Logo
>

Trump Naikkan Tarif, Ancaman Serius bagi Sektor Padat Karya

Tarif bukan cuma isu makro, tapi juga soal dapur pekerja kecil di sejumlah daerah di Tanah Air.

Ditulis oleh Syahrianto
Trump Naikkan Tarif, Ancaman Serius bagi Sektor Padat Karya
Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam wawancara eksklusif bersama Kabarbursa.com, di Kabar Bursa Hari Ini, Rabu, 9 April 2025. (Foto: Kabarbursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kebijakan dagang proteksionis ala Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menghantam. Kali ini, giliran Indonesia yang kena getahnya: mulai 9 April 2025, seluruh produk asal Indonesia dikenai tarif 32 persen oleh Paman Sam. Angka ini bukan main-main, naik lebih dari tiga kali lipat dibanding tarif dasar sebelumnya di kisaran 10 persen.

    Tapi yang perlu dicatat bukan cuma soal barang. Ini juga soal nasib jutaan pekerja Indonesia di sektor padat karya, yang kini berada di garis depan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penurunan ekspor.

    Menurut Ninasapti Triaswati, ekonom dari Universitas Indonesia, sebagian besar produk Indonesia yang mencetak surplus dagang ke AS justru berasal dari sektor padat karya, seperti alas kaki, tekstil dan produk turunannya, serta mesin dan elektronik ringan. 

    "Ini adalah industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Kalau permintaan dari AS turun karena tarif mahal, maka dampaknya langsung ke pabrik-pabrik kita di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan daerah lain,” ujar Nina, sapaan akrabnya, dalam wawancara eksklusif di Kabar Bursa Hari Ini, Rabu, 9 April 2025.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian, sektor tekstil dan alas kaki sendiri menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja langsung di Indonesia, dengan sebagian besar berada di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ekspor tekstil dan produk tekstil ke AS pada tahun 2024 tercatat mencapai USD4,2 miliar, sementara alas kaki menyumbang sekitar USD2,1 miliar. 

    Artinya, tarif bukan cuma isu makro, tapi juga soal dapur pekerja kecil di Karanganyar, Ciamis, Majalaya, hingga Batam.

    Namun di balik risiko itu, ada juga peluang. Nina menyebut bahwa keterlibatan tenaga kerja Indonesia dalam rantai pasok produk AS bisa menjadi kartu tawar dalam negosiasi.

    “Ini bukan sekadar barang ekspor, ini soal livelihood pekerja kita yang bantu suplai kebutuhan pasar Amerika. Kalau itu terganggu, AS juga bisa kena dampak. Jadi kita bisa pakai ini sebagai alasan agar tarif diturunkan,” jelasnya.

    Strategi ini sejalan dengan tren global baru: diplomasi perdagangan berbasis keadilan sosial. Negara berkembang seperti Indonesia bisa mulai bersuara lebih keras bahwa proteksionisme bukan hanya merugikan neraca, tapi juga kehidupan nyata jutaan buruh.

    Kondisi ini juga menjadi wake-up call bagi pemerintah untuk mempercepat modernisasi sektor industri padat karya. Sebab ketergantungan pada pasar AS jelas membuat sektor ini rentan.

    Diversifikasi pasar, seperti mendorong ekspor ke Timur Tengah, Afrika, dan negara-negara BRICS, sudah dilakukan. Tapi Nina mengingatkan bahwa itu tak cukup jika kualitas produk dan efisiensi industri belum naik kelas.

    “Kalau kita ingin bertahan dalam gempuran global, industri padat karya kita harus naik level. Lebih otomatisasi, lebih inovatif, dan punya nilai tambah yang tinggi,” tegasnya.

    Tarif 32 persen dari AS adalah hantaman keras, tapi juga bisa jadi momen introspeksi. Indonesia harus berpikir jauh ke depan, bukan hanya menambal kerugian jangka pendek, tapi juga membangun fondasi ekonomi yang lebih tahan banting.

    Kuncinya: lindungi tenaga kerja, upgrade industri, dan perluas pasar.

    Kalau tidak, tarif bisa jadi awal dari domino efek, yang dimulai dari gudang ekspor, lalu merambat ke dapur pekerja.

    Lanskap Ketenagakerjaan Indonesia 2024

    Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 146,62 juta orang, meningkat 2,23 juta orang dibandingkan Februari 2023. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) juga mengalami kenaikan sebesar 0,88 persen poin.

    Dari jumlah tersebut, sebanyak 139,81 juta orang tercatat sebagai penduduk yang bekerja, naik 2,61 juta orang dari tahun sebelumnya. Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan signifikan antara lain sektor industri pengolahan dan perdagangan besar dan eceran. 

    Sektor padat karya seperti alas kaki, tekstil, dan elektronik menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Menurut data Kementerian Keternagakerjaan, sektor industri pengolahan menyumbang sekitar 17,84 persen dari total tenaga kerja nasional. ​

    Namun, dengan diberlakukannya tarif impor sebesar 32 persen oleh AS, sektor-sektor ini menghadapi tantangan berat. Penurunan permintaan ekspor dapat berujung pada pengurangan tenaga kerja, yang tentunya berdampak pada perekonomian domestik.

    Sementara itu, pada Februari 2024, sebanyak 59,38 juta orang (sekitar 42,47 persen) dari total pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal. Meskipun proporsi ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, angka tersebut masih signifikan. ​

    Pekerja informal cenderung lebih rentan terhadap perubahan ekonomi global, termasuk kebijakan perdagangan proteksionis seperti tarif impor tinggi dari mitra dagang utama.

    Kabar baiknya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2024 turun menjadi 5,45 persen, dibandingkan 5,86 persen pada Februari 2023. Penurunan ini mencerminkan pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. 

    Lebih lanjut, data ketenagakerjaan 2024 menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan dalam beberapa aspek. Namun, tantangan eksternal seperti kebijakan tarif impor dari AS menuntut respons strategis. 

    Pemerintah dan pelaku industri perlu berkolaborasi untuk menjaga stabilitas sektor padat karya dan melindungi tenaga kerja dari dampak negatif kebijakan perdagangan internasional. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.