Logo
>

The Fed Tahan Bunga, Properti dan Kredit Masih Tertekan

Suku bunga tinggi global membuat sektor properti dan otomotif kian tertekan, sementara BI diprediksi akan mempertahankan suku bunga demi stabilitas rupiah.

Ditulis oleh Dian Finka
The Fed Tahan Bunga, Properti dan Kredit Masih Tertekan
Keputusan The Fed menahan suku bunga memberi tekanan pada sektor properti dan kredit. BI diperkirakan menjaga suku bunga demi stabilitas nilai tukar. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM — Keputusan The Federal Reserve atas The Fed menahan suku bunga di level tinggi pada Mei 2025 bukan kabar baik bagi pasar. Alih-alih membawa angin segar, langkah ini justru menunjukkan bahwa inflasi belum jinak dan ruang pelonggaran moneter masih jauh dari kata aman. Dampaknya adalah sektor properti dan otomotif di Indonesia terancam terus megap-megap menghadapi biaya pinjaman yang kian mahal.

Direktur Riset CORE Indonesia, Etika Karyani, yang menyebut keputusan tersebut sebagai peringatan bahwa pelonggaran kebijakan moneter belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.

“Langkah The Fed ini adalah bentuk kehati-hatian yang menandakan inflasi masih dianggap membandel. Jadi, bukan optimisme yang ditunjukkan, melainkan sinyal bahwa pelonggaran belum aman dilakukan,” ujar Etika kepada KabarBursa.com, Rabu, 21 Mei 2025.

Menurut Etika, pasar global termasuk Indonesia merespons keputusan ini dengan kombinasi harapan dan kewaspadaan. Meskipun The Fed tak menaikkan suku bunga lebih lanjut, level suku bunga yang masih tinggi tetap menyimpan tekanan tersendiri bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Bagi Indonesia, jeda kenaikan suku bunga The Fed memberikan sedikit ruang bernapas. Nilai tukar rupiah relatif stabil dan pasar modal tidak mengalami guncangan besar, setidaknya dalam jangka pendek. “Namun, meskipun jeda ini memberi kelegaan sesaat, tetap saja tingkat suku bunga global yang tinggi membuat ruang pelonggaran moneter Bank Indonesia menjadi sempit,” jelas Etika.

Ia menambahkan, Bank Indonesia kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga acuannya lebih lama demi menjaga selisih imbal hasil (interest rate differential) yang kompetitif, dan menjaga daya tarik aset rupiah di mata investor asing.

“Menjaga stabilitas nilai tukar menjadi prioritas utama BI saat ini, dan itu berarti kebijakan suku bunga tidak akan buru-buru dilonggarkan,” katanya.

Sektor Sensitif Pinjaman Berisiko

Etika juga menyoroti sektor-sektor domestik yang kemungkinan besar akan terdampak oleh suku bunga tinggi global yang bertahan di atas 4 persen dalam waktu lama. “Properti dan otomotif adalah sektor yang paling sensitif terhadap kenaikan biaya pinjaman. Mereka sangat rentan terhadap suku bunga tinggi karena permintaan konsumen sangat bergantung pada kredit,” katanya.

Namun di sisi lain, sektor perbankan dan komoditas dinilai justru lebih adaptif menghadapi kondisi tersebut. “Perbankan bisa memanfaatkan spread suku bunga, sementara sektor komoditas biasanya mendapat keuntungan dari harga global yang masih tinggi,” jelas Etika.

Dalam periode tiga hingga enam bulan ke depan, Etika memperkirakan investor asing cenderung mengambil sikap hati-hati dalam menempatkan dana di pasar Indonesia.

Ia menilai, keraguan tersebut tidak semata-mata berasal dari ketidakjelasan arah suku bunga global, tetapi juga karena kekhawatiran terhadap kondisi fiskal domestik yang mulai menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Menurutnya, para investor lebih memilih bersikap menunggu ketimbang mengambil langkah agresif di tengah ketidakpastian tersebut.

Ia mengatakan meskipun kondisi global tidak ideal, pemerintah Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan momentum eksternal. “Perlu reformasi struktural yang konsisten untuk memperkuat daya saing dan daya tahan ekonomi nasional. Ketergantungan pada aliran modal asing harus diimbangi dengan peningkatan kualitas ekonomi domestik,” katanya.

Waspadai Risiko Ganda

The Fed sebelumnya memilih untuk menahan suku bunga acuan dalam kisaran 4,25 hingga 4,5 persen. Keputusan ini diambil setelah Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) menilai bahwa laju ekonomi AS masih tergolong solid, tetapi awan ketidakpastian mulai menggelayut.

Dalam pernyataan resminya di laman federalreserve.gov, The Fed menyebut bahwa aktivitas ekonomi tetap tumbuh pada laju yang solid. Pasar tenaga kerja juga belum kehilangan tenaga—angka pengangguran masih rendah dan relatif stabil. Tapi satu hal yang bikin para gubernur bank sentral tak bisa duduk santai: inflasi.

Meski mulai melandai, inflasi di Negeri Paman Sam masih dianggap “sedikit tinggi”. FOMC menyatakan bahwa mereka tetap mengincar inflasi jangka panjang di sekitar dua persen, sambil menjaga angka pengangguran tetap rendah.

Namun begitu, FOMC mulai lebih gamblang soal risiko yang mengintai dari dua arah: inflasi dan pengangguran. Risiko keduanya disebut mulai meningkat. Artinya, The Fed kini tidak hanya berjaga dari lonjakan harga, tapi juga mulai waswas kalau ekonomi melambat dan memicu pemutusan hubungan kerja secara masif.

Untuk itu, kata FOMC, langkah selanjutnya bakal sangat hati-hati. Mereka akan menimbang ulang setiap data ekonomi yang masuk, proyeksi pertumbuhan, hingga tekanan dari pasar keuangan global sebelum menentukan kapan suku bunga mulai dilonggarkan.

“The Fed tetap berkomitmen mendukung lapangan kerja maksimum dan mengembalikan inflasi ke target dua persen,” tulis pernyataan resmi FOMC, yang juga menegaskan pengurangan neraca bank sentral dari kepemilikan obligasi masih akan berlanjut.

Dalam pemungutan suara kebijakan ini, seluruh anggota FOMC kompak setuju—termasuk sang ketua, Jerome H. Powell, dan wakilnya, John C. Williams. Bahkan Neel Kashkari, yang kali ini hadir sebagai anggota pengganti, juga menyetujui keputusan tersebut.

Dengan posisi suku bunga yang masih tinggi dan ketidakpastian global yang belum mereda, pasar keuangan dunia masih akan bergerak dalam mode wait and see. Sementara itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, tekanan dari arah The Fed ini masih akan terasa baik lewat nilai tukar, arus modal, maupun ruang gerak suku bunga domestik.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.