Logo
>

Trump Menang, IHSG Anjlok 2,45 Persen dan Modal Asing Keluar dari Indonesia

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Trump Menang, IHSG Anjlok 2,45 Persen dan Modal Asing Keluar dari Indonesia

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dalam Pemilu 5 November 2024 memberikan dampak signifikan pada pasar keuangan global, termasuk Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat turun 2,45 persen sejak kemenangan Trump, menyentuh level 7.308,67 pada perdagangan Rabu, 13 November 2024.

    Ekonom Senior PT Bahana TCW Investment Management Emil Muhamad menjelaskan bahwa koreksi IHSG disebabkan hasil Pemilu AS yang mengejutkan pasar.

    “Pasar sebelumnya hanya sedikit memperhitungkan kemenangan Trump. Namun, dengan kemenangan telak ini, pasar mulai mengantisipasi dampak yang lebih besar ke depan,” ujar Emil dalam keterangan resmi, Jumat, 22 November 2024.

    Emil menambahkan, kemenangan besar Partai Republik, yang menguasai posisi Presiden, Senat, dan House of Representatives, mempermudah Trump menjalankan kebijakannya. Hal ini juga memicu kenaikan yield US Treasury dari 3,7 persen pada September menjadi 4,45 persen pasca pemilu.

    “Kenaikan yield tersebut menyebabkan arus keluar modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia,” jelasnya.

    Dalam kampanyenya, Trump menjanjikan kebijakan ekspansif, seperti pemotongan pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 15 persen. Langkah ini diyakini dapat mendongkrak Earning per Share (EPS) perusahaan-perusahaan AS, membuat pasar saham AS lebih menarik dibandingkan negara berkembang.

    Selain itu, Trump juga berencana menurunkan atau menghapus pajak penghasilan individu, yang memperkuat daya tarik pasar keuangan AS.

    “Langkah ini menjelaskan mengapa terjadi outflow besar dari pasar keuangan Indonesia,” kata Emil.

    Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dalam periode 6–12 November 2024, terjadi arus keluar modal asing senilai Rp14,17 triliun dari pasar keuangan Indonesia. Jumlah ini terdiri atas penjualan neto Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp6,05 triliun dan pasar saham Rp8,12 triliun.

    Emil juga mencatat bahwa Trump merencanakan penerapan tarif impor pada negara-negara tertentu, termasuk China, yang berpotensi meningkatkan inflasi di AS.

    “Kebijakan tarif ini bersifat inflationary, memicu ekspektasi kenaikan inflasi yang dapat mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga. Ini akan memengaruhi kebijakan moneter di negara lain, termasuk Indonesia,” tuturnya.

    Untuk menjaga stabilitas pasar, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga Surat Berharga Rupiah Indonesia (SRBI) sepekan sebelum Pemilu AS.

    “Langkah ini efektif mempertahankan stabilitas. Rupiah bahkan menjadi mata uang terkuat di Asia dengan penguatan 0,5 persen seminggu pasca Pemilu AS,” jelas Emil.

    Ke depan, BI kemungkinan akan tetap fokus menjaga stabilitas pasar keuangan. Sementara itu, pemerintah dapat mengarahkan kebijakan fiskal untuk mendukung daya beli masyarakat.

    “Meskipun pasar ekuitas Indonesia masih tertekan oleh ekspektasi pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan AS, strategi defensif diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar,” pungkas Emil.

    Proyeksi Bank Indonesia

    Bank Indonesia (BI) memprediksikan adanya perlambatalan pada pertumbuhan ekonomi dunia pasca kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2024.

    Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia akan lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang sebesar 3,2 persen, menjadi 3,1 persen.

    Penyebab utama penurunan ini adalah perlambatan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, termasuk di Eropa dan China, yang dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi AS yang lebih proteksionis di bawah kepemimpinan Trump.

    “Proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang seharusnya bisa meningkat dari 3,2 persen atau setidaknya bertahan pada angka tersebut, kini diperkirakan akan turun menjadi 3,1 persen,” kata Perry dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 21 November 2024.

    Adapun penyebabnya, menurut Perry, adalah dampak dari kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh AS, yang cenderung mengarah pada isolasi ekonomi atau inward looking, terutama pada masa pemerintahan Trump yang diprediksi akan kembali fokus pada kebijakan proteksionisme.

    Melihat pengalaman masa lalu, khususnya ketika Trump menjabat sebagai Presiden AS antara 2017 hingga 2021, BI mengantisipasi bahwa Trump kemungkinan besar akan kembali mengenakan tarif perdagangan tinggi terhadap negara-negara yang surplus perdagangan besar dengan AS, seperti China, Uni Eropa, Inggris, Meksiko, dan Vietnam.

    Proyeksi BI menunjukkan bahwa kebijakan tarif tinggi ini kemungkinan baru akan diterapkan pada semester kedua tahun 2025.

    Perry menambahkan, bahwa kebijakan tarif yang tinggi ini akan menyebabkan terjadinya “fragmentasi perdagangan”, yang pada gilirannya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara-negara yang terlibat dalam perdagangan dengan AS.

    Sebagai contoh, tarif 25 persen kemungkinan akan diterapkan AS terhadap produk besi, aluminium, dan kendaraan bermotor dari Uni Eropa. Sementara itu, China juga diperkirakan akan dikenakan tarif serupa untuk produk-produk seperti mesin elektronik dan bahan kimia.

    Pengenaan tarif tinggi ini, menurut Perry, berpotensi memicu ketegangan perdagangan global yang lebih besar, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap perekonomian negara-negara tersebut. Dalam jangka panjang, fragmentasi perdagangan ini akan memperburuk laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar dunia, termasuk China dan Uni Eropa.

    Bahkan, China, yang sudah mengalami pelambatan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan yang lebih dalam.

    Di sisi lain, meskipun Uni Eropa sedang berada dalam masa pemulihan ekonomi, dampak dari kebijakan proteksionisme AS ini kemungkinan akan membatasi potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan oleh hambatan perdagangan yang semakin ketat serta kebijakan perdagangan internasional yang lebih terbatas.

    Perry juga menekankan bahwa faktor-faktor lain yang dapat memperburuk laju pertumbuhan ekonomi dunia adalah kebijakan imigrasi yang lebih ketat dan ketegangan geopolitik yang terus meningkat.

    “Kebijakan imigrasi yang lebih restriktif akan berdampak langsung pada aliran tenaga kerja dan investasi yang masuk ke berbagai negara, yang pada gilirannya akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi global,” tuturnya.

    Di sisi lain, ketegangan geopolitik, yang kerap melibatkan negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan China, juga berpotensi menciptakan ketidakpastian ekonomi yang dapat memengaruhi aliran perdagangan internasional dan investasi global.

    Selain dampak terhadap ekonomi global, kebijakan domestik yang diterapkan oleh Trump di AS juga diprediksi akan mempengaruhi perekonomian global.

    Salah satu kebijakan utama yang diharapkan diterapkan Trump adalah pemotongan pajak (cut tax) untuk individu dan perusahaan di AS, yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.

    Dengan pemotongan pajak ini, diharapkan daya beli masyarakat dan sektor bisnis di AS dapat meningkat, yang pada akhirnya akan mendukung ekspansi ekonomi di negara tersebut.

    Namun, Perry mengingatkan bahwa meskipun kebijakan pemotongan pajak ini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, dampaknya terhadap penurunan inflasi di AS diperkirakan tidak akan terjadi secara signifikan dalam waktu dekat. Hal ini berpotensi menyebabkan penurunan inflasi yang lebih lambat dan juga dapat memperlambat penurunan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate).

    BI sendiri memperkirakan bahwa suku bunga acuan AS akan mengalami penurunan yang lebih terbatas pada tahun 2025.

    Sebagai bagian dari proyeksi ekonomi yang lebih terkini, BI memperkirakan bahwa Fed Funds Rate akan turun sebesar 25 basis poin pada bulan Desember 2024. Namun, untuk tahun 2025, proyeksi sebelumnya yang memperkirakan penurunan sebesar 75 hingga 100 basis poin kini disesuaikan menjadi hanya 50 basis poin. Penurunan ini diharapkan terjadi dua kali sepanjang tahun depan, yang jauh lebih terbatas dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya.

    Meskipun proyeksi ekonomi global menunjukkan adanya pelambatan, Perry menegaskan, bahwa BI tetap akan memantau perkembangan ekonomi internasional dan domestik dengan seksama.

    Bank Indonesia, menurutnya, akan terus berupaya menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung kebijakan ekonomi yang dapat meredam dampak negatif dari perlambatan ekonomi global.

    Selain itu, BI juga berencana untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mendorong pemulihan ekonomi domestik dan menjaga inflasi agar tetap terkendali.

    Secara keseluruhan, BI memperkirakan bahwa dampak dari kebijakan ekonomi Trump yang lebih proteksionis akan membawa tantangan bagi perekonomian global, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan ketidakpastian yang lebih besar. Namun, BI tetap optimistis bahwa dengan kebijakan yang tepat, perekonomian Indonesia dapat tetap tumbuh meskipun ada tantangan dari faktor eksternal yang lebih besar. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.