KABARBURSA.COM - Kedaulatan pangan adalah isu fundamental yang tak dapat lagi diabaikan. Pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik berkepanjangan telah memporak-porandakan rantai pasok pangan dunia. Kondisi ini menuntut pemerintahan Prabowo Subianto untuk mengambil langkah-langkah serius demi menjaga ketahanan pangan nasional. Tanpa respons cepat dan tepat, Indonesia bisa terperosok dalam krisis pangan berkepanjangan.
Data FAO (2023) menunjukkan bahwa 725 juta penduduk dunia mengalami kekurangan gizi. Sebanyak 58 negara menghadapi kelaparan serius. Indonesia, dengan 7-16 persen penduduk rentan kelaparan, dan angka stunting 21,5 persen, juga menghadapi tantangan berat. Situasi ini menunjukkan pentingnya kedaulatan pangan sebagai fondasi untuk mencapai ketahanan nasional. Tidak ada jalan lain, ketahanan pangan harus menjadi prioritas nasional.
Dampak Krisis Pangan Global
Krisis pangan global saat ini dipicu oleh beberapa faktor. Konflik Rusia-Ukraina telah mengganggu pasokan biji-bijian dunia, menyebabkan lonjakan harga pangan global. Perubahan iklim ekstrem semakin memperburuk situasi dengan mengganggu pola tanam dan memicu gagal panen di banyak negara produsen. Fenomena El Nino, yang diperkirakan akan memanas hingga 1,5°C, semakin memperparah kekeringan di wilayah-wilayah sentra produksi.
Permintaan pangan yang meningkat tajam setelah pandemi, bersamaan dengan pemulihan sektor pariwisata dan jasa, juga memperumit keadaan. Pasokan pangan yang terbatas membuat harga meroket. Kebijakan proteksionisme pangan dari negara-negara produsen beras seperti India, Pakistan, dan Vietnam—yang menghentikan ekspor mereka—menambah parah kondisi global. Inflasi pangan yang tinggi turut menggerus daya beli masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia.
Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, tidak luput dari dampak krisis ini. Perubahan iklim menyebabkan ketidakpastian cuaca yang berdampak pada gagal panen di berbagai wilayah. Sementara itu, laju alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 100 ribu hektare per tahun menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan produksi pangan nasional. Sebagai negara kepulauan, masalah distribusi pangan antar-wilayah menjadi tantangan logistik yang mahal dan rumit, memicu disparitas harga yang tinggi antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Kondisi ekonomi global yang tidak menentu juga memberikan tekanan tambahan pada sektor pertanian. Pelemahan nilai tukar rupiah membuat biaya produksi melonjak, sedangkan lemahnya daya saing ekspor menggerus pendapatan petani. Ironisnya, petani sebagai ujung tombak ketahanan pangan justru seringkali menjadi pihak yang paling terdampak. Tanpa perlindungan harga dan kebijakan yang mendukung, mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural.
Swasembada dan Optimalisasi Lahan
Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah telah merancang beberapa langkah strategis. Program swasembada pangan menjadi salah satu solusi utama, dengan fokus pada pengembangan benih unggul dan perluasan lahan pertanian. Lahan rawa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua, direncanakan menjadi lumbung pangan baru. Sementara integrasi padi gogo-sawit di 13 provinsi, diharapkan mampu meningkatkan produksi dengan memanfaatkan lahan yang kurang produktif.
Selain itu, pemerintah mencanangkan proyek cetak sawah 1 juta hektare di Merauke dan 500 ribu hektare di Kalimantan Tengah. Proyek ini didukung oleh revitalisasi sistem irigasi yang mencakup 400 ribu hektare lahan, dengan tujuan untuk meningkatkan intensitas tanam hingga tiga kali per tahun. Pengembangan ini diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan kuantitas produksi, tetapi juga kualitas pangan yang lebih baik.
Modernisasi Pertanian dan Pekarangan Pangan Bergizi
Program Pekarangan Pangan Bergizi (PPB) adalah inovasi lain yang diperkenalkan untuk memperkuat ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Dengan menanam sayuran, umbi-umbian, dan beternak di pekarangan, program ini tidak hanya meningkatkan gizi masyarakat, tetapi juga mengurangi pengeluaran rumah tangga hingga Rp1.400 triliun per tahun. Pendekatan ini diyakini mampu memberikan dampak ekonomi positif bagi keluarga, sekaligus memperkuat kemandirian pangan di tingkat lokal.
Transformasi sektor pertanian menuju modernisasi adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Penggunaan teknologi pertanian presisi, otomatisasi, dan inovasi genetik menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Hilirisasi produk pertanian seperti kakao dan mete, yang nilai tambahnya bisa meningkat hingga 38 kali lipat, harus diperluas ke komoditas lain. Dengan demikian, sektor pertanian dapat menjadi motor penggerak ekonomi nasional, tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan, tetapi juga sebagai produsen produk bernilai tinggi yang mampu bersaing di pasar global.
Sinergi Bersama untuk Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan pemerintah. Dibutuhkan sinergi dari semua pihak: petani, pengusaha, akademisi, dan masyarakat. Petani perlu didukung dengan akses terhadap teknologi, pendanaan, dan pasar yang adil. Pengusaha dapat berperan dalam meningkatkan investasi di sektor pertanian dan memperkuat rantai pasok. Akademisi dan peneliti harus aktif mengembangkan inovasi pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih peduli terhadap konsumsi pangan lokal.
Kesadaran akan pentingnya kedaulatan pangan sebagai bagian dari kedaulatan nasional harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan dan langkah strategis. Ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan stok beras di gudang, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat dapat memproduksi dan mengakses pangan yang cukup, sehat, dan berkelanjutan. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat tegak berdiri di tengah gejolak pangan global dan menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat di atas tanahnya sendiri.
Dengan komitmen kuat dari pemerintah, dukungan dari berbagai pihak, serta partisipasi aktif masyarakat, Indonesia bisa mencapai kedaulatan pangan yang diimpikan. Ini bukan hanya soal ketahanan pangan, tetapi juga tentang masa depan bangsa yang lebih mandiri dan berdaulat. (*)