KABARBURSA.COM – Bursa Efek Indonesia (BEI) dan S&P Dow Jones Indices (S&P DJI) resmi menandatangani kerja sama strategis untuk meluncurkan tiga indeks saham bersama (co-branded indices).
Indeks tersebut mencakup tema keberlanjutan, syariah, dan dividen. Kolaborasi ini digadang-gadang menjadi momentum besar bagi pasar modal Indonesia untuk menembus jaringan investasi global.
Namun di balik ambisi tersebut, muncul pertanyaan mendasar, seberapa realistis potensi komersial dari indeks baru ini di tengah pasar yang belum cukup dalam dan likuid?
Kerja sama yang dilakukan BEI dan S&P DJI mencakup tiga produk utama, yaitu S&P/IDX Indonesia ESG Tilted, S&P/IDX Indonesia Shariah High Dividend, dan S&P/IDX Indonesia Dividend Opportunities.
BEI menyebut kemitraan ini sebagai langkah strategis memperkuat ekosistem pasar modal nasional melalui inovasi, keberlanjutan, dan konektivitas global.
“Kolaborasi ini menandai tonggak penting untuk meningkatkan daya saing global indeks BEI dan membuka peluang komersial baru,” ujar Direktur Utama BEI Iman Rachman, di Jakarta, Senin, 3 November 2025.
Dari sisi konsep, proyek ini memang menjanjikan. Indeks ESG Tilted berfokus pada emiten dengan skor keberlanjutan terbaik versi S&P Global. Hal ini menciptakan tolok ukur baru untuk investasi hijau di Indonesia.
Indeks Shariah High Dividend menggabungkan pendekatan nilai religius dan profitabilitas, kemudian menyaring 30 emiten dengan imbal hasil dividen tinggi sesuai prinsip syariah. Sementara Dividend Opportunities Index diarahkan bagi investor yang mencari pendapatan pasif, yang berfokus pada emiten likuid dengan rasio pembayaran dividen sehat.
Namun, keberhasilan tiga indeks ini tidak hanya bergantung pada konsep, tetapi pada kapasitas pasar untuk menyerap dan memperdagangkannya. Hingga kini, sebagian besar indeks tematik BEI — termasuk IDX ESG Leaders dan IDX High Dividend 20 — belum menunjukkan volume perdagangan yang signifikan. Bahkan belum menjadi acuan utama bagi produk turunan seperti ETF atau reksa dana pasif.
Dengan kondisi itu, rencana BEI menggandeng S&P DJI untuk membawa indeksnya ke panggung internasional perlu dilihat secara realistis. S&P DJI memang memiliki jaringan lisensi global dan pengalaman dalam memasarkan indeks di lebih dari 30 negara.
Tetapi, daya tarik indeks Indonesia akan sangat bergantung pada kedalaman likuiditas dan kredibilitas data ESG lokal. Tanpa perbaikan kualitas pelaporan keberlanjutan dan konsistensi dividen emiten, indeks ini bisa menjadi sekadar window dressing reputasi. Tampak global, tapi minim dampak riil di portofolio investor.
Komersialisasi lisensi offshore
BEI dan S&P DJI berencana menjadikan indeks bersama ini sebagai basis bagi ETF, reksa dana, dan produk turunan di luar negeri. Tetapi sejauh ini, belum ada bukti konkret bahwa lembaga keuangan global siap meluncurkan produk berbasis indeks BEI.
Kendala regulasi, ukuran pasar, serta volatilitas rupiah masih menjadi faktor penahan utama bagi investor asing yang ingin menanamkan dana jangka panjang melalui produk pasif berbasis indeks Indonesia.
Selain itu, indeks berbasis ESG dan syariah menghadapi tantangan ganda, yaitu masih sedikit emiten dengan skor ESG tinggi yang juga memenuhi prinsip syariah dan memiliki dividen berkelanjutan.
Artinya, komposisi indeks bisa terlalu sempit dan sulit mencerminkan pasar yang representatif.
Jika cakupan saham terlalu kecil, likuiditas dan efektivitas indeks sebagai tolok ukur justru dipertanyakan.
Meski demikian, langkah BEI menggandeng S&P DJI tetap penting secara simbolik.
Ini menunjukkan ambisi BEI untuk naik kelas menjadi bursa berorientasi global. Tidak hanya menjadi tempat perdagangan saham domestic, tetapi juga sumber produk keuangan berstandar internasional.
Kolaborasi ini juga dapat meningkatkan persepsi positif terhadap tata kelola dan transparansi pasar Indonesia, terutama di mata investor institusional.
Namun, BEI perlu memastikan bahwa inovasi indeks tidak berhenti pada seremoni peluncuran.
Tanpa implementasi nyata, seperti penerbitan ETF berbasis indeks tersebut, peningkatan jumlah partisipan asing, dan edukasi pasar, kerja sama ini berisiko hanya menjadi proyek branding yang berumur pendek.
Dengan kata lain, kolaborasi BEI–S&P DJI adalah langkah yang visioner di atas kertas, tapi keberhasilannya sangat bergantung pada execution on the ground.
Indeks ESG, syariah, dan dividen memang menjawab kebutuhan investor global, tetapi tanpa infrastruktur pasar yang kuat dan kedalaman likuiditas yang memadai, indeks itu bisa berakhir sekadar sebagai tolok ukur tanpa pengikut.
Langkah ini ambisius dan penuh potensi, tetapi, seperti banyak kebijakan pasar modal sebelumnya, bukti nyata baru bisa datang jika janji globalisasi BEI benar-benar sampai ke layar perdagangan.(*)