KABARBURSA.COM – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta atau APBN KiTa Februari 2025 menunjukkan indikasi pelemahan fiskal yang perlu segera diantisipasi.
Defisit fiskal sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13 persen terhadap PDB dalam dua bulan pertama tahun ini, ditambah dengan penurunan penerimaan pajak sebesar 30,19 persen (yoy), menjadi tanda bahaya bagi keberlanjutan kebijakan ekonomi pemerintah.
"Defisit yang tercatat dalam dua bulan pertama tahun ini mengindikasikan tekanan yang cukup berat terhadap kebijakan fiskal. Jika tidak ada langkah korektif yang tegas, bukan tidak mungkin defisit bisa melebar hingga melebihi batas aman di akhir tahun," ujar Achmad keterangan kepada KabarBursa.com pada Selasa,18 Maret 2025.
Dilansir dari data Kementerian Keuangan dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, realisasi pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini. Penerimaan perpajakan mencatatkan angka Rp240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target serta penerimaan kepabeanan dan cukai Rp52,6 triliun atau 17,5 persen dari target.
Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah terkumpul sebanyak Rp76,4 triliun atau 14,9 persen dari target APBN.
Achmad beranggapan bahwa anjloknya penerimaan pajak bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi yang lesu, melainkan juga permasalahan administrasi dan implementasi sistem Coretax yang gagal beroperasi secara optimal.
Menurutnya, jika penurunan pajak murni karena perlambatan ekonomi, maka indikator lain seperti konsumsi rumah tangga dan investasi seharusnya juga menunjukkan kontraksi yang lebih tajam.
"Perlu dibedakan antara dampak perlambatan ekonomi dan faktor teknis dalam kebijakan perpajakan. Penurunan pajak yang drastis ini lebih banyak berkaitan dengan kendala dalam implementasi Coretax yang menghambat pemungutan pajak dari sektor-sektor utama," ujar dia
Selain pajak, daya beli masyarakat disebut menjadi faktor utama yang patut dicermati. Inflasi pangan dan energi yang masih bertahan di atas 4 persen berpotensi menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor terbesar terhadap PDB.
"Jika daya beli masyarakat terus melemah, maka sektor ritel, UMKM, hingga industri manufaktur akan terdampak signifikan. Ini bisa menjadi awal dari perlambatan ekonomi yang lebih dalam," tambahnya.
Untuk mengatasi persoalan fiskal ini, Achmad Nur Hidayat mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan yakni
Petama evaluasi dan perbaikan Coretax. Pemerintah diminta segera membentuk tim khusus untuk melakukan audit menyeluruh terhadap sistem Coretax dan mencari solusi agar pemungutan pajak tidak terhambat lebih lama.
Kedua, optimalisasi belanja negara. Achmad menilai pemerintah harus lebih selektif dalam alokasi anggaran, terutama dalam program-program populis yang belum terbukti efektif. Menurutnya, anggaran sebaiknya dialihkan ke sektor yang bisa langsung meningkatkan daya beli masyarakat dan menciptakan lapangan kerja.
Ketiga diversifikasi sumber penerimaan. Menurut dia ketergantungan pada penerimaan pajak harus dikurangi dengan mengoptimalkan dividen BUMN, pajak karbon, serta potensi dari ekonomi digital dan sektor hijau.
Terakhir, dia meminta pemerintah melakukan kolaborasi antara fiskal dan moneter. Bank Indonesia diinta memainkan peran yang lebih strategis dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
Achmad memperingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah perbaikan fiskal yang konkret, maka defisit berpotensi melebar hingga melampaui batas aman. Hal ini bisa meningkatkan risiko tekanan terhadap APBN dan menghambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
"Kita (Indonesia) tidak bisa hanya menunggu dan berharap ekonomi pulih dengan sendirinya. Reformasi fiskal harus dilakukan segera agar APBN tetap terkendali dan daya beli masyarakat tidak semakin tergerus,"kata dia.
Diberitakan KabarBursa.com sebelumnya. Kementerian Keuangan menjadi sorotan karena penundaan konferensi pers APBN KiTa yang biasanya digelar setiap bulan. Kali ini, yang tertunda adalah edisi Januari 2025.
Bahkan dalam laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani sama sekali tidak memaparkan secara rinci data untuk Januari. Saat ditanya alasannya, ia hanya menjawab singkat, "Sudah tidak relevan, " kata Sri di sela-sela konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis 13 Januari 2025 lalu.
Namun, ketika diminta penjelasan lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Ani itu buru-buru meninggalkan lokasi dengan alasan ada pertemuan dengan analis ekonomi dan Presiden Prabowo Subianto di Istana.
Alasan Penundaan Laporan APBN KiTa
Sri Mulyani Indrawati memilih untuk tidak mengungkap secara rinci faktor-faktor yang membuat data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Januari 2025 belum stabil. Ia hanya menyebut bahwa perkembangan belanja dan pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2025 akan dijelaskan lebih lanjut oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
"Nanti dari teman-teman baik dari sisi belanja pak Wamen Suahasil akan menjelaskan perkembangan dari belanja dan pelaksanaan Inpres Nomor 1 Tahun 2025," ujar Sri Mulyani
Ia mengakui bahwa APBN pada Januari 2025 masih mengalami ketidakstabilan karena berbagai faktor. Hal ini menjadi alasan mengapa laporan kinerja APBN Januari 2025 yang seharusnya dipaparkan pada Februari mengalami penundaan. Namun, Sri Mulyani tidak merinci faktor-faktor yang di maksud.
"Banyak pertanyaan dari teman-teman media kenapa waktu itu bulan Februari tidak dilakukan untuk bulan Januari. Mungkin untuk menjelaskan beberapa hal yang terkait pelaksanaan APBN di awal tahun, yang kita melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyerahkan penjelasan terkait pendapatan negara kepada Anggito Abimanyu, sementara aspek pembiayaan akan dijelaskan oleh Tomy Singgih.
"Kemudian dari pendapatan nanti pak Anggito akan menjelaskan mengenai beberapa hal yang menyangkut perkembangan pendapatan negara, dan juga dari sisi pembiayaan pak Tomy nanti menjelaskan mengenai berbagai hal yang terjadi di below the line," imbuhnya.
Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan menunggu data yang lebih stabil sebelum akhirnya memutuskan untuk merilis laporan APBN Januari 2025.
"Sehingga kami bisa memberikan suatu laporan mengenai pelaksanaan APBN kita 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan," pungkasnya.
Cerminan Penurunan Pajak
Penerimaan pajak pada awal tahun 2025 mengalami penurunan signifikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan, hingga Februari 2025 realisasinya baru mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target tahunan. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp269,02 triliun, angka ini mencerminkan penurunan hingga 30,19 persen.
"Penerimaan pajak Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target (Rp2.189,3 triliun)," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis, 13 Maret 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, menjelaskan ada dua faktor utama yang menyebabkan anjloknya penerimaan pajak, yaitu penurunan harga komoditas utama dan penyesuaian kebijakan administrasi pajak.
"Ada dampak dari penurunan harga komoditas, serta adanya kebijakan administrasi yang menggeser timing penerimaan pajak," ujar Anggito.
Sektor pertambangan yang selama ini menjadi salah satu kontributor utama penerimaan pajak, mengalami pelemahan. Harga batu bara turun 11,8 persen, minyak anjlok 5,2 persen, dan nikel jatuh 5,9 persen secara tahunan.
Kondisi ini berdampak langsung pada pajak yang diterima negara, terutama dari perusahaan pertambangan yang mengalami penurunan profitabilitas.
"Jika dibandingkan dengan tahun lalu, harga komoditas ini mengalami koreksi yang cukup tajam, dan ini mempengaruhi setoran pajak dari sektor pertambangan dan penggalian," kata Anggito.
Selain faktor eksternal, perubahan dalam kebijakan administrasi perpajakan juga mempengaruhi penerimaan. Salah satunya adalah perubahan dalam tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21, serta adanya relaksasi PPN dalam negeri yang menyebabkan keterlambatan pencatatan penerimaan pajak.
"Ada faktor pergeseran timing karena relaksasi PPN yang menyebabkan penerimaan, yang seharusnya masuk pada Februari bergeser ke Maret," jelas Anggito.
Selain itu, perhitungan pajak pada 2024 juga menyebabkan kelebihan pembayaran yang baru terefleksi pada awal 2025.
"Jika kita hitung normalisasi, sebetulnya ada lebih bayar di 2024 sekitar Rp16,5 triliun. Ini yang membuat penerimaan pajak awal tahun terlihat lebih kecil," kata dia.(*)