KABARBURSA.COM - Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengaku skeptis dengan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, yakni sebesar 8 persen sepanjang periode 2024-2029.
Tauhid menilai, target tersebut berat mengingat International Monetary Fund (IMF) dan lembaga internasional lainnya memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen.
Kendati begitu, dia tak menutup mata kesiapan Indonesia mengejar target tersebut jika melihat pertumbuhan kredit perbankan, lapangan kerja, dan investasi yang terus tumbuh.
Kendati begitu, Tauhid menyebut, swasembada pangan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut dia, sejarah menunjukkan saat Indonesia berhasil mencapai swasembada pada era kepemimpinan Soeharto, di mana sektor pertanian tumbuh hingga 5 persen.
Namun, untuk mencapainya lagi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah ekstensifikasi lahan sawah secara besar-besaran.
“Ekstensifikasi lahan pertanian tidak bisa dihindari jika kita ingin mengejar swasembada pangan. Ini bukan tugas mudah, tetapi wajib dilakukan,” kata Tauhid dalam keterangan tertulisnya, 7 Oktober 2024.
Dengan proyeksi kebutuhan beras nasional mencapai 33 juta ton, Tauhid menyebut Indonesia perlu memproduksi minimal 35 juta ton beras. Dengan begitu, dia menilai, program cetak sawah menjadi menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
“Tapi pemerintah harus memiliki target produksi yang jelas untuk lahan-lahan baru tersebut, apalagi produktivitasnya pasti tidak akan bisa langsung setinggi lahan existing. Jadi lokasinya di mana saja dan kemampuan produksinya berapa, itu harus bisa diprediksi dari sekarang,” tegas Tauhid.
Di sisi lain, Tauhid juga turut mengomentari ketidaksinkronan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional yang disusun pemerintah dengan visi Prabowo Subianto yang tertuang dalam Asta Cita.
“Dari delapan Asta Cita, tiga di antaranya secara eksplisit mendukung kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, dan air. Namun dokumen RPJM yang disusun pemerintah justru tidak mengakomodasi sektor pertanian sebagai prioritas utama,” ungkapnya.
Dalam Asta Cita, terdapat tiga program prioritas terkait sektor pertanian yang dinilai penting untuk mencapai kemandirian pangan. Pertama, mencapai swasembada pangan, energi, dan air. Kedua, menjamin ketersediaan pupuk, benih, dan pestisida langsung ke petani. Ketiga, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi berbasis sumber daya alam.
Lebih lanjut, Tauhid menegaskan bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, khususnya target 8 persen pada 2029, sinkronisasi antara RPJM dan Asta Cita sangat krusial. “Tidak bisa kita hanya berfokus pada dokumen RPJM tanpa mempertimbangkan arah kebijakan strategis yang diusung oleh Presiden terpilih,” tutupnya.
Jokowi Gagal Capai Target Pertumbuhan Ekonomi
Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen yang ditetapkan di awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) gagal dicapai. Istana Kepresidenan memberi klarifikasi.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Bidang Perekonomian Edy Priyono mengatakan, terlepas dari target tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan tetap menunjukkan performa yang baik, kecuali selama masa pandemi COVID-19.
“Orang mengkritik pemerintah tidak mencapai target, 7 persen. Pak Jokowi kan memang seperti itu, selalu pasang target tinggi,” kata Edy Priyono dalam Seminar Nasional ‘1 Dekade Pemerintahan Jokowi’ di Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Di awal periode pertamanya, 2014, Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen.
Kini, di akhir masa jabatan periode kedua atau 10 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5 persen.
Pada 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,79 persen turun, turun dari 5,02 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di rentang waktu 2016-2018, perekonomian Indonesia sempat mengalami peningkatan sedikit, yaitu 5,03 persen (2016), dan kembali meningkat di tahun 2017 menjadi 5,07 persen. Setahun kemudian, naik (2018) kembali menjadi 5,17 persen.
Di tahun 2019, berbarengan dengan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan menjadi 5,02 persen.
Di periode kedua, tepatnya tahun 2020, seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, dihantam pandemi COVID-19, sehingga berdampak pada perekonomian Indonesia. Saat itu, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi -2,07 persen.
Setahun kemudian, 2021, perekonomian Indonesia naik ke angka 3,9 persen. Dan, di tahun 2022 tumbuh hingga 5,31 persen.
Pada 2023, perekonomian Indonesia kembali mengalami kemunduran, anjlok ke angka 5,05 persen.
Di tahun terakhir pemerintahannya, 2024, Jokowi memasang target di kisaran 5,1-5,2 persen, di bawah pertumbuhan tahun 2022.
Jadi, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kepemimpinan Jokowi hanya mencapai 4,23 persen, jauh dari target yang diawal Jokowi berkuasa, yakni 7 persen.
Menanggapi itu, Edy mengatakan, dengan menargetkan angka tinggi, seperti 7 persen, maka diharapkan dapat memacu semangat kerja dan kinerja ekonomi agar lebih optimal. Karena, jika ditargetkan hanya 5 persen, kemungkinan yang tercapai 3 persen saja.
“Pak Jokowi selalu set target tinggi. Karena beliau, mungkin merasa kita semuanya terlalu santai. Jadi, kalau ditargetkan 5 persen, mungkin 3 persen yang tercapai. Dengan begitu beliau pasang target 7 persen,” tuturnya.
Sementara, jika berpegangan pada janji kampanye Presiden-Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, Edy menduga menerapkan strategi seperti Jokowi.
“Mungkin saja beliau (Prabowo Subianto) juga berpikir seperti pak Jokowi. Tapi saya enggak tahu ya,” ujarnya berseloroh.
Kendati demikian, Edy menyatakan, jika berdasarkan capaiann target 7 persen, pertumbuhan ekonomi RI masih terbilang rendah. Namun, jika dilihat dari pencapaian nyata, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5 persen saat ini terbilang memuaskan dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia yang mengalami kesulitan ekonomi.
“Tapi kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain dalam situasi yang sulit dan sebagainya, pertumbuhan ekonomi kita oke kok. Sekitar 5 persen, lebih-lebih sedikit itu oke,” pungkasnya. (*)