Logo
>

UU Migas 2001 Biang Keladi Anjloknya Produksi Minyak

UU Migas 2001 ini telah menciptakan sistem perminyakan yang membuat produksi minyak kita terus menurun

Ditulis oleh Dian Finka
UU Migas 2001 Biang Keladi Anjloknya Produksi Minyak
Ilustrasi pengeboran migas. Foto: Dok FIPGB

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pengamat perminyakan, Kurtubi, menilai Undang-Undang Migas Nomor 2 Tahun 2001 sebagai biang keladi anjloknya produksi minyak dan gas nasional selama lebih dari dua dekade.

    Ia mendesak pemerintah segera mencabut regulasi tersebut karena dinilai melanggar konstitusi dan merugikan kepentingan negara.  

    "UU Migas 2001 ini telah menciptakan sistem perminyakan yang membuat produksi minyak kita terus menurun selama 20 tahun. Ini bukan kebetulan, ini akibat dari aturan yang tidak pro-investor dan tidak sesuai dengan konstitusi," ujar Kurtubi kepada KabarBursa.com, Minggu, 16 Maret 2025.  

    Menurutnya, regulasi ini menyebabkan birokrasi perizinan yang berbelit-belit dan beban pajak tinggi bagi investor, sehingga minat investasi di sektor migas kian merosot.  

    "Investor diwajibkan bayar pajak sebelum menemukan minyak. Lalu, mereka harus mengurus sendiri izin pengeboran, yang bisa mencapai 100 meja mulai dari kepala desa, lurah, camat, hingga menteri. Padahal, dulu semua ini diurus oleh Pertamina," jelasnya.  

    Dari Eksportir Jadi Importir, Indonesia Rugi Besar 

    Kurtubi menegaskan bahwa sebelum UU Migas 2001 diberlakukan, Indonesia merupakan negara eksportir migas yang besar dan anggota OPEC. Namun, sejak regulasi ini berjalan, produksi minyak anjlok, membuat Indonesia kini bergantung pada impor.  

    "Dulu kita mengekspor LPG, LNG, dan minyak mentah dalam jumlah besar. Sekarang, kita malah mengimpor 80 persen LPG, impor minyak mentah sejuta barel per hari, dan BBM juga kita impor besar-besaran. Ini dampak nyata dari UU Migas yang salah arah," tegasnya.  

    Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa regulasi ini tetap dibiarkan berlaku meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut 17 pasalnya.  

    "Saya sudah meminta sejak 2001 agar UU ini dicabut. Saya sampaikan dalam berbagai forum, Konferensi Guru Besar Indonesia di Makassar 2012, hingga dalam buku yang diterbitkan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Tapi sampai sekarang, tidak ada langkah konkret dari pemerintah," ujarnya dengan nada geram.  

    Minta Pemerintah Bertindak Tegas 

    Kurtubi juga menyoroti peran Menteri BUMN Erick Thohir yang dinilai kurang dalam mengontrol bawahannya di sektor migas. 

    "Erick harus berani menjawab ini dengan fair. Jika memang ingin reformasi sektor migas, UU Migas 2001 harus dicabut. Ini bukan sekadar isu perizinan, tapi juga soal kedaulatan energi bangsa," katanya.  

    Ia pun mendesak Presiden dan Menteri ESDM untuk segera mengambil tindakan nyata agar Indonesia bisa kembali menjadi negara dengan ketahanan energi yang kuat.  

    "Kalau ingin produksi migas naik dan kembali menjadi sumber pendapatan negara, cabut dulu UU Migas 2001. Itu langkah pertama yang harus dilakukan," pungkasnya.

     Arus Investasi Sektor Hulu Minyak Dan Gas

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa penerapan skema kontrak bagi hasil baru, yakni gross split, akan menjadi pendorong utama bagi arus investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).

    Skema ini, menurut Bahlil, dirancang untuk memberikan insentif yang lebih menarik bagi investor sekaligus mempercepat proses eksplorasi dan produksi migas.

    Menurutnya, model gross split yang diperkenalkan ini lebih kompetitif dan memiliki daya tarik yang kuat di mata investor global. Dengan demikian, diharapkan dapat mempercepat peningkatan kapasitas produksi migas dalam negeri.

    "Skema ini bertujuan untuk memacu sektor migas, memastikan adanya peningkatan kapasitas produksi domestik," ujar Bahlil dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu  29 Desember 2024.

    Penandatanganan kontrak kerja sama untuk wilayah kerja migas (WK migas) Central Andaman menandai penerapan pertama skema gross split. Konsorsium Harbour Energy Central Andaman Ltd dan Mubadala Energy (Central Andaman) Rsc Ltd, yang menjadi kontraktor untuk WK ini, telah melakukan pembayaran bonus tanda tangan sebesar 300.000 dolar AS serta jaminan pelaksanaan sebesar 1,5 juta dolar AS. Harbour Energy berperan sebagai operator.

    Kontrak WK Central Andaman ini menjadi tonggak baru dalam sejarah investasi sektor migas, karena untuk pertama kalinya mengadopsi skema gross split sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2024, yang menggantikan regulasi sebelumnya, yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.

    Pembaruan aturan tersebut juga melibatkan penerbitan Keputusan Menteri ESDM Nomor 230.K/MG.01.MEM.M/2024 yang menetapkan pedoman pelaksanaan kontrak bagi hasil gross split. Pembaruan ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara kepentingan kontraktor dan pemerintah, terutama terkait dengan kepastian bagi hasil yang diterima kontraktor yang dapat mencapai 75 hingga 95 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan pada skema sebelumnya yang bagi hasilnya sangat bervariasi.

    Selain itu, Bahlil juga menyoroti langkah pemerintah dalam menyederhanakan proses perizinan sektor migas. Dalam upaya untuk mempercepat eksplorasi, Kementerian ESDM telah mengurangi jumlah perizinan yang sebelumnya sangat membebani, dari 320 izin menjadi hanya 140 izin.

    "Kami ingin memastikan bahwa birokrasi tidak menjadi penghalang dalam eksplorasi migas. Dengan pengurangan perizinan ini, kami berharap lebih banyak investor yang tertarik," ujar Bahlil menambahkan.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.