KABARBURSA.COM - Ancaman presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump, terhadap negara-negara BRICS, rupanya membawa pengaruh besar terhadap mata uang sejumlah negara. Rupiah terkoreksi pada penutupan perdagangan Senin, 2 Desember 2024. Begitu pula dengan sejumlah mata uang emerging market Asia.
Pada awal Desember 2024, langkah kontroversial Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengancam negara-negara anggota BRICS agar tidak meninggalkan mata uang dolar, menciptakan ketidakpastian besar di pasar global, khususnya di negara-negara berkembang.
Ancaman tarif tambahan yang diajukan Trump terhadap negara-negara anggota BRICS, yang mencakup Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, serta negara-negara baru seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab, memicu sentimen negatif yang mempengaruhi pergerakan mata uang Asia, termasuk rupiah Indonesia.
Kurs rupiah tercatat ditutup pada level Rp15.905 per dolar AS, melemah 58 poin atau 0,37 persen dibandingkan dengan penutupan sebelumnya yang berada di Rp15.847 per dolar AS.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah penguatan dolar AS, yang dipicu oleh peringatan Trump kepada negara-negara BRICS agar tidak mengadopsi mata uang baru atau mencari alternatif selain dolar AS.
Langkah proteksionis ini semakin memperburuk ketegangan perdagangan global dan memperlihatkan kebijakan yang lebih agresif dari Amerika Serikat.
Selain dampak dari ancaman tarif terhadap negara-negara BRICS, ketidakpastian inflasi jangka panjang yang lagi-lagi dipicu oleh kebijakan Trump, semakin memperburuk kondisi pasar. Di Tiongkok, meskipun aktivitas manufaktur meningkat lebih dari yang diperkirakan pada November 2024, pelaku pasar tetap waspada terhadap potensi hambatan ekonomi akibat perang dagang yang terus berlanjut dengan AS.
Kebijakan stimulus yang dikeluarkan Beijing sejak September kemarin tidak sepenuhnya mampu meredakan dampak negatif dari ketegangan perdagangan global.
Sementara itu, mengutip data refinitiv, pada penutupan perdagangan akhir pekan kemarin, 29 November 2024, rupiah menguat hingga 0,16 persen. Rupiah berhasil ditutup perkasa di level Rp15.840 per dolar AS.
Selama sepekan kemarin, rupiah bergerak cukup stabil dengan mengalami penguatan tipis hingga 0,19 persen dari penutupan minggu sebelumnya, yang berada pada level Rp15.870 per dolar AS.
Bath Thailand Terpukul
Sementara itu, di pasar Asia, dampak dari peringatan Trump terhadap BRICS terlihat jelas pada performa mata uang Asia yang melemah.
Baht Thailand, misalnya, merosot hingga 0,7 persen, menjadikannya mata uang Asia dengan kinerja terburuk pada hari tersebut. Pelemahan ini juga dipengaruhi oleh turunnya harga emas global, yang berdampak signifikan karena Thailand merupakan konsumen utama logam mulia ini.
Selain baht, ringgit Malaysia dan dolar Singapura juga mengalami pelemahan, masing-masing sekitar setengah persen. Kenaikan indeks dolar (DXY) yang menguat 0,1 persen menjadi 106,19 memperburuk kondisi ini. Hal tersebut menambah beban bagi negara-negara berkembang yang semakin tertekan oleh dominasi dolar AS.
Meski demikian, ada pula prediksi yang mengatakan bahwa mata uang Asia mungkin akan mengakhiri tahun 2024 dengan kinerja yang lebih baik, meskipun para analis mengantisipasi kemungkinan pelemahan jika Trump melanjutkan kebijakan tarifnya pada kuartal kedua 2025.
Ketidakpastian mengenai kebijakan ekonomi Trump, terutama terkait dengan tarif dan perang dagang dengan mitra-mitra dagang utama, masih menjadi salah satu faktor yang membayangi prospek pasar global, terutama bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada perdagangan dan stabilitas mata uang.
Di tengah ketidakpastian ini, ekuitas di negara-negara emerging Asia mencatatkan kenaikan pada awal pekan ini.
Saham di Singapura, misalnya, melesat hampir 1 persen, mencapai level tertinggi sejak November 2007, didorong oleh sektor properti dan perbankan. Di Manila dan Taipei, saham masing-masing melonjak sebanyak 1,8 persen dan 2,4 persen, meskipun di Malaysia dan Thailand, pasar saham sebagian besar mengalami stagnasi.
Secara keseluruhan, meskipun ada optimisme terbatas di pasar ekuitas Asia, ketegangan yang ditimbulkan oleh kebijakan proteksionis Trump terhadap BRICS dan ketidakpastian global lainnya tetap memberikan dampak signifikan pada mata uang Asia, termasuk rupiah.
Pergerakan ini menunjukkan betapa rentannya pasar negara berkembang terhadap kebijakan perdagangan dan moneter yang diambil oleh negara-negara besar, seperti Amerika Serikat.
Kini, para pelaku pasar dan investor di Asia harus memantau dengan cermat bagaimana perkembangan selanjutnya terkait ancaman tarif ini, serta implikasinya terhadap mata uang dan ekonomi negara-negara berkembang. Sebab Trump dikenal dengan kebijakan-kebijakan yang overprotective.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.