Logo
>

Wall Street Nyaris Stagnan Gara-gara Rating Moody's

Pasar saham AS, Wall Street, datar setelah Moody’s menurunkan peringkat kredit pemerintah, memicu kekhawatiran baru atas beban utang dan prospek ekonomi.

Ditulis oleh Syahrianto
Wall Street Nyaris Stagnan Gara-gara Rating Moody's
Suasana dalam main hall Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menampilkan layar saham dunia. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM - Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup nyaris stagnan pada perdagangan Senin, 19 Mei 2025 waktu setempat. Sentimen pasar tertekan oleh keputusan lembaga pemeringkat Moody’s yang menurunkan peringkat kredit pemerintah federal AS, menyusul profil utang negara yang kian membengkak.

Seperti dikutip dari Reuters, indeks Dow Jones Industrial Average naik 137,33 poin atau 0,32 persen ke level 42.792,07. Sementara itu, S&P 500 menguat 5,22 poin atau 0,09 persen menjadi 5.963,60, dan Nasdaq Composite bertambah tipis 4,36 poin atau 0,02 persen ke 19.215,46.

Setelah penutupan pasar pada Jumat, 16 Mei 2025 lalu, Moody’s menurunkan peringkat kredit utang jangka panjang AS dari “Aaa” ke “Aa1”. Alasan utama penurunan ini adalah beban utang pemerintah yang kini mencapai USD36 triliun, ditambah kewajiban pembayaran bunga yang terus meningkat.

“Pasar memang diperkirakan akan bereaksi karena pengumuman dari Moody’s dilakukan setelah jam perdagangan berakhir,” ujar Talley Leger, Kepala Strategi Pasar di The Wealth Consulting Group. 

“Namun menurut saya, aksi jual terhadap aset Amerika saat ini sudah terlalu berlebihan," imbuhnya.

Meski sempat melemah di awal sesi, pasar saham berhasil bangkit dan ditutup mendekati level sebelumnya. Indeks S&P 500 bahkan mencatat kenaikan beruntun selama enam sesi perdagangan. 

Dari 11 sektor dalam indeks S&P, tujuh di antaranya ditutup menguat, dipimpin oleh sektor kesehatan, barang konsumsi primer, industri, material, dan utilitas. Sebaliknya, sektor energi dan barang konsumsi non-primer menjadi yang paling merugi hari ini.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turut naik karena kekhawatiran bahwa RUU pemangkasan pajak yang diusulkan akan semakin memperbesar beban utang negara. Yield surat utang acuan ini naik 1 basis poin menjadi 4,449 persen.

RUU pemotongan pajak besar-besaran yang diusung Presiden Donald Trump mendapatkan persetujuan awal dari salah satu komite penting Kongres pada Minggu.

Dari sisi korporasi, saham TXNM Energy melonjak 7 persen setelah diumumkan akan diakuisisi oleh unit infrastruktur milik Blackstone dalam kesepakatan senilai USD11,5 miliar. 

Sementara itu, saham Novavax melesat 15 persen usai mendapatkan persetujuan regulasi di AS untuk vaksin COVID-19 miliknya, yang telah lama dinantikan. Regeneron Pharmaceuticals turut naik 0,4 persen setelah mengumumkan rencana mengakuisisi perusahaan genomik 23andMe Holdings senilai USD256 juta melalui lelang kebangkrutan.

Di Bursa Efek New York (NYSE), jumlah saham yang turun jumlahnya setara dengan yang naik, yakni rasio 1 banding 1. Tercatat 216 saham menyentuh level tertinggi baru, sementara 50 saham menyentuh titik terendah. 

Di S&P 500, ada 26 saham yang mencetak level tertinggi 52 minggu tanpa ada yang mencatatkan posisi terendah baru. Sedangkan Nasdaq mencatatkan 57 saham menyentuh level tertinggi baru dan 57 lainnya menyentuh titik terendah baru.

Volume transaksi di seluruh bursa saham AS mencapai 19,41 miliar saham, melampaui rata-rata 20 hari perdagangan terakhir yang berada di kisaran 17,34 miliar saham per hari. 

Dampak Penurunan Peringkat Kredit AS

Di tengah penurunan peringkat kredit pemerintah AS oleh Moody’s dan meningkatnya gejolak pasar, para pejabat tinggi Federal Reserve (The Fed) memilih bersikap hati-hati. Mereka menegaskan bahwa fokus utama tetap pada pencapaian target kebijakan moneter, sembari mencermati berbagai perkembangan yang bisa mempengaruhi perekonomian secara lebih luas.

Wakil Ketua The Fed, Philip Jefferson, menyampaikan bahwa penurunan peringkat tersebut akan diperlakukan sebagaimana data ekonomi lainnya, ditelaah dalam konteks pencapaian mandat kebijakan bank sentral, tanpa terjebak pada implikasi politiknya. 

Penurunan peringkat dari “Aaa” ke “Aa1” oleh Moody’s pada Jumat, 16 Mei 2025 lalu, menjadi yang terakhir dari tiga lembaga pemeringkat utama yang menurunkan status utang AS dari level tertinggi.

Meski belum menjadi ancaman jangka pendek, biaya pinjaman yang lebih tinggi akibat kondisi fiskal AS yang memburuk bisa menimbulkan tekanan baru terhadap aktivitas ekonomi. Kenaikan biaya modal akan menyulitkan akses kredit dan berdampak pada pertumbuhan. Hal ini pun menjadi salah satu pertimbangan dalam arah kebijakan suku bunga The Fed ke depan.

Presiden Federal Reserve Atlanta, Raphael Bostic, dalam wawancaranya dengan CNBC, menuturkan bahwa efek domino dari penurunan peringkat ini bisa menjalar ke seluruh sektor ekonomi. Ia menilai, pasar akan membutuhkan waktu sekitar tiga hingga enam bulan untuk benar-benar merespons dinamika baru ini, dan periode tersebut akan menjadi penentu minat investor terhadap aset-aset AS.

Kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal AS sebenarnya telah lama dibahas, namun eskalasi belanja besar-besaran pemerintah dan rencana anggaran Partai Republik yang diperkirakan bakal menambah utang kian memperkuat potensi krisis. 

Di sisi lain, arah kebijakan perdagangan Presiden Donald Trump yang agresif dan tidak terprediksi, dengan tarif tinggi untuk banyak negara, juga menciptakan ketidakpastian baru bagi investor global.

Saat pasar saham mengalami tekanan dan imbal hasil obligasi naik pada Senin, Trump menegaskan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Moody’s. Sementara itu, Presiden The Fed New York, John Williams, dalam konferensi Asosiasi Bankir Hipotek di New York, mencoba meredam kekhawatiran. Ia mengatakan bahwa meskipun investor tengah menimbang ulang prospek mereka, AS masih dipandang sebagai tempat investasi yang atraktif, termasuk untuk instrumen utang negara (Treasury).

Dalam kesempatan berbeda di kampung halamannya, Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari, menyatakan bahwa dalam jangka panjang, kunci utama terletak pada kepercayaan investor terhadap posisi daya saing AS dibanding negara-negara maju lainnya. Ia mengakui bahwa tanda tanya terhadap posisi global AS kini lebih besar dibanding satu atau dua tahun lalu, dan hasil akhirnya masih belum bisa diprediksi.

Kekhawatiran ini menjadi makin relevan karena pasar obligasi pemerintah AS selama ini dikenal sebagai tempat paling aman bagi investor global. Namun, jika lonjakan utang tidak diimbangi dengan permintaan yang memadai, atau jika kebijakan perdagangan justru menghambat arus dolar kembali ke pasar AS, posisi aman tersebut bisa terkikis.

Analis dari Evercore ISI menyebut bahwa fenomena "jual Amerika" yang terlihat pada perdagangan Senin, dengan penurunan tajam pada obligasi, saham, dan dolar AS, bisa jadi mencerminkan pergeseran preferensi investor global yang dipicu kombinasi penurunan peringkat dan ketegangan geoekonomi dari kebijakan tarif Trump.

Di tengah ketidakpastian ini, fakta bahwa dolar dan obligasi AS tidak menguat justru dianggap sebagai sinyal bahwa daya tarik instrumen tersebut mulai luntur. Namun demikian, tidak semua pihak menilai situasi ini akan membawa dampak jangka panjang. Dalam catatan kepada kliennya, analis Barclays menyebut bahwa mereka tidak melihat konsekuensi besar dari penurunan peringkat Moody’s.

Para pejabat The Fed pun belum mengubah pendekatan kebijakannya. John Williams menyatakan bahwa ekonomi saat ini masih berada di posisi yang baik, dan kebijakan suku bunga telah disiapkan untuk menyesuaikan dengan arah data. 

Sementara itu, Raphael Bostic menambahkan bahwa dengan ekspektasi saat ini, kemungkinan penurunan suku bunga hanya akan terjadi satu kali pada tahun ini, karena inflasi diperkirakan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali ke target dua persen. (*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Syahrianto

Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.