KABARBURSA.COM – Federal Reserve atau The Fed masih gamang dalam menentukan arah kebijakan suku bunga. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bank sentral berada dalam posisi yang baik untuk menghadapi perkembangan ekonomi ke depan. Namun, dalam waktu yang sama, ia mengakui The Fed belum sepenuhnya tahu apa yang akan terjadi.
Kegamangan itu muncul karena The Fed masih menunggu efek lanjutan dari kebijakan tarif yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April lalu. Ekonom memprediksi tarif tersebut akan mendorong kenaikan harga dalam beberapa bulan ke depan. Bagi The Fed, ini menjadi ancaman karena mereka belum benar-benar menaklukkan inflasi, meski sudah berjuang selama tiga tahun terakhir.
“Kita belum pernah mengalami situasi seperti ini. Kita harus rendah hati dalam memproyeksikannya,” ujar Powell, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Kamis, 19 Juni 2025.
Meski inflasi sempat melandai, ancaman lonjakan harga akibat tarif tetap membayangi. Di sisi lain, pasar tenaga kerja mulai menunjukkan gejala pelemahan, meskipun angka pengangguran masih rendah di 4,2 persen. “Data saat ini bisa dilihat sebagai setengah penuh atau setengah kosong,” kata Wakil Ketua Evercore ISI, Krishna Guha.
Dalam pernyataannya, Powell tidak memberi sinyal apapun perihal kemungkinan penurunan suku bunga pada Juli. Pelaku pasar memperkirakan pemangkasan suku bunga baru mungkin terjadi paling cepat pada September, tergantung data ekonomi yang masuk. “Waktunya bisa cepat, bisa juga tidak,” kata Powell. “Kami pikir kami akan belajar banyak selama musim panas ini terkait dampak tarif.”
Jika inflasi melonjak tajam musim panas ini, The Fed kemungkinan tetap bertahan dan enggan memangkas suku bunga. Penurunan bunga baru akan dipertimbangkan jika pasar tenaga kerja benar-benar melemah. Namun, jika lonjakan harga akibat tarif ternyata tidak signifikan, dan pasar kerja makin mendingin, The Fed bisa membuka peluang penurunan suku bunga lebih awal.
Proyeksi suku bunga yang dirilis Rabu kemarin menunjukkan perpecahan pendapat di internal The Fed. Dari 19 pembuat kebijakan, 10 di antaranya masih memperkirakan dua kali penurunan bunga tahun ini. Tapi jumlah anggota yang tak ingin memangkas bunga justru meningkat, dari empat orang pada Maret menjadi tujuh orang.
Powell meredam anggapan soal perpecahan internal. “Anda bisa membuat argumen dari semua jalur suku bunga yang ada dalam proyeksi terakhir,” katanya.
Perbedaan ini menunjukkan sebagian besar pejabat The Fed tak akan melonggarkan kebijakan moneter tanpa bukti kelemahan ekonomi yang nyata. Mereka tak ingin mengambil risiko menambah tekanan inflasi, terutama setelah empat tahun inflasi berada di atas target 2 persen.
“Kita baru saja melalui episode inflasi terburuk dalam satu generasi dan itu jelas mengguncang kepercayaan bahwa The Fed mampu mengendalikan inflasi secara presisi dalam jangka pendek satu hingga dua tahun,” kata David Wilcox, mantan ekonom The Fed yang kini di Bloomberg Economics dan Peterson Institute for International Economics.
Menurut Wilcox, keraguan itu membuat proses pengendalian inflasi menjadi rapuh. “Akan dibutuhkan guncangan yang lebih kecil saja untuk mendorong inflasi kembali naik,” katanya.
The Fed Didesak Trump, Powell Tetap Santai
The Fed tetap bergeming meski Presiden Donald Trump melontarkan kritik pedas. Jerome Powell kembali menegaskan bahwa keputusan suku bunga akan diambil berdasarkan data ketenagakerjaan dan inflasi yang masih terus dipantau.
“The Fed punya mandat menjaga inflasi tetap rendah dan memastikan lapangan kerja tetap kuat,” ujar Powell dalam konferensi pers Rabu kemarin setempat.
Di internal bank sentral, perbedaan pandangan mulai mengemuka. “Ada dua kubu di tubuh The Fed. Saat ini belum jadi perang terbuka, tapi kalau inflasi akibat tarif muncul bersamaan dengan pelemahan pasar tenaga kerja, tensinya bisa meningkat tajam,” kata Michael de Pass, Kepala Perdagangan Suku Bunga Global di Citadel Securities.
Presiden Trump makin geram. Ia menuntut The Fed memangkas suku bunga sebanyak empat hingga sepuluh kali lipat dan menyebut suku bunga overnight saat ini di level 4,3 persen terlalu tinggi. Menurut Trump, suku bunga itu justru memperbesar biaya utang negara. “Kita punya orang bodoh di The Fed,” kata Trump. “Dia bikin negara rugi besar.”
Namun, beberapa investor memperingatkan bahwa pemangkasan bunga secara agresif tanpa bukti pelemahan ekonomi yang nyata bisa menjadi bumerang. Alih-alih mendorong pertumbuhan, langkah itu bisa memicu kenaikan suku bunga jangka panjang.
Tetapi dari sisi politik, The Fed bisa menjadi kambing hitam yang berguna bagi Trump. Jika ekonomi memburuk dan The Fed akhirnya memangkas suku bunga, Trump bisa mengklaim bahwa dirinya benar sejak awal.
Sikap Powell yang memilih menunggu dan melihat berdasarkan data justru menegaskan independensi The Fed dari tekanan Gedung Putih. “Apalagi saat ini, ketika institusi The Fed sedang diserang, dan Powell pribadi juga diserang,” ujar de Pass.(*)