mengorganisir pemuda-pemudi untuk memproduksi pangan.

    “Problem mindset generasi muda harus diubah, agar mereka tertarik untuk merebut kantong-kantong produksi pertanian, kembali ke desa untuk memproduksi pangan,” ujar Sofyan.

    Untuk diketahui, berdasarkan hasil studi Sofyan mengungkapkan bahwa sektor pertanian, khususnya dalam sektor produksi pangan, semakin kehilangan minat dari kalangan pemuda. Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan bahwa 61,8 persen petani di Indonesia berusia di atas 40 tahun, sementara hanya 12,6 persen yang berusia di bawah 32 tahun.

    Sementara, dalam sensus pertanian Badan Pusat Statistik (BPS), menyebutkan mayoritas petani Indonesia berusia di atas 55 tahun. Yaitu, petani usia 43-58 tahun sebanyak 42,39 persen, perkiraan usia 59-77 tahun sebanyak 27,61 persen dan perkiraan usia 27-42 tahun mencapai 25,6 persen.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.