KABARBURSA.COM – Perang dagang babak baru dimulai dan Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menaikkan tarif impor terhadap puluhan negara termasuk Indonesia. Di sisi lain, kerja sama strategis Indonesia dengan kelompok negara-negara BRICS—yang kini semakin erat—memberi alternatif jalur perdagangan non-Barat.
Situasi ini bukan sekadar angka di neraca dagang, tapi ujian geopolitik. Akankah Indonesia terus bertumpu pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, atau mulai serius mendiversifikasi orientasi ekonominya ke blok alternatif?
Kebijakan tarif ini menjadi bola salju yang mengguncang pasar. Pengamat pasar uang, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa kebijakan tarif imbal sebesar 32 persen dari AS kepada Indonesia bukan hanya memicu volatilitas pasar global, tapi juga sudah berdampak langsung terhadap ekonomi nasional.
“IHSG kemungkinan besar akan mengalami penurunan 2 sampai 3 persen dalam perdagangan hari Senin (08/04),” ujar Ibrahim dalam keterangan suara, Kamis, 3 April.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) diprediksi akan tergelincir signifikan. Koreksi ini diyakini tak hanya didorong oleh kekhawatiran investor, tapi juga oleh tekanan eksternal dari memburuknya sentimen global.
Rupiah pun tak lepas dari tekanan. Nilai tukar terhadap dolar AS yang sebelumnya relatif stabil, kini menghadapi ancaman serius. Ibrahim menyebut kemungkinan besar rupiah akan pecah telor juga di Rp17.000. “Ini perlu diwaspadai karena dampak perang dagang sangat besar terhadap nilai tukar. Jika tekanan terus berlanjut, kita bisa melihat rupiah menembus batas psikologis baru," katanya.
Skenario “pecah telor” yang dimaksud bukan hanya simbolik. Jika rupiah benar-benar menembus angka psikologis tersebut, maka efek domino bisa terjadi, mulai dari imported inflation, tekanan harga barang kebutuhan pokok, dan penurunan daya beli.
Lalu, bagaimana sebaiknya pemerintah merespons?
Ibrahim memberikan tiga strategi konkret yang sebaiknya segera diterapkan. Pertama, pemerintah perlu melakukan perlawanan tarif secara setara. Kedua, Indonesia harus sigap mencari pasar ekspor baru. Selama ini, Amerika Serikat memang jadi tujuan ekspor utama. Namun dengan tekanan geopolitik dan tarif seperti sekarang, sudah waktunya Indonesia serius memaksimalkan keanggotaannya di BRICS.
Ketiga, strategi stabilisasi keuangan juga perlu digencarkan, salah satunya melalui intervensi perdagangan transaksi domestik non deliverable forward (DNDF). Pemerintah, kata Ibrahim, perlu menggelontorkan stimulus agar tekanan terhadap sektor riil bisa diredam. Bank Indonesia, menurutnya, punya peran vital lewat intervensi yang lebih aktif di pasar valuta asing.
“Jika langkah-langkah ini diterapkan dengan cepat dan tepat, Indonesia dapat lebih siap menghadapi dampak perang dagang dan mengurangi tekanan terhadap perekonomian nasional,” kata Ibrahim.
Negara-negara dengan Beban Tarif Terberat
Donald Trump sebelumnya resmi merilis daftar panjang negara-negara dunia yang terkena tarif baru. Dari China hingga Indonesia, puluhan negara ditetapkan sebagai target kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Trump dalam pidatonya di Rose Garden, Gedung Putih.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai upaya mengembalikan keadilan dalam perdagangan internasional. “Negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijadikan korban dalam sistem dagang global yang timpang,” kata Trump dalam pidato yang mengundang tepuk tangan sebagian pendukungnya, namun juga kritik keras dari sejumlah ekonom dan anggota parlemen.
Menurut data resmi yang diunggah akun Instagram @potus, tarif baru diberlakukan berdasarkan besarnya defisit perdagangan bilateral AS dengan negara mitranya. China, sebagai eksportir terbesar ke Amerika, ditetapkan mendapat tarif sebesar 34 persen. Vietnam menyusul dengan 46 persen. Indonesia tak luput dari daftar, dikenakan tarif sebesar 32 persen—angka yang jauh lebih tinggi dibanding tarif normal yang sebelumnya berkisar di bawah 5 persen.
Daftar ini bukan asal tunjuk. Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) bahkan menyusun perhitungan matematis untuk menetapkan tarif resiprokal tersebut. Rumusnya adalah:
Δτᵢ = (xᵢ - mᵢ) / (ε * φ * mᵢ)
Artinya, besaran perubahan tarif ditentukan oleh selisih antara ekspor dan impor masing-masing negara terhadap AS, dikalikan dengan dua parameter teknis, yakni elastisitas permintaan impor (ε) dan tingkat pengaruh tarif terhadap harga (φ). Jika suatu negara memiliki surplus besar terhadap AS, maka tarifnya akan tinggi, karena dianggap mengambil keuntungan lebih banyak dari pasar AS.
Menurut ringkasan dokumen USTR, parameter ε ditetapkan sebesar 4, sedangkan φ sebesar 0,25. Data ekspor dan impor digunakan dari statistik tahun 2024. Dengan pendekatan ini, tarif resiprokal yang ditetapkan bervariasi antara 10 persen hingga 99 persen. Rata-rata tarif secara global mencapai 41 persen bila dihitung berdasarkan volume impor.
Lantas, siapa saja yang paling terdampak?
China jelas jadi sasaran utama, dengan tarif yang mencapai 34 persen. Tarif ini disebut “diskon” karena nilai awal perhitungan mencapai 67 persen. Vietnam yang selama ini dipandang sebagai alternatif bagi banyak investor yang keluar dari China, ternyata kena lebih besar, yakni 46 persen dari semula 90 persen. Indonesia, yang dianggap memiliki hambatan dagang non-tarif cukup tinggi, juga masuk daftar dengan angka 32 persen, turun dari hitungan mentah sebesar 64 persen.
Beberapa negara tetangga juga tak lepas dari jeratan. Malaysia dikenai tarif 24 persen, Thailand 36 persen, sementara Singapura tetap mendapat tarif minimal 10 persen. Negara-negara seperti Bangladesh (37 persen), Kamboja (49 persen), dan Sri Lanka (44 persen) juga masuk kategori “dijatuhi tarif tinggi”.
Adapun Uni Eropa, blok dagang yang selama ini punya hubungan dagang kuat dengan AS, dikenai tarif 20 persen. Jepang dan Korea Selatan masing-masing kena tarif 24 persen dan 25 persen. Bahkan negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Inggris sekalipun, tetap dikenai tarif dasar sebesar 10 persen.(*)