KABARBURSA.COM – Di tengah gempuran seruan dunia untuk menekan emisi karbon, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru menandatangani sejumlah perintah eksekutif pada Selasa, 8 April 2025, waktu setempat yang membuka jalan bagi kebangkitan industri batu bara di Negeri Paman Sam. Ia menyebut langkah ini sebagai upaya “menghidupkan kembali industri yang telah ditinggalkan.”
Dengan latar belakang para pekerja tambang batu bara yang mengenakan helm pelindung, Trump menyatakan bakal mengembalikan ribuan pekerja tambang ke lapangan. “Kami akan mengembalikan para penambang ke tempatnya,” ujar Trump dengan nada optimistis, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu, 9 April 2025.
Padahal, data menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor ini tinggal sekitar 40 ribu orang—menyusut drastis dari 70 ribu satu dekade lalu.
Langkah ini bertolak belakang dengan tren global. Menurut Badan Informasi Energi AS (EIA), pembangkit listrik berbahan bakar batu bara saat ini hanya menyumbang kurang dari 20 persen pasokan listrik AS, jauh turun dari 50 persen pada tahun 2000. Penyebabnya adalah meningkatnya produksi gas alam lewat teknik pengeboran seperti fracking, serta pertumbuhan signifikan energi surya dan angin.
Trump—yang sejak kampanye memang menjual narasi kebangkitan energi domestik—kini juga memanfaatkan Undang-Undang Produksi Pertahanan (Defense Production Act) tahun 1950 untuk memacu produksi batu bara. Perintahnya juga meminta Menteri Energi Chris Wright untuk meninjau apakah batu bara jenis metalurgi (yang biasa dipakai untuk produksi baja) bisa digolongkan sebagai “mineral kritis”. Klasifikasi ini biasanya hanya diberikan untuk mineral bernilai strategis dalam sistem pertahanan berteknologi tinggi.
Jika disetujui, klasifikasi ini bisa membuka peluang penggunaan kewenangan darurat negara guna mempercepat produksi batu bara—termasuk untuk keperluan ekspor atau stok nasional.
Tak hanya itu. Salah satu perintah Trump juga mengarahkan Jaksa Agung AS untuk mengidentifikasi undang-undang lingkungan di tingkat negara bagian yang dianggap menghambat pengembangan sumber daya energi seperti batu bara. Pemerintah federal di bawah Trump bahkan siap turun tangan langsung untuk menghentikan penegakan hukum lingkungan yang dinilai “menghalangi”.
Langkah ini dibarengi oleh pengucuran dana sebesar USD200 miliar dari Departemen Energi untuk mendukung pengembangan teknologi batu bara baru. Ini dilakukan lewat Kantor Program Pinjaman yang selama ini jarang digunakan untuk proyek karbon capture di PLTU.
Lewat perintah eksekutif lainnya, Trump juga memerintahkan Menteri Dalam Negeri Doug Burgum untuk mencabut moratorium atas sewa tambang batu bara di lahan federal—sebuah langkah yang membuka peluang bagi perusahaan swasta untuk kembali menambang di tanah milik negara.
Kabar ini langsung bikin saham perusahaan batu bara AS melesat. Saham Peabody (BTU.N) dan Core Natural Resources (CNR.N) masing-masing naik sekitar 9 persen hanya dalam hitungan jam.
Namun, jalan mulus buat batu bara belum tentu tersedia. Banyak pembangkit listrik batu bara di dalam negeri sudah tutup dalam dekade terakhir karena kalah saing dengan energi yang lebih murah dan bersih. Bahkan kalaupun aturan lingkungan saat ini dicabut, investor masih khawatir dengan potensi regulasi baru di masa depan.
Apalagi, batu bara diketahui sebagai bahan bakar fosil paling kotor. Saat dibakar, ia melepaskan karbon dioksida lebih banyak ketimbang bahan bakar fosil lainnya dan turut menyumbang polusi yang memicu penyakit paru-paru dan jantung. Tak heran, pemakaiannya terus ditekan, khususnya di bawah rezim Demokrat seperti mantan Presiden Joe Biden.
Tersangkut di Masa Lalu
Meski Trump mengklaim akan menghidupkan kembali kejayaan batu bara, kenyataan di lapangan berkata lain. Saat ini, pembangkit listrik tenaga batu bara di AS hanya beroperasi sekitar 40 persen dari total waktu dalam setahun. Para pendukung batu bara percaya angka ini bisa didongkrak lewat pelonggaran aturan dan berbagai insentif baru.
Saat menjabat di periode pertamanya, Trump pernah mencoba menyokong industri ini dengan meminta Menteri Energinya saat itu menginstruksikan regulator energi federal agar memberikan subsidi pada pembangkit listrik batu bara. Alasannya karena batu bara dinilai berperan penting dalam menjaga keandalan dan ketahanan sistem kelistrikan nasional. Tapi pada 2018, rencana ini ditolak mentah-mentah oleh para regulator.
Kini, para pegiat batu bara kembali menaruh harapan pada pendekatan terbaru Trump. Presiden dan CEO National Mining Association, Rich Nolan, menyebut kebijakan ini sebagai langkah strategis untuk menjaga lampu tetap menyala secara bertanggung jawab, pengakuan nilai strategis batu bara hasil tambang Amerika, dan memanfaatkan peluang ekonomi dari melimpahnya energi dalam negeri.
Namun di sisi lain, kelompok lingkungan menuding Trump hanya mengulang kesalahan masa lalu. “Pembangkit batu bara itu usang dan kotor, tidak efisien, dan tidak bisa diandalkan,” kata Direktur Divisi Energi di Natural Resources Defense Council, Kit Kennedy.
Menurutnya, kebijakan Trump hanya akan membuat pelanggan listrik harus membayar lebih mahal untuk energi kuno yang sudah ditinggalkan. “Pemerintahan Trump terjebak di masa lalu. Alih-alih membangun masa depan kelistrikan yang lebih modern, mereka malah bikin kita mundur,” sindir Kennedy tajam.
Dengan kondisi teknologi energi yang berkembang pesat dan tekanan global untuk beralih ke sumber energi bersih, keputusan Trump ini bisa jadi hanya nostalgia politik yang mahal. Tapi di negeri yang masih terpecah soal transisi energi, batu bara—setidaknya untuk Trump dan pendukungnya—belum benar-benar padam.(*)
Trump Teken Perintah Eksekutif, Batu Bara Dihidupkan Lagi
Presiden AS Donald Trump kembali menghidupkan industri batu bara lewat serangkaian perintah eksekutif yang kontroversial. Di saat dunia sibuk menurunkan emisi karbon, Trump justru mendorong produksi batu bara demi membuka lapangan kerja.
