Logo
>

Trump Ngotot soal Tarif, Padahal Sejarah Bilang itu Blunder

Sejak era George Washington, tarif jadi senjata dagang Amerika. Tapi pengalaman 1930 membuktikan, tarif justru bisa bikin ekonomi makin hancur.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Trump Ngotot soal Tarif, Padahal Sejarah Bilang itu Blunder
Ilustrasi sejarah tarif dari Presiden Washington hingga Presiden Donald Trump di Amerika Serikat. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Kisah tentang tarif dagang bukanlah barang baru di Amerika Serikat. Bahkan sejak zaman George Washington, pemerintah AS sudah doyan pasang bea masuk tinggi buat jaga industri lokal. Tapi salah satu bab paling kelam dalam sejarah tarif terjadi pada 1930, saat Kongres mengesahkan Undang-Undang Smoot-Hawley yang malah bikin krisis ekonomi makin parah.

    Waktu itu, dua politisi Partai Republik—Willis Hawley dari Oregon dan Reed Smoot dari Utah—mencari jalan agar bisa menyelamatkan petani dan pabrikan AS dari gempuran impor. Mereka lantas mengusulkan tarif tinggi. Presiden AS ketika itu, Herbert Hoover, setuju dan menandatangani undang-undangnya. Hasilnya, negara-negara lain ikut balas dendam pakai tarif juga, perdagangan global macet, dan AS masuk lebih dalam ke jurang Depresi Besar. Butuh waktu bertahun-tahun sampai ekonomi AS bisa bangkit lagi—dan itu baru terjadi setelah Perang Dunia II.

    Sejarah mencatat, kebijakan tarif ini justru bikin keadaan ekonomi yang sudah buruk jadi tambah kacau. Tapi sekarang, kebijakan serupa dihidupkan lagi oleh Presiden Donald Trump—yang, anehnya, merasa tarif bisa menyelamatkan Amerika.

    Seperti Hoover dulu, Trump juga naik ke tampuk kekuasaan berkat reputasinya sebagai pebisnis ulung. Hoover dikenal sebagai insinyur tambang internasional sekaligus dermawan. Saat dilantik jadi Presiden ke-31 Amerika Serikat tahun 1929, ia hadir layaknya CEO penuh semangat—bermimpi besar soal sinergi sektor publik dan swasta, serta ingin menjadikan pemerintah sebagai alat dorong pertumbuhan ekonomi.

    “Siapa pun tak hanya bisa kaya, tapi seharusnya kaya,” katanya penuh percaya diri dalam pidato pelantikannya, dilansir dari AP di Jakarta, Selasa, 8 April 2025. Tak lama setelah itu, ia memanggil Kongres ke sesi khusus untuk membahas revisi tarif demi melindungi petani AS.

    Tapi alih-alih jadi penyelamat ekonomi, Hoover malah jadi presiden yang menyambut Depresi Besar.
    Trump sekarang mencoba menulis ulang sejarah. Lewat sederet kebijakan tarif yang bikin pasar global kelabakan, ia mengklaim Amerika sejak awal memang dibangun di atas pajak impor tinggi. Menurutnya, kejatuhan ekonomi 1929 itu justru terjadi karena negara ini melupakan tarif.

    “Kalau mereka tetap pegang tarif waktu itu, Depresi Besar tak akan pernah terjadi,” ucap Trump waktu mengumumkan rencana tarif barunya minggu lalu.

    Ia juga menyebut Smoot-Hawley sebagai upaya terlambat yang gagal total. “Mereka coba balikin tarif buat menyelamatkan negara kita. Tapi semuanya sudah terlambat. Tidak ada yang bisa dilakukan, butuh waktu bertahun-tahun buat bangkit dari depresi itu.”

    Masalahnya, versi sejarah Trump ini tak sesuai dengan kenyataan. Faktanya, Amerika masih lama menerapkan tarif tinggi meski sudah punya pajak penghasilan sejak 1913. Dan pendapat Trump tentang penyebab depresi, juga respons pemerintahan Hoover waktu itu, banyak dikritik ekonom dan sejarawan karena tidak akurat.

    Gary Richardson, profesor ekonomi dari University of California, yang juga pernah jadi sejarawan resmi Federal Reserve, bilang bahwa tarif memang pernah bantu mendorong industrialisasi di AS. Tapi kebijakan itu kemudian ditinggalkan karena dianggap tidak relevan untuk negara yang teknologinya sudah jauh di depan.

    “Waktu kita ada di puncak kekuatan setelah Perang Dunia II, justru kita memaksa dunia masuk ke sistem tarif rendah karena kita tahu itu menguntungkan buat kita,” ujar Richardson. “Dan sekarang, kita malah balik arah.”

    Sejarah Tarif, dari Washington ke Trump

    Kebijakan tarif sebenarnya bukan hal baru di Amerika. Sejak zaman George Washington, tepatnya tahun 1789, Kongres AS sudah menyetujui Undang-Undang Tarif pertama yang menetapkan pajak impor sebesar 5 persen untuk banyak barang yang masuk ke AS. Waktu itu, belum ada pajak penghasilan federal, jadi tarif ini dijadikan sumber pemasukan negara sekaligus cara melindungi produsen lokal dari gempuran barang murah luar negeri.

    Setelah Perang 1812 yang bikin hubungan dagang AS dan Inggris terganggu, Amerika makin agresif soal tarif. Tahun 1817, mereka meneken aturan tarif baru demi melindungi industri dalam negeri, khususnya tekstil, dari serbuan barang impor.

    Sejarah kebijakan tarif di AS. Infografis dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

    Kebijakan tarif tinggi terus berlanjut sampai beberapa dekade berikutnya. Tarif ini ternyata juga digunakan sebagai cara pemerintah buat bayar utang perang saudara. Bahkan pada 1890, lewat Tariff Act yang dikawal politisi Ohio bernama William McKinley—yang kemudian jadi Presiden AS—tarif impor dinaikkan jadi 49,5 persen untuk lebih dari 1.500 jenis barang. Gaya McKinley yang pro-tarif ini membuat dia dijuluki “Napoleon Proteksionisme.”

    Masalahnya, langkah itu malah bikin harga-harga melonjak dan ekonomi AS tersandung. Ketika krisis finansial melanda lewat Panic of 1893, pengangguran naik sampai 25 persen. Saking parahnya, masa itu sempat disebut sebagai "depresi besar" sebelum akhirnya istilah itu dipakai untuk kejatuhan ekonomi 1929.

    Era Pajak Penghasilan dan Jazz

    Baru pada 1909, Kongres AS mengesahkan Amandemen ke-16 yang melegalkan pajak penghasilan dan mulai berlaku tahun 1913. Trump mungkin bilang ini awal kejatuhan, tapi faktanya, ekonomi AS justru mekar pesat setelah itu. Inovasi teknologi seperti telepon dan booming konsumsi pasca-Perang Dunia I memicu lonjakan produksi barang konsumen. Otomotif, rumah susun, dan radio menjamur. Itulah awal dari era “Roaring Twenties.”

    Indeks Dow Jones pun meledak, dari 63 poin pada Agustus 1921 ke hampir 400 poin di September 1929. Namun, tarif tinggi masih tetap hidup. Di tahun 1922, Kongres meloloskan Fordney-McCumber Act yang menetapkan tarif tertinggi dalam sejarah AS untuk banyak barang impor demi mendorong manufaktur domestik. Tapi langkah ini seperti bumerang. Negara-negara mitra dagang utama AS membalas dengan tarif tandingan. Suasana dagang global pun memanas—mirip banget dengan reaksi China dan negara lain terhadap kebijakan tarif Trump saat ini.

    ‘Black Tuesday’ dan Pelajaran Mahal dari 1929

    Masuk ke tahun 1928 dan 1929, ekonomi AS mulai goyah. Federal Reserve menaikkan suku bunga untuk meredam gelembung saham. Tapi langkah ini justru membuat suku bunga global ikut naik sehingga memperlambat belanja konsumen dan produksi. Resesi mulai terasa sejak musim panas 1929.

    Dan pada 29 Oktober 1929, hari yang kemudian dikenang sebagai “Black Tuesday,” pasar saham kolaps. Panik massal melanda. Investor yang pinjam modal untuk beli saham kehilangan segalanya. Pabrik tutup, pekerja di-PHK, rumah tangga bangkrut. Ekonomi AS ambruk hampir 30 persen. Pengangguran melonjak ke 25 persen. Ribuan bank gulung tikar. Dunia terjun ke dalam spiral depresi.

    Dan sekarang, Trump membawa negaranya kembali ke masa lalu itu. Sejarah menunjukkan, main tarif tanpa berpikir panjang bisa jadi resep bencana. Trump mungkin ingin menghidupkan kembali semangat proteksionisme, tapi banyak ekonom bilang, dunia sekarang beda. Dulu bisa, sekarang bisa bahaya.

    Atau dalam bahasa sejarawan, seperti yang dikatakan Gary Richardson, “Kita dulu paksa dunia masuk ke sistem tarif rendah karena kita tahu itu bikin kita makin kuat. Tapi sekarang, kita malah mundur ke belakang.”(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).