KABARBURSA.COM - Di tengah inflasi yang masih tinggi, pejabat Federal Reserve atau The Fed menyampaikan kehati-hatiannya terhadap pemangkasan suku bunga yang terlalu cepat pada pertemuan terakhir mereka, 6-7 November. Langkah ini menambah ketidakpastian perihal kebijakan yang akan diambil pada pertemuan selanjutnya, yakni 17-18 Desember 2024.
Dilansir dari Apnews, Risalah pertemuan mencatat meskipun inflasi terus menurun menuju target dua persen, pejabat Fed menilai pemangkasan suku bunga sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Menurut CME Fedwatch, peluang pemangkasan seperempat poin pada pertemuan mendatang hampir seimbang, dengan sebagian besar ekonom memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga untuk ketiga kalinya tahun ini. Namun, setelah itu, Fed diperkirakan akan menahan diri dari pemangkasan lebih lanjut pada pertemuan berikutnya.
Kepala Ekonom di Nationwide, Kathy Bostjancic, memprediksi Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebesar seperempat poin bulan depan, menjadi sekitar 4,3 persen. Namun, ia menambahkan, Fed kemungkinan akan “berhenti sementara” pada awal tahun depan untuk mengevaluasi kebijakan di bawah pemerintahan Trump yang kedua, serta kondisi ekonomi dan inflasi saat ini.
Pada September, Fed mengindikasikan rencana untuk memangkas suku bunga hingga empat kali pada tahun depan. Namun, sejak itu, ekspektasi pelaku pasar dan ekonom terhadap pemangkasan lebih banyak menurun. Ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pertumbuhan yang solid, tetapi inflasi masih sulit turun ke target Fed, dan proposal kebijakan Presiden terpilih Donald Trump, seperti tarif yang lebih tinggi, berpotensi mendorong inflasi lebih jauh.
Inflasi Masih Jadi Fokus
Inflasi menurun menjadi 2,1 persen pada September, jauh dari puncaknya 7 persen pada pertengahan 2022. Penurunan ini mendorong kepercayaan Fed untuk menurunkan suku bunga acuan hingga setengah poin pada bulan tersebut.
Namun, inflasi inti—yang tidak memasukkan kategori makanan dan energi—masih tinggi. Harga inti naik 2,7 persen secara tahunan pada September, dan diperkirakan naik lagi menjadi 2,8 persen pada laporan inflasi terbaru yang akan dirilis Rabu.
Sebagian besar pejabat Fed pada pertemuan bulan lalu optimistis inflasi terus bergerak mendekati target. Namun, risalah mencatat inflasi tetap “cukup tinggi,” dan beberapa pejabat mengingatkan proses normalisasi inflasi mungkin membutuhkan waktu lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
Pendekatan Gradual
Sebanyak 19 pejabat terlibat dalam pembahasan kebijakan suku bunga Fed, meski hanya 12 di antaranya memiliki hak suara. Diskusi mereka mencerminkan perbedaan pandangan terkait tingkat suku bunga ideal yang tidak akan menghambat atau mendorong pertumbuhan ekonomi. Perbedaan ini, menurut risalah, menjadi alasan bagi Fed untuk mengambil langkah pemangkasan secara bertahap.
Fed berupaya menyeimbangkan kebijakan agar tidak menurunkan suku bunga terlalu cepat, yang bisa memicu lonjakan inflasi, namun juga tidak terlalu lambat sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Jika inflasi tetap tinggi, Fed dapat “menghentikan sementara” pemangkasan suku bunga, sesuai risalah. Sebaliknya, jika ekonomi melambat dan pengangguran meningkat, Fed dapat mempercepat pemangkasan.
Tekanan Inflasi dan Risiko Ekonomi
Di tengah upaya The Fed menyeimbangkan kebijakan suku bunga dengan risiko inflasi yang masih tinggi, kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi Amerika Serikat semakin mencuat. Pemangkasan suku bunga yang dilakukan secara bertahap diharapkan dapat menjaga momentum pertumbuhan tanpa memicu lonjakan inflasi lebih lanjut.
Namun, dinamika politik dan ekonomi pasca-terpilihnya Donald Trump sebagai presiden menambah lapisan kompleksitas baru terhadap prospek ekonomi AS.
Seiring dengan perhatian Fed terhadap inflasi, survei terbaru mereka mengungkapkan adanya ancaman lain yang membayangi, termasuk risiko resesi, utang yang terus meningkat, dan tekanan pada perdagangan global. Stabilitas sektor keuangan AS kini menjadi sorotan utama, terutama di tengah lonjakan utang fiskal yang signifikan.
Dilaporkan, ada sejumlah tantangan yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan AS, yaitu risiko utang, resesi, serta perdagangan global.
Yang menjadi fokus utama dalam survei tersebut adalah keberlanjutan utang fiskal AS. Mengutip fiscaldata.treasury.gov, utang fiskal AS per 14 November 2024 adalah sebesar USD35,97 triliun. Utang ini mengalami peningkatan sebesar USD2,30 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Utang nasional adalah uang yang dipinjam pemerintah federal untuk menutupi saldo pengeluaran yang belum dibayar. Rasio utang terhadap Produk Domestik Brudo (PDB) AS pada tahun 2024 adalah 123 persen. Rasio utang yang tinggi ini menunjukkan bahwa pemerintah akan mengalami kesulitan dalam membayar utangnya.
Selain itu, peningkatan penerbitan obligasi Treasury, yang diperlukan untuk membiayai defisit federal, dapat berisiko menggeser investasi swasta dan membatasi kemampuan pemerintah merespons krisis ekonomi di masa depan.
Dengan imbal hasil obligasi Treasury bertenor 10 tahun, yang meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir, menunjukkan kekhawatiran investor terhadap prospek ekonomi jangka panjang.
Tidak berhenti sampai di situ, premi risiko obligasi Treasury berada pada puncak tertinggi sejak 2010. Ini menunjukkan bahwa investor menuntut kompensasi lebih besar untuk memegang obligasi jangka panjang.
Artinya, ada ketidakpastian yang cukup tinggi mengenai arah kebijakan moneter, prospek pertumbuhan ekonomi, dan inflasi di pemerintahan mendatang.(*)