KABARBURSA.COM - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang ditransaksikan antarbank di Jakarta hari ini naik 25 poin atau 0,16 persen menjadi Rp16.387 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya pada Jumat, 14 Juni 2024, sebesar Rp16.412 per dolar AS.
Pengamat ekonomi Tri Winarmo mengatakan kondisi rupiah saat ini merupakan mata uang yang paling lemah karena lebih dari 10 tahun terakhir mengalami defisit rata-rata per tahun USD30 miliar. “Rupiah ini adalah mata uang yang paling lemah sekarang, karena di antara negara emerging market rupiah ini terutama indonesia ini besar pasak daripada besar tiang, yaitu lebih dari 10 tahun current account-nya itu defisit rata-rata per tahun USD30 miliar,” kata Tri kepada Kabar Bursa, Rabu, 19 Juni 2024.
Tri mengungkap, sentimen melemahnya rupiah juga difaktori permasalahan lainnya, seperti salah satunya ialah penumpukan hutang, dan pembangunan proyek pemerintah seperti Ibu Kota Nusantara (IKN). “Jadi ini kalo dibayangin kalo 10 tahun jadi USD300 miliar atau Rp4.500 triliun, berarti ada penumpukan utang, apalagi ditambah proyek-proyek pemerintah jika tidak masuk akan seperti IKN, dananya dana utang semua, dan utangnya kebanyakan utang dari luar negeri,” paparnya.
“Orang-orang yang pegang rupiah atau orang yang mau mengutang rupiah itu pada takut, intinya gitu, jadi sekarang permasalahnnya sederhana, rupiah akan semakin melemah atau bisa semakin habis, ingat apabila cadangan devisa di bawah USD100 miliar maka tekanan rupiah akan semakin dasar,” tambahnya.
Lebih lanjut, Tri menilai, kondisi inflasi yang terkendali dan pelemahan rupiah yang terjadi bersamaan dengan depresiasi mata uang mayoritas lainnya membuat peluang Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga cukup terbuka. Namun BI harus memastikan Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga terlebih dahulu guna memastikan tekanan ke rupiah tidak melebar.
“Salah satu jalan adalah melakukan intervensi, selama ini sudah melakukan intervensi, di rata rata Bank Indonesia itu melakukan intervensi sekitar USD6 miliar, jadi harus ditahan itu, dia akan melakukan intervensi, kemarin juga sudah melakukan intervensi, hampir menyentuh batas Rp17.000 dia akan intervensi,” tutupnya.
Suku Bunga BI
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti memandang, ada dua cara yang perlu ditetapkan BI dalam RDG sebagai upaya menjaga nilai tukar Rupiah. Pertama, melakukan operasi pasar dengan menjual mata uang AS ke pasar.
“Operasi pasar, menjual USD yang dimiliki BI ke pasar, agar nilai tukar Rupiah terhadap USD menguat,” kata Esther saat dihubungi KabarBursa, Rabu, 19 Juni 2024.
Langkah kedua, kata Esther, BI bisa perlu meningkatkan suka bunganya. Dengan begitu, investor diyakini tidak akan membawa modal ke luar Indonesia. “Pertama BI akan melepas USD ke pasar jika dirasa tidak bisa terapresiasi, maka BI biasanya menggunakan tingkat suku bunga sebagai salah satu instrumen pengendali moneter,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SEGERA Institute, Piter Abdullah menilai, BI akan tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level 6,25 persen. “Menurut saya BI akan mempertahankan suku bunga,” kata Piter kepada KabarBursa, Rabu 19 Juni 2024.
Piter menilai, menaikan suku bunga tidak serta merta menjadikan nilai tukar Rupiah terhadap AS stabil. Di sisi lain, dia juga menyebut pelemahan Rupiah tidak berkaitan langsung dengan suku bunga.
“Menaikkan suku bunga tdk akan cukup efektif menstabilkan Rupiah. Pelemahan Rupiah bukan faktor bunga,” jelasnya.
Kendati begitu, Piter menyebut tingginya nilai tukar Rupiah berdampak pada sektor importir. Tingginya nilai tukar Rupiah, kata dia, akan sangat berdampak pada sektor industri pengolahan.
Kinerja Ekspor Indonesia
Perlu diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional Indonesia untuk Mei 2024 pada Rabu, 19 Juni 2024. Surplus neraca perdagangan Indonesia tetap kuat selama 49 bulan berturut-turut pada Mei 2024, mencapai USD2,93 miliar. Meskipun terjadi penurunan dari bulan sebelumnya yang mencapai USD3,56 miliar, surplus ini menunjukkan bahwa nilai ekspor masih lebih tinggi dibanding impor.
M. Habibullah, Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, menjelaskan bahwa nilai ekspor Indonesia pada Mei mencatat USD22,33 miliar, naik 13,82 persen dibandingkan April 2024, dan meningkat 2,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Mei adalah USD19,40 miliar, naik 14,82 persen secara bulanan tetapi turun 8,83 persen secara tahunan.
"Surplus Mei ini lebih tinggi dari bulan yang sama tahun lalu, didukung oleh surplus komoditas nonmigas seperti bahan bakar mineral, lemak, dan minyak hewan, serta besi baja," ujar Habibullah.
Peningkatan nilai impor barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal pada Mei juga dicatat, menunjukkan aktivitas perdagangan yang masih cukup dinamis meskipun dengan penurunan secara tahunan pada beberapa sektor tertentu.
Habibullah juga menjelaskan bahwa secara kumulatif hingga Mei 2024, total impor Indonesia mencapai USD91,19 miliar, mengalami penurunan 0,42 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini terutama terjadi pada impor nonmigas, sedangkan impor migas mengalami kenaikan.
Data ini memberikan gambaran bahwa meskipun terdapat penurunan dalam surplus bulan ini, perdagangan internasional Indonesia masih berada dalam kondisi yang sehat dengan ekspor yang mengalami pertumbuhan yang stabil dan upaya untuk mengendalikan impor untuk mendukung keseimbangan neraca perdagangan. (*)