KABARBURSA.COM - Pasar keuangan domestik saat ini tengah diliputi euforia yang luar biasa, dipicu oleh harapan besar bahwa Federal Reserve (The Fed) akan segera memangkas suku bunga acuan.
Ini adalah angin segar bagi pasar setelah masa-masa sulit yang dihadapi sejak pengetatan kebijakan moneter yang agresif dari The Fed, yang dimulai pada tahun 2022 lalu. Harapan ini telah menciptakan antusiasme tinggi di kalangan pelaku pasar, yang berimbas pada pergerakan positif di berbagai sektor.
Rupiah, sebagai mata uang domestik, berhasil mencatatkan rekor tertinggi dalam hampir setahun terakhir. Dalam perdagangan baru-baru ini, Rupiah sempat mencapai posisi Rp15.310 per USD, yang merupakan level terkuat sejak September lalu.
Pada akhir sesi pertama pasar modal, Rupiah masih bertahan kuat di Rp15.425 per USD, mengalami penguatan sebesar 0,43 persen dibandingkan posisi pada akhir pekan sebelumnya. Dengan capaian ini, Rupiah menjadi mata uang Asia dengan penguatan terbesar kedua setelah Ringgit Malaysia.
Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mencatatkan lonjakan yang signifikan. Pada sesi perdagangan terakhir, IHSG menyentuh level 7.608, sebuah rekor sepanjang masa bagi indeks ini.
Meskipun pada penutupan sesi pertama IHSG turun sedikit dan parkir di level 7.575,80, ini tetap menunjukkan kekuatan yang luar biasa. Kenaikan IHSG ini didukung oleh aliran modal masuk yang besar dari investor asing, yang terpantau melakukan aksi beli bersih di pasar saham sebesar Rp8,25 triliun. Salah satu saham yang menjadi incaran utama investor asing adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BBRI.
Di pasar obligasi, optimisme tidak kalah terasa. Harga obligasi negara melonjak, yang tercermin dari penurunan yield di berbagai tenor. Yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun turun sebesar 2,7 basis poin (bps) menjadi 6,598 persen.
Sementara itu, tenor 5 tahun juga mengalami penurunan yield sebesar 2,8 bps ke 6,477 persen. Namun, tenor yang lebih pendek, seperti tenor 2 tahun, hanya terkoreksi sedikit, turun 0,5 bps. Bahkan, tenor 1 tahun malah mengalami peningkatan yield sebesar 2,5 bps menjadi 6,465 persen.
Tak hanya di tenor-tenor pendek dan menengah, penurunan yield juga terjadi pada tenor panjang. Untuk tenor 15 tahun dan 20 tahun, yield masing-masing turun sebesar 5,6 bps dan 4,4 bps menjadi 6,683 persen dan 6,795 persen. Kondisi ini memperlihatkan optimisme yang kuat dari para pelaku pasar terhadap prospek ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Pidato Jerome Powell, Ketua The Fed, yang disampaikan pada hari Jumat sebelumnya, menjadi salah satu pemicu utama dari euforia ini. Powell secara gamblang menyatakan bahwa saatnya telah tiba bagi The Fed untuk memangkas suku bunga, setelah beberapa tahun terakhir pasar mengalami tekanan dari kebijakan moneter yang sangat ketat. Pernyataan Powell ini langsung disambut baik oleh pasar global, termasuk Indonesia, yang merespons dengan antusiasme tinggi.
Namun, menariknya, euforia di pasar Indonesia sebenarnya sudah mulai terlihat bahkan sebelum pernyataan Powell. Di tengah ketidakpastian politik akibat RUU Pilkada yang memicu gelombang demonstrasi besar di berbagai kota, investor asing tetap menunjukkan minat tinggi untuk berbelanja di pasar obligasi Indonesia.
Pada Kamis, 22 Agustus, investor asing mencatatkan pembelian obligasi senilai USD610 juta atau setara dengan sekitar Rp9,6 triliun hanya dalam sehari. Ini merupakan pembelian bersih terbesar dalam lima tahun terakhir di pasar obligasi Indonesia.
Meskipun situasi politik di dalam negeri memanas akibat demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial, minat asing untuk berinvestasi di obligasi Indonesia tetap tidak surut. Salah satu faktor yang mendorong hal ini adalah kenaikan cepat yield obligasi Amerika Serikat (AS), yang dikenal sebagai Treasury.
Kenaikan ini memperlebar selisih imbal hasil antara obligasi negara Asia yang berdenominasi mata uang lokal, termasuk Indonesia, dengan Treasury AS. Frances Cheung, Kepala Strategi Valas dan Suku Bunga di OCBC Singapura, mencatat bahwa penguatan nilai tukar Rupiah juga telah menurunkan biaya lindung nilai bagi investor asing, menjadikan obligasi Indonesia semakin menarik untuk diburu.
Pada saat ini, selisih imbal hasil antara obligasi Indonesia dan Treasury AS berada di angka 281 bps, lebih tinggi dibandingkan 260 bps pada awal kuartal ketiga tahun ini. Hal ini menunjukkan daya tarik yang semakin besar bagi obligasi Indonesia di mata investor global.
Faktor lain yang turut memperkuat minat asing terhadap obligasi Indonesia adalah kejelasan arah kebijakan fiskal pemerintahan baru. Defisit fiskal diproyeksikan sebesar 2,53 persen, angka yang dianggap moderat dan lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya di level 2,7 persen. Dengan adanya kepastian ini, pasar obligasi Indonesia diperkirakan akan tetap menarik bagi investor asing.
Selain itu, sinyal kuat dari Powell kemungkinan besar akan memberikan keyakinan lebih besar bagi Bank Indonesia untuk segera mengikuti langkah The Fed dengan memangkas suku bunga acuan pada bulan depan. Ini akan menjadi kombinasi sempurna yang terus mendorong arus modal asing ke pasar keuangan domestik.
Menurut data Bank Indonesia, sepanjang periode 19-22 Agustus, investor asing mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp15,91 triliun di pasar domestik. Pembelian ini terdiri atas Rp11,45 triliun di pasar Surat Berharga Negara, Rp4,13 triliun di pasar saham, dan Rp330 miliar di Sertifikat Bank Indonesia (SRBI).
Sejak awal tahun hingga 22 Agustus, investor nonresiden telah mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp185,29 triliun di SRBI, Rp6,40 triliun di pasar saham, dan Rp6,39 triliun di pasar SBN.
Di paruh kedua tahun ini, asing telah mencatatkan pembelian bersih sebesar Rp54,94 triliun di SRBI, Rp40,35 triliun di pasar SBN, dan Rp6,06 triliun di pasar saham. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.