KABARBURSA.COM – Ketua Federal Reserve Jerome Powell sedang berada dalam posisi yang bikin kepala pening. Di tengah naiknya tensi ekonomi akibat tarif impor baru yang dikeluarkan Presiden Donald Trump, Powell kini dipaksa menari di antara dua kutub yang saling bertabrakan: inflasi dan resesi.
Tarif baru yang dijadwalkan mulai berlaku Rabu ini tak cuma membuat pelaku pasar kelabakan, tapi juga memicu spekulasi resesi. Banyak ekonom, pelaku usaha, dan investor khawatir lonjakan tarif ini bakal menekan belanja dan perekrutan tenaga kerja. Dalam situasi seperti itu, biasanya bank sentral akan memangkas suku bunga untuk meredam dampak pelemahan ekonomi.
Masalahnya, di saat yang sama, lonjakan tarif akan membuat harga barang impor—termasuk bahan baku industri dalam negeri—naik tajam. Ini bisa mendorong inflasi naik lebih cepat. Jadi, kalau suku bunga dipangkas, The Fed justru bisa dituding memperkeruh inflasi.
“Mereka ada di posisi serba salah,” kata mantan Gubernur The Fed, Laurence Meyer, dikutip dari The Wall Street Journal, Rabu, 9 April 2025.
Sejak dulu, tugas utama The Fed memang menjaga inflasi tetap rendah dan stabil, sembari memastikan pasar tenaga kerja sehat. Tapi, menurut Riccardo Trezzi, mantan ekonom The Fed yang kini mendirikan firma konsultasi Underlying Inflation di Jenewa, “Pemerintahan ini sudah menghasilkan kejutan paling buruk buat The Fed dan sekarang mereka tak bisa berbuat apa-apa.”
Dalam pernyataan pekan lalu, Powell menyebut The Fed belum butuh terburu-buru memotong suku bunga. Ini sinyal bahwa opsi rate cut masih jauh dari meja rapat. “Nanti juga bakal ketahuan seiring waktu. Kita belum bisa pastikan kapan tepatnya, tapi proses pembelajarannya sedang berlangsung,” ujarnya.
Meski begitu, pasar tetap yakin pemangkasan suku bunga akan dilakukan akhir tahun ini. Alasannya, tekanan ekonomi akibat tarif akan membuat perusahaan kehilangan daya untuk menaikkan harga yang artinya inflasi akan melambat usai lonjakan awal.
Namun di sisi lain, The Fed juga ogah memotong suku bunga terlalu cepat. Kalau kelemahan ekonomi berhasil diredam, inflasi bisa jadi justru akan bertahan lebih lama. Para pejabat Fed memberi sinyal akan lebih hati-hati dibanding krisis-krisis sebelumnya dan hanya akan bergerak setelah benar-benar melihat pelemahan pasar tenaga kerja.
“Kalau kamu pemain trapeze, jangan lompat dulu dari platform sebelum partnermu benar-benar lompat,” ujar Vincent Reinhart, kepala ekonom BNY Investments, menggambarkan kehati-hatian The Fed.
Menunggu ekonomi melambat dan pengangguran naik sebelum memangkas bunga jelas bikin posisi Fed tak nyaman, apalagi Trump sudah sejak lama mendesak Powell untuk memotong suku bunga. “Sulit sekali menjelaskan ke publik kenapa harus menunggu,” kata Meyer.
The Fed sendiri sangat memperhatikan ekspektasi publik soal inflasi. Harapannya, ekspektasi ini jangan sampai jadi kenyataan yang memperparah inflasi itu sendiri. Situasi yang dihadapi Powell kini ibarat kiper yang harus menebak ke mana arah bola penalti, apakah lompat ke kiri untuk hadang inflasi atau lompat ke kanan untuk jaga pertumbuhan ekonomi.
“Mungkin mereka akan beruntung dan memilih sisi yang benar. Tapi itu baru bisa disimpulkan setelah semuanya terjadi,” kata Trezzi.
Bos-bos AS Disuruh Pangkas Biaya
Ketegangan ekonomi akibat tarif dagang tak cuma bikin The Fed pusing. Di lapangan, efeknya mulai terasa hingga ke level CEO. Elias Sabo, bos besar Compass Diversified Holdings—perusahaan induk berbagai merek menengah seperti Sterno dan Primaloft—sudah meminta para CEO-nya untuk bersiap menghadapi potensi penurunan tajam dalam penjualan.
“Kami menginstruksikan para CEO untuk menekan biaya dan membekukan perekrutan. Dan itu saja sudah pertanda buruk buat ekonomi, bahkan tanpa menghitung dampak langsung tarifnya,” kata Sabo.
Selama beberapa tahun terakhir, konsumen berpenghasilan rendah sudah keteteran akibat inflasi. Konsumen berpendapatan tinggi memang masih royal belanja—berkat efek kekayaan dari pasar saham yang kuat. Tapi kalau kondisi ekonomi memburuk dan sentimen negatif menyebar, mereka pun bisa ikut menahan belanja.
Situasi ini makin runyam karena tujuan kebijakan tarif pemerintahan Trump sendiri belum jelas. Apakah tujuannya untuk memaksa kesepakatan dan kemudian menurunkan tarif atau memang sengaja dipertahankan agar mendorong produsen kembali ke Amerika?
Kalau tarif dibiarkan bertahan dan benar-benar bikin produksi kembali ke AS, ada risiko lain yang menunggu, yakni inflasi yang lebih awet. Pandemi COVID-19 sudah kasih pelajaran bahwa lonjakan harga barang bisa bertahan jauh lebih lama dari perkiraan awal. Seperti kenaikan harga mobil tahun 2021–2022 yang berujung pada lonjakan harga asuransi mobil belakangan ini.
Menurut Vincent Reinhart dari BNY Investments, dampak harga barang bisa menjalar ke harga jasa, meskipun dengan jeda waktu. Jika perusahaan harus menyesuaikan harga karena tarif, beban itu bisa menyebar ke produk dan layanan lain. Ujung-ujungnya bikin kalkulasi The Fed makin rumit.
Trezzi, mantan ekonom The Fed, bilang, “Mereka tahu risiko resesi itu nyata, tapi risiko inflasi juga sama besarnya sekarang. Bahkan sangat besar, jujur saja.”
Celakanya, pemangkasan suku bunga saat ini pun tidak akan banyak membantu mengatasi ketidakpastian utama yang dihadapi dunia usaha—yaitu tarif itu sendiri. Tahun lalu saja, The Fed sampai memangkas suku bunga sebesar 1 persen atau 100 basis poin untuk mengantisipasi risiko kebijakan moneter yang terlalu ketat terhadap pasar tenaga kerja. Tapi kali ini?
“Meskipun dipangkas 50 sampai 100 basis poin sekarang, itu tak akan banyak pengaruhnya dalam kondisi seperti ini,” kata Sabo.
Kebijakan moneter juga tak bisa menyentuh persoalan besar lain yang mulai muncul dari perang dagang Trump, yakni soal risiko perang modal dan potensi turunnya dominasi ekonomi Amerika di masa depan.
Sebagai tanda bahwa investor juga bingung harus lari ke mana, imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun justru naik 0,27 poin ke 4,259 persen pada Selasa, 8 April 2025. Ini berlawanan dengan pola klasik flight to safety di mana yield biasanya turun saat ketidakpastian global meningkat. Treasuries yang selama ini dianggap aset paling aman, kali ini justru ikut terguncang.(*)