Logo
>

Tak Sebut Vietnam: Sri Mulyani Bilang Pertumbuhan RI Stabil Se-Kawasan Asia

Sri Mulyani: Pertumbuhan Indonesia menurun, namun masih relatif stabil dibandingkan sejumlah negara lain, khususnya di kawasan Asia

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Tak Sebut Vietnam: Sri Mulyani Bilang Pertumbuhan RI Stabil Se-Kawasan Asia
Sri Mulyani Indrawati resmi menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak dan Letjen Djaka Budhi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Foto: Abbas/KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 tercatat sebesar 4,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), melambat dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa capaian ini masih tergolong baik jika dibandingkan dengan tren global yang cenderung melambat.

 Menurutnya, meski pertumbuhan Indonesia menurun, namun masih relatif stabil dibandingkan sejumlah negara lain, khususnya di kawasan Asia.

"Indonesia relatif masih terjaga," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Jumat 23 Mei 2025

Ia juga menyoroti bahwa beberapa negara tetangga justru mengalami kontraksi ekonomi yang lebih tajam. Bahkan ada pula negara yang sudah masuk ke dalam fase resesi.

"Singapura 3,8 persen, Thailand 3,1 persen. Beberapa negara Korea dan Jerman negatif growth berturut-turut jadi resesi," terangnya.

Sementara itu, negara-negara seperti Meksiko, Italia, dan Prancis hanya mampu mencatat pertumbuhan di bawah 1 persen. 

Sri Mulyani menjelaskan bahwa pelemahan ekonomi global turut dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan serta fluktuasi harga komoditas yang cenderung melemah.

"Dengan outlook pertumbuhan ekonomi dunia, relatif melemah akibat beberapa policy menciptakan uncertainty, harga komoditas mixed cenderung melemah seperti minyak," kata Sri Mulyani.

Untuk diketahui, berdasarkan data kuartalan dari kuartal kedua 2024 hingga kuartal pertama 2025, Vietnam terus menorehkan pertumbuhan tertinggi di kawasan dengan 6,9 persen. China dan Filipina mengikuti dengan capaian sekitar 5,4 persen. 

Indonesia sendiri sempat mencatat pertumbuhan 5,4 persen di kuartal kedua 2024, namun mengalami sedikit penurunan menjadi 5,1 persen di kuartal ketiga, 4,9 persen di kuartal keempat, dan 5,0 persen pada kuartal pertama 2025.

Malaysia menunjukkan tren melambat dari 4,4 persen ke 3,8 persen. Singapura dan Thailand stagnan di kisaran 3,1 persen, sementara Arab Saudi turun dari 2,7 persen menjadi 2,0 persen. Amerika Serikat pun menunjukkan perlambatan, dari 2,0 persen menjadi 1,7 persen.

Di negara-negara maju lainnya, Jepang sempat mengalami kontraksi pada kuartal kedua 2024 namun perlahan membaik ke 1,3 persen pada awal 2025. Inggris dan Uni Eropa tumbuh tipis di kisaran 1,2 sampai 1,3 persen, sedangkan Meksiko dan Prancis stagnan di 0,8 persen. 

Italia mencatat pertumbuhan terendah di 0,6 persen. Sementara Korea Selatan dan Jerman bahkan mengalami pertumbuhan negatif masing-masing minus 0,1 persen dan minus 0,2 persen.

PDB Mirip RI, Tapi Vietnam Bisa Tumbuh

Pemerintah merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 yang tercatat sebesar 5,03 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 5,05 persen.

Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai perlambatan ini menjadi sinyal negatif bagi upaya Indonesia keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Menurutnya, ada dua faktor utama yang menghambat pertumbuhan ekonomi, yaitu rendahnya porsi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dan melemahnya daya beli masyarakat.

"Ketika Malaysia berada di level PDB per kapita yang sama dengan Indonesia saat ini, yakni pada tahun 2004, ekonomi mereka mampu tumbuh sebesar 7 persen," ujar Andri kepada Kabarbursa.com di Jakarta, 10 Februari 2025.

Ia juga menyoroti Vietnam, yang pada 2024 memiliki PDB per kapita sekitar 4.000 USD, mirip dengan Indonesia. Namun mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen.

Andri menjelaskan bahwa rendahnya PMTB disebabkan oleh deindustrialisasi dini, khususnya di sektor manufaktur. Sementara itu, daya beli masyarakat melemah akibat pertumbuhan pendapatan yang stagnan dan suku bunga yang masih tinggi.

"Kondisi ini disebabkan oleh fokus pembangunan dalam beberapa tahun terakhir yang lebih mengutamakan industri berorientasi ekspor, terutama komoditas dan turunannya," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan hilirisasi yang dijalankan pemerintah hanya berdampak pada sebagian kecil industri, seperti nikel, sementara sektor lain seperti manufaktur tekstil justru stagnan.

Jika kebijakan tidak berubah, Andri memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 akan sulit meningkat.

"Faktor eksternal seperti perang dagang, suku bunga global yang tinggi, dan wacana devaluasi dolar akan semakin menekan pertumbuhan ekonomi yang terlalu bergantung pada ekspor dan komoditas," pungkasnya.

Ramalan IMF Dan Perbandingan Vietnam

Ekonomi Indonesia kini diprediksi melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi RI menjadi hanya 4,7 persen untuk tahun 2025 dan 2026, menurut laporan World Economic Outlook edisi April 2025 yang dirilis Selasa malam 22 April 2025.

Angka ini turun dari perkiraan awal dalam laporan Januari lalu yang masih optimistis menempatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,1 persen. Pemangkasan proyeksi ini tak lepas dari tekanan eksternal, khususnya kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Penerapan tarif dagang resiprokal oleh AS menjadi batu sandungan baru bagi ekspor RI. Pemerintah mencatat, Indonesia kini dikenakan tarif sebesar 32 persen dan bisa melonjak hingga 47 persen untuk beberapa komoditas tertentu. Langkah proteksionis tersebut dipandang IMF sebagai faktor utama yang akan memperdalam defisit neraca transaksi berjalan Indonesia, dari minus 0,6 persen pada 2024 menjadi minus 1,5 persen pada 2025, dan makin dalam ke 1,6 persen pada 2026.

Tak hanya ekspor yang terdampak, tekanan ini juga diperkirakan akan mengganggu stabilitas ketenagakerjaan. IMF memproyeksikan tingkat pengangguran di Indonesia akan meningkat perlahan dari 4,9 persen pada 2024 menjadi 5 persen pada 2025, lalu naik tipis lagi ke 5,1 persen pada 2026.

Ironisnya, di saat Indonesia tersendat, beberapa negara tetangga masih menunjukkan resiliensi. Vietnam, meski turut terimbas kebijakan tarif dari AS, tetap diproyeksi tumbuh lebih tinggi dari Indonesia. IMF memprediksi ekonomi Vietnam akan naik sebesar 5,2 persen pada 2025, meski melambat dari realisasi 2024 yang mencapai 7,1 persen. Namun perlambatan itu diperkirakan makin tajam di 2026, dengan pertumbuhan hanya sekitar 4 persen.

Sementara itu, Filipina diprediksi akan tumbuh 5,5 persen tahun depan, turun sedikit dari 5,7 persen di 2024, namun diperkirakan kembali bangkit menjadi 5,8 persen pada 2026.

Dengan begitu, posisi Indonesia sebagai salah satu motor ekonomi kawasan ASEAN mulai dipertanyakan. Jika tren ini berlanjut, bukan tak mungkin Vietnam dan Filipina akan mengambil alih sorotan investor asing yang selama ini melihat Indonesia sebagai pasar utama di Asia Tenggara.

Adapun Dosen Ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi nasional kemungkinan besar memang tidak akan menembus angka 5 persen. 

Menurutnya, penyebab utamanya adalah pelemahan pada konsumsi rumah tangga, yang sejatinya menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Tingkat konsumsi di Indonesia sedang mengalami penurunan. Padahal ekonomi Indonesia itu 56-58 persen dari konsumsi rumah tangga,” ujar Wijayanto  dalam diskusi yang bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia. Beberapa waktu lalu. Jakarta, Rabu 23 April 2025.

Wijayanto memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama kemungkinan hanya berada di kisaran 4,7-4,8 persen. Hal serupa diperkirakan akan berlanjut di kuartal kedua. 

“Kuartal kedua, year on year ya, kuartal kedua mungkin juga berada di level yang sama,” ujarnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.