Logo
>

Utang Luar Negeri RI Tumbuh 6,4 Persen di Kuartal I 2025

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso mengatakan ULN Indonesia pada kuartal I 2025 sebesar USD 430,4 miliar.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Utang Luar Negeri RI Tumbuh 6,4 Persen di Kuartal I 2025
Ilustrasi utang luar negeri Indonesia.

KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) menyampaikan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 mencatatkan pertumbuhan. Sementara ULN pemerintah juga mengalami hal serupa. 

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, ULN Indonesia pada kuartal I 2025 sebesar USD 430,4 miliar, tumbuh sebesar 6,4 persen secara tahunan  dan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal IV 2024 sebesar 4,3 persen. 

"Perkembangan posisi ULN tersebut bersumber dari sektor publik," ujar dia dalam keterangan tertulis dikutip, Jumat, 16 Mei 2025.

Peningkatan juga dialami ULN pemerintah pada kuartal I 2025 sebesar USD206,9 miliar tumbuh sebesar 7,6 persen year on year (yoy), juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan 3,3 persen (yoy) pada kuartal IV 2024.

Ramdan menjelaskan, pertumbuhan ULN pemerintah itu dipengaruhi oleh penarikan pinjaman dan peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) internasional.

"Seiring dengan kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap terjaga di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi," terangnya. 

Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Ramdan menegaskan  pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan ULN. 

Berdasarkan sektor ekonomi, kata dia, ULN pemerintah dimanfaatkan antara lain untuk mendukung Sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (22,4 persen dari total ULN pemerintah); Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib (18,5 persen); Jasa Pendidikan (16,5 persen); Konstruksi (12,0 persen); dan Transportasi dan Pergudangan (8,7 persen). 

"Posisi ULN pemerintah tersebut tetap terjaga karena didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9 persen dari total ULN pemerintah," ungkapnya. 

Di sisi lain, posisi ULN swasta pada kuartal I 2025 tercatat sebesar USD195,5 miliar, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,2 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan kontraksi triwulan sebelumnya sebesar 1,6 persen (yoy). 

Ramdan menyampaikan, perkembangan tersebut  didorong oleh ULN bukan lembaga keuangan (nonfinancial corporation) yang mencatat kontraksi pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan kontraksi 1,7 persen (yoy) pada triwulan IV 2024.

Adapun berdasarkan  sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari sektor industri pengolahan; jasa keuangan dan asuransi; pengadaan listrik dan gas; serta pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 79,6 persen dari total ULN swasta. 

"ULN swasta tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,4 persen terhadap total ULN swasta," pungkas Ramdan. 

Pemerintah Tambah Utang Baru Rp250 Triliun pada Q1 2025

Di tengah tekanan pembiayaan dan pengeluaran negara yang terus membengkak, pemerintah kembali harus mengandalkan utang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga Maret 2025, Indonesia telah menambah utang baru sebesar Rp250 triliun untuk menutup celah anggaran yang makin lebar.

Jumlah tersebut setara 40,6 persen dari total target pembiayaan utang tahun ini yang ditetapkan mencapai Rp775,9 triliun.

“Realisasi pembiayaan tetap sesuai yang direncanakan atau on track yaitu mencapai Rp250 triliun atau 40,6 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp 775,9 triliun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis, 24 April 2025.

Ia menambahkan, kebijakan pembiayaan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan serta untuk menjaga keseimbangan antara biaya dan risiko utang.

“Tentu mencermati dinamika pasar keuangan dan termasuk pasar obligasi, serta menjaga keseimbangan antara tingkat biaya dan risiko utang. Pemerintah akan terus mengoptimalkan peranan instrumen APBN sebagai shock absorber dan sekaligus mengakselerasi pencapaian target pembangunan melalui berbagai kebijakan,” lanjutnya.

Hingga akhir kuartal I-2025, APBN mencatat defisit sebesar Rp104,2 triliun atau 0,43 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini baru mencakup 16,9 persen dari total defisit yang telah ditetapkan dalam APBN 2025.

Meski terjadi defisit, keseimbangan primer masih menunjukkan surplus sebesar Rp17,5 triliun, sementara posisi kas pemerintah mencatatkan surplus Rp145,8 triliun dalam bentuk Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA).

Pendapatan negara hingga Maret 2025 tercatat mencapai Rp516,1 triliun atau sekitar 17,2 persen dari target tahun ini. Sumber pendapatan berasal dari sektor perpajakan, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sementara itu, belanja negara mencapai Rp620,3 triliun atau sekitar 17,1 persen dari pagu APBN. Komponen belanja ini terdiri dari belanja pemerintah pusat, baik melalui kementerian atau lembaga maupun belanja non-kementerian atau lembaga, serta transfer ke daerah.

"Kinerja APBN triwulan I-2025 terjaga dengan baik,” kata Sri Mulyani.

Rupiah Terus Menguat

Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat siang, 16 Mei 2025, seiring munculnya angin segar dari rilis data ekonomi Amerika yang lebih ramah pasar. 

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah menguat 99 poin atau 0,66 persen ke level Rp16.429 per dolar AS, dibanding posisi penutupan Kamis sore, 15 Mei 2025, yang berada di level Rp16.528 per dolar AS.

Penguatan mata uang Garuda kali ini banyak dipengaruhi oleh membaiknya sentimen global, terutama setelah data inflasi produsen (Producer Price Index/PPI) Amerika Serikat untuk April 2025 dirilis di bawah ekspektasi. Inflasi PPI tercatat 2,4 persen secara tahunan (year-on-year), sedikit di bawah proyeksi pasar sebesar 2,5 persen.

Data ini menjadi sinyal penting bagi pelaku pasar. Inflasi yang mulai mereda menguatkan harapan bahwa bank sentral AS, The Federal Reserve, tak akan terlalu agresif menaikkan suku bunga.

Harapan ini lantas mendorong penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS, atau US Treasury (UST). Yield UST bertenor 10 tahun tercatat turun ke 4,43 persen, sementara tenor 2 tahun turun menjadi 3,95 persen.

Chief Economist dan Kepala Riset PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto, menilai bahwa kondisi tersebut turut mendorong pelaku pasar kembali berburu aset-aset berisiko, termasuk mata uang pasar berkembang seperti rupiah. 

Di sisi lain, indeks dolar AS juga mengalami depresiasi tipis ke angka 100,8 setelah sebelumnya tiga hari berturut-turut berada di atas level psikologis 101.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Hutama Prayoga

Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.