KABARBURSA.COM – Di tengah mencairnya ketegangan geopolitik global, pasar keuangan Indonesia mulai menyesuaikan strategi portofolio. Narasi gencatan senjata antara Iran, Amerika Serikat dan Israel sepekan terakhir memang mencuat, namun disebut oleh analis masih bersifat rapuh.
Dampaknya, harga komoditas utama seperti minyak mentah mulai turun dari puncaknya, meski tetap berada pada level yang sensitif terhadap risiko geopolitik lanjutan.
Analis pasar modal dari Traderindo Wahyu Laksono mengatakan, kondisi saat ini bisa menjadi peluang awal bagi investor untuk mulai melakukan rotasi portofolio dari sektor komoditas ke sektor-sektor yang lebih defensif.
“Rotasi ini bukan berarti menjual seluruh eksposur energi atau komoditas, tapi mulai menyeimbangkan portofolio agar lebih tahan terhadap risiko eksternal,” kata Wahyu kepada KabarBursa.com, Minggu, 29 Juni 2025.
Ia mengingatkan, selama situasi di Timur Tengah belum benar-benar stabil, pasar harus tetap waspada terhadap potensi kenaikan harga komoditas secara mendadak.
Dalam lanskap yang belum sepenuhnya pulih, sektor-sektor defensif menjadi sorotan utama. Wahyu menilai sektor perbankan, konsumsi primer, dan telekomunikasi sangat potensial menjadi penopang utama Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Sejumlah Emiten Perbankan dan Primer Jadi Idola
Ia menilai dari sektor perbankan, bank-bank besar nasional seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) menjadi ujung tombak stabilitas IHSG.
Kapitalisasi pasar yang besar dan kinerja fundamental yang kuat membuat emiten-emiten ini tetap diminati investor, termasuk investor asing.
“Sektor perbankan punya pengaruh besar di IHSG. Selama bank-bank besar ini tetap sehat, indeks bisa tetap stabil,” ujar Wahyu.
Sektor konsumsi primer juga menjadi pilihan rasional dalam kondisi penuh ketidakpastian. Perusahaan seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) dinilai memiliki ketahanan karena memproduksi barang kebutuhan pokok yang tetap dibeli masyarakat terlepas dari kondisi ekonomi maupun geopolitik.
Wahyu juga mencatat bahwa meskipun sektor rokok tengah menghadapi tekanan dari sisi regulasi cukai, secara keseluruhan konsumsi primer tetap menunjukkan permintaan stabil dari dalam negeri.
Di sisi lain, sektor telekomunikasi tetap menjadi tulang punggung konektivitas masyarakat modern. Emiten seperti PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dan PT Indosat Tbk (ISAT) disebut memiliki potensi ketahanan karena permintaan layanan data dan komunikasi yang cenderung tidak terpengaruh gejolak global.
Sektor kesehatan juga tidak luput dari perhatian. Emiten seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA), dan PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) dinilai tetap solid karena layanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang tidak tergantikan.
Saham Berkapitalisasi Besar, Keuangan Sehat, Rutin Bagi Dividen Jadi Perhatian
Dalam pandangan Wahyu, saham-saham yang dapat menjadi perhatian utama di masa ketidakstabilan global adalah saham berkapitalisasi besar di sektor-sektor defensif, memiliki neraca keuangan yang sehat, arus kas positif, serta konsisten membagikan dividen.
“Big caps dengan fundamental bagus dan dividen menarik bisa jadi bantalan saat pasar volatil. Tapi tentu keputusan harus didasarkan pada analisis keuangan terbaru,” ujarnya.
Wahyu menegaskan bahwa meskipun tekanan eksternal meningkat, kekuatan domestik Indonesia sangat berarti dalam menjaga ketahanan pasar. Konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari setengah Produk Domestik Bruto (PDB) masih menjadi mesin utama pertumbuhan. Dengan inflasi yang relatif terkendali dan daya beli masyarakat yang terjaga, sektor-sektor berbasis permintaan domestik tetap kuat.
“Pasar domestik kita besar dan masih tumbuh. Ini memberi bantalan kuat saat ekspor atau komoditas terguncang oleh dinamika global,” tambahnya.
Ia juga menilai bahwa belanja pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), proyek infrastruktur, serta program bantuan sosial mampu memperkuat daya beli masyarakat dan memberikan stimulus ke sektor riil. Jika kondisi politik dalam negeri juga stabil, kepercayaan investor terhadap pasar saham Indonesia akan tetap terjaga.
Mengenai minat investor asing, Wahyu menilai Indonesia tetap menjadi tujuan menarik di antara negara-negara berkembang. Faktor-faktor seperti cadangan devisa yang memadai, stabilitas makroekonomi, struktur demografi yang muda dan produktif, serta kepemilikan atas sumber daya komoditas strategis menjadi keunggulan tersendiri.
“Mereka mungkin cenderung wait and see saat ini, tapi secara fundamental Indonesia masih menawarkan potensi pertumbuhan yang tinggi dalam jangka panjang,” katanya.
Dengan pendekatan yang selektif dan fokus pada sektor defensif, pasar Indonesia dinilai tetap memiliki ruang untuk tumbuh meskipun di tengah bayang-bayang ketidakpastian global.
Menurut Wahyu strategi keseimbangan portofolio dan pemilihan emiten berbasis kekuatan domestik menjadi kunci utama dalam menyikapi kondisi saat ini.(*)