KABARBURSA.COM - Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) tidak hanya mengguncang neraca ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam, tetapi juga mengirimkan gelombang tekanan ke seluruh fondasi makroekonomi nasional.
Pendekatan unilateral yang diusung oleh Presiden Donald Trump mengancam melambatnya roda ekonomi global, memperbesar risiko stagflasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Ketidakpastian yang ditimbulkan dari potensi retaliasi dagang antarnegara menciptakan atmosfer kehati-hatian yang menekan arus perdagangan dan investasi lintas batas.
Efek dari ketegangan ini telah mulai tercermin pada harga komoditas global. Per 10 April 2025, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent Crude masing-masing turun 1,32 persen dan 1,42 persen. Penurunan serupa juga terjadi pada komoditas unggulan Indonesia seperti crude palm oil (CPO) dan batu bara, memperparah kondisi neraca dagang nasional yang telah terpukul oleh berkurangnya ekspor ke AS.
Dampak berikutnya menghantam sisi domestik. Sektor-sektor padat karya, meliputi tekstil, alas kaki, dan elektronik, mengalami tekanan tajam yang memaksa pengurangan produksi dan pemutusan hubungan kerja.
“Perdagangan internasional tidak hanya mencakup barang, tetapi juga jasa,” ujar Prof. Dr. Sahara, Research Associate Professor di CORE Indonesia. “Narasi yang dibangun Trump cenderung parsial karena mengabaikan surplus jasa yang dinikmati AS dalam hubungan dagang dengan negara-negara mitra.”
Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap pendapatan rumah tangga dan konsumsi domestik. Turunnya penerimaan devisa dari ekspor membuat nilai tukar rupiah tertekan, memicu imported inflation. Rupiah yang sempat berada di level Rp16.572,6 per USD pada 28 Maret, tertekan hingga menyentuh Rp17.199,2 pada 7 April 2025, fluktuasi tajam yang menggambarkan kegelisahan pelaku pasar.
Skenario depresiasi ini memaksa Bank Indonesia untuk mengalihkan fokus dari pro-growth menjadi stabilisasi harga dan nilai tukar. Namun, pengetatan kebijakan moneter ini berisiko menunda pemulihan ekonomi pascapandemi, terutama saat pemerintah tengah mendorong peningkatan investasi dan belanja rumah tangga.
Tekanan juga datang dari sisi fiskal. Penurunan ekspor dan manufaktur berdampak langsung pada turunnya penerimaan negara, dari pajak ekspor, pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak penghasilan (PPh) badan.
Sementara itu, depresiasi rupiah menaikkan beban pembayaran utang luar negeri yang sebagian besar dalam denominasi USD. Pemerintah terpaksa menghadapi tekanan ganda: memperbesar alokasi belanja sosial dan subsidi untuk meredam dampak inflasi, sembari menjaga ruang fiskal yang semakin menyempit.
Pasar keuangan pun tidak luput dari imbas. Volatilitas global yang dipicu ketegangan dagang mendorong capital outflow dari pasar domestik. Hanya dalam dua pekan Maret, arus keluar tercatat mencapai Rp14,4 triliun. Hingga 26 Maret, capital outflow Indonesia telah mencapai Rp33 triliun secara year-to-date (ytd), mendekati level tertinggi saat pandemi Covid-19. Fenomena ini mencerminkan preferensi investor global terhadap aset-aset safe haven, dan meninggalkan emerging market seperti Indonesia dalam posisi defensif.
Pukulan Telak bagi Sektor Unggulan Ekspor
Penerapan tarif resiprokal 32 persen oleh AS berpotensi menghajar kinerja ekspor Indonesia di berbagai sektor vital. Industri tekstil dan garmen berada di garis depan keterpaparan ini, dengan tarif AS untuk produk pakaian Indonesia yang sudah mencapai 11-14,7 persen sebelum tambahan 32 persen.
Dengan 61 persen ekspor pakaian Indonesia bergantung pada pasar AS, industri ini praktis terperangkap dalam dilema ketergantungan yang berbahaya. Reputasi produk garmen Indonesia, yang selama ini dibangun atas dasar keseimbangan kualitas dan harga kompetitif, kini terancam terguncang oleh lonjakan tarif yang dapat mengeliminasinya dari persaingan global.
Sektor alas kaki Indonesia menghadapi tantangan yang tidak kalah berat, dengan nilai ekspor ke AS mencapai USD1,9 miliar pada 2023. Tarif dasar 11,4 persen untuk alas kaki kulit dan tekstil, ditambah tarif resiprokal 32 persen, akan menciptakan hambatan komersial yang nyaris mustahil diatasi.
Industri yang telah membangun rantai nilai kokoh dari komponen dasar hingga produk jadi ini kini menghadapi risiko kehancuran pasar. Sebagai industri padat karya, guncangan pada sektor alas kaki akan langsung menimbulkan gelombang pengangguran yang mengkhawatirkan.
Industri furnitur Indonesia, dengan 57 persen ekspornya bergantung pada AS, tidak luput dari ancaman ini. Sektor yang secara eksplisit masuk dalam daftar pengenaan tarif ini terkenal dengan keunggulan desain dan bahan alami, namun kenaikan harga drastis akibat tarif berpotensi menghapus keunggulan kompetitifnya di pasar AS.
Sementara itu, eksportir karet Indonesia juga berada dalam zona bahaya, dengan 49,7 persen ekspor ban karet dan 23,2 persen ekspor karet alam ditujukan ke AS. Setelah berinvestasi besar dalam pengembangan kapasitas dan peningkatan kualitas, industri ini kini terancam kehilangan posisi kompetitifnya akibat lonjakan harga yang dipicu oleh tarif tambahan.
Sektor makanan dan minuman Indonesia juga terjebak dalam pusaran dampak tarif ini. Produk unggulan seperti kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, dan produk perikanan yang menjadikan AS sebagai pasar utama kini menghadapi ketidakpastian.
Kompleksitas situasi ini diperparah oleh ketergantungan timbal balik, di mana Indonesia juga mengimpor bahan baku penting dari AS seperti gandum, kedelai, dan susu. Ketegangan dagang berpotensi merusak rantai pasok dua arah yang telah terbangun selama bertahun-tahun.
Industri elektronik dan peralatan listrik Indonesia, dengan 63,3 persen ekspornya terarah ke AS, menghadapi prospek yang mengkhawatirkan. Sektor yang telah berkembang menjadi kontributor utama dalam ekspor berteknologi menengah Indonesia ini terintegrasi dalam rantai pasok global. Gangguan akibat tarif tidak hanya akan memukul industri elektronik, tetapi juga merambat ke industri hulu seperti logam dan plastik, menciptakan efek domino yang merusak seluruh ekosistem manufaktur.
Meskipun totalnya "hanya" 9 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia, konsentrasi dampak pada sektor-sektor padat karya ini berpotensi menciptakan krisis ketenagakerjaan yang substansial.
Efek berantai pada rantai pasok domestik dapat menimbulkan gelombang gangguan ekonomi yang melampaui angka statistik, menuntut respons strategis yang cepat dan tepat dari pemerintah Indonesia.
Jalan Terjal di Depan
Kebijakan tarif resiprokal yang digulirkan oleh AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump telah menjadi katalis dari tekanan multidimensi yang kini menguji ketahanan ekonomi Indonesia, dari ekspor, nilai tukar, stabilitas fiskal, hingga dinamika pasar keuangan. Di tengah ketidakpastian global yang terus meningkat, respons parsial tidak lagi cukup.
Pemerintah Indonesia perlu bergerak cepat dengan strategi lintas sektor. Diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional harus dipercepat, terutama untuk sektor-sektor padat karya yang saat ini terlalu bergantung pada pasar AS. Kebijakan industri juga perlu diperkuat untuk mendorong peningkatan nilai tambah produk domestik, serta mempercepat substitusi impor untuk meredam tekanan pada rupiah dan neraca pembayaran.
Di sisi kebijakan moneter dan fiskal, koordinasi yang erat antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menjadi kunci. Stabilitas nilai tukar harus dijaga tanpa mengorbankan momentum pemulihan ekonomi. Stimulus fiskal yang lebih terarah, misalnya, insentif untuk industri ekspor yang terdampak tarif—dapat menjadi penyangga penting dalam menahan gelombang pengangguran dan menjaga daya beli masyarakat.
Dalam konteks diplomasi ekonomi, Indonesia perlu memperkuat posisi tawar melalui kerja sama regional dan multilateral. Negosiasi ulang skema preferensi dagang, perluasan perjanjian perdagangan bebas (FTA), dan keaktifan di forum seperti ASEAN, G20, dan WTO harus menjadi bagian dari langkah ofensif kebijakan luar negeri ekonomi Indonesia.
Lebih dari sekadar respons taktis, krisis ini seharusnya menjadi momen reflektif untuk membenahi fondasi ekonomi nasional agar lebih resilien terhadap gejolak global yang semakin sering dan tidak terduga. Strategi jangka panjang berbasis inovasi, penguatan rantai pasok domestik, dan transisi menuju ekonomi hijau tak lagi opsional, melainkan menjadi syarat utama agar Indonesia mampu bertahan, bahkan melompat lebih tinggi, di tengah turbulensi ekonomi global. (*)