KABARBURSA.COM - Harga emas melemah dalam perdagangan dengan volume tipis pada Senin, 30 Desember 2024. Penurunan ini terjadi karena para pedagang menantikan katalis baru, termasuk data ekonomi Amerika Serikat yang akan dirilis minggu depan.
Data tersebut berpotensi memengaruhi pandangan Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga untuk tahun 2025, serta kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh Presiden terpilih Donald Trump.
Seperti dilansir dari Reuters, harga emas spot turun sebesar 0,6 persen, menjadi USD2.604,49 per ons. Sementara itu, kontrak berjangka emas AS ditutup 0,5 persen lebih rendah pada USD2.618,10 per ons.
“Saya pikir ini hanya dampak dari perdagangan tipis menjelang liburan, mungkin juga ada penyesuaian akhir tahun dalam buku catatan,” kata Peter Grant, Wakil Presiden sekaligus ahli strategi logam senior di Zaner Metals.
Ketegangan geopolitik diperkirakan akan tetap tinggi hingga tahun depan. Selain itu, bank sentral global diharapkan terus membeli emas sebagai bagian dari diversifikasi aset.
Sementara itu, situasi utang AS kemungkinan akan memburuk, dengan defisit yang diproyeksikan meningkat di bawah pemerintahan Trump. Faktor-faktor ini dapat mendukung permintaan emas sebagai aset aman, tambah Grant.
Harga emas telah mencatat kenaikan hampir 27 persen sepanjang tahun ini, dengan mencapai rekor tertinggi USD2.790,15 per ons pada 31 Oktober. Kenaikan ini sebagian besar dipicu oleh tingginya permintaan investor terhadap aset aman di tengah ketidakpastian geopolitik dan pemotongan suku bunga AS.
Harapan terhadap perubahan besar dalam kebijakan ekonomi AS pada 2025 semakin meningkat menjelang pelantikan Donald Trump pada Januari mendatang. Beberapa kebijakan yang diantisipasi meliputi penerapan tarif baru, deregulasi, dan perubahan struktur perpajakan.
Awal bulan ini, Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengindikasikan sikap hati-hati terhadap pemotongan suku bunga lebih lanjut. Pernyataan ini muncul setelah Federal Reserve menurunkan suku bunga sebesar seperempat poin, yang sesuai dengan ekspektasi pasar.
Serangkaian data ekonomi penting dari AS yang dijadwalkan rilis minggu depan mencakup angka lowongan pekerjaan, laporan ketenagakerjaan ADP, notulen pertemuan FOMC bulan Desember, dan laporan ketenagakerjaan nasional. Data ini akan memberikan gambaran tentang kondisi kesehatan ekonomi secara keseluruhan.
Sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakstabilan, emas tetap diminati. Namun, suku bunga yang tinggi cenderung mengurangi daya tarik emas sebagai aset yang tidak menghasilkan imbal hasil.
Sementara itu, harga logam mulia lainnya juga melemah. Harga perak spot turun 1,3 persen, menjadi USD28,98 per ons. Platinum turun 1,5 persen, menjadi USD905,62 per ons, setelah mencapai level terendah dalam lebih dari tiga bulan pada hari Jumat. Palladium juga mencatat penurunan 1 persen, menjadi USD902,16 per ons.
Harga Emas Melemah Sejak Pekan Lalu
Harga emas dunia tergelincir pada Jumat waktu Amerika Serikat (AS) atau Sabtu, 28 Desember 2024, dini hari WIB. Penurunan terjadi di tengah lonjakan imbal hasil obligasi AS yang mengurangi daya tarik logam mulia tanpa imbal hasil.
Dalam perdagangan yang sepi akhir tahun ini, perhatian pasar tertuju pada kembalinya presiden terpilih Donald Trump ke Gedung Putih dan dampak kebijakannya terhadap inflasi serta arah kebijakan Federal Reserve di 2025.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Sabtu, emas Spot tercatat turun 0,6 persen ke USD2.619,33 (sekitar Rp41,9 juta) per ons pada pukul 1:41 siang waktu AS. Sementara itu, kontrak berjangka emas AS melemah 0,8 persen ke USD2.631,90 (sekitar Rp42,1 juta) per ons. Secara mingguan, harga emas hanya mencatat penurunan tipis 0,1 persen.
Ahli strategi pasar senior di RJO Futures, Bob Haberkorn, mengatakan imbal hasil obligasi AS yang tinggi menjadi salah satu faktor yang menekan harga emas. “Pasar liburan yang tipis ini membuat emas tetap di bawah tekanan hingga penutupan hari ini,” ujarnya.
Indeks dolar AS mencatat kenaikan untuk pekan keempat berturut-turut, memperlemah daya tarik emas bagi pemegang mata uang lainnya. Selain itu, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun tetap berada di dekat level tertingginya sejak 2 Mei, yang sebelumnya dicapai pada Kamis.
Meski begitu, emas tetap menjadi primadona tahun ini dengan kenaikan 28 persen dan mencatat rekor tertinggi di USD2.790,15 (sekitar Rp44,6 juta) per ounce pada 31 Oktober. Kenaikan ini didorong oleh siklus pelonggaran suku bunga Federal Reserve serta meningkatnya ketegangan geopolitik global.
Para analis masih optimistis terhadap prospek emas di 2025. Meskipun The Fed memproyeksikan pemangkasan suku bunga yang lebih sedikit, ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia, aksi beli emas oleh bank sentral, serta kebijakan proteksionisme Trump diperkirakan akan terus memberikan dukungan bagi harga emas.
Haberkorn memperkirakan emas dapat menembus USD3.000 (sekitar Rp48 juta) per ons pada musim panas mendatang jika tren saat ini berlanjut. “Dengan aksi beli bank sentral yang terus kuat tahun depan, emas bisa melampaui angka tersebut,” katanya.
Emas yang biasanya bersinar dalam situasi gejolak ekonomi dan politik, tetap menjadi aset andalan di tengah lingkungan suku bunga rendah. (*)