KABARBURSA.COM - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan berbagai faktor yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil.
Wakil Ketua Umum API, David Leonardi, menjelaskan salah satu faktor utama yang memicu PHK besar-besaran adalah kondisi ekonomi global yang sedang tidak stabil akibat inflasi.
"Kondisi ini diperburuk dengan adanya ketegangan di Timur Tengah yang berdampak pada jalur pelayaran, sehingga meningkatkan ongkos perjalanan secara signifikan," kata David kepada Kabar Bursa, Rabu 19 Juni 2024.
David mengungkapkan, perang antara Israel-Palestina membuat kapal-kapal harus memutar jalur sehingga meningkatkan biaya pengapalan hingga lima kali lipat. Situasi ini menyebabkan kelebihan pasokan, termasuk dari Tiongkok sebagai produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar di dunia, yang kemudian membanjiri pasar global, termasuk Indonesia.
Selain itu, David mengkritik Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, serta dicabutnya Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk pakaian jadi.
Ia menilai kebijakan ini memperburuk situasi dengan membanjirnya produk impor yang bersaing langsung dengan produk lokal di sektor hilir.
"Penurunan pesanan di industri TPT disebabkan oleh membanjirnya produk impor pakaian jadi yang berkompetisi langsung dengan produk dalam negeri," ujar David.
Lebih lanjut, David menjelaskan, penurunan permintaan di sektor hilir akibat stok produk Tiongkok yang lebih murah berdampak domino pada industri intermediate dan hulu TPT di Indonesia. Hal ini mengakibatkan penurunan pesanan dari hilir hingga hulu industri dalam negeri.
Sebelumnya, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), industri tekstil dan pakaian mengalami pertumbuhan yang ekspansif dengan indeks 57,40 persen. Industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki juga menunjukkan peningkatan dengan indeks 55,36 persen.
Sementara data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, realisasi investasi di sektor ini meningkat signifikan pada kuartal I/2024, dengan nilai investasi mencapai Rp27,9 triliun pada 2023, naik dari Rp24,6 triliun pada 2022, dan mencapai Rp6,9 triliun pada kuartal I/2024, meningkat 40 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Namun, pemerintah dinilai hanya fokus pada nilai ekspor dan investasi pabrik yang berorientasi ekspor. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), sebanyak enam perusahaan TPT gulung tikar dan empat perusahaan tekstil melakukan PHK dengan total 13.800 pekerja sepanjang 2024.
Presiden KSPN, Ristadi, menyoroti penurunan omzet perusahaan-perusahaan TPT yang berorientasi pada produk lokal, yang kalah bersaing dengan produk impor. Ia juga mengkritik pemerintah yang kurang memperhatikan perusahaan berorientasi lokal dalam catatan pertumbuhan sektor TPT.
"Pabrik-pabrik yang berorientasi lokal banyak yang tutup atau melakukan PHK efisiensi," ujarnya.
Ristadi khawatir kebutuhan sandang masyarakat Indonesia terus didorong untuk mengonsumsi barang-barang impor, yang mematikan industri TPT dalam negeri. Ia berharap pemerintah, melalui kebijakan yang tepat, bisa membatasi impor dan memberantas produk TPT ilegal untuk melindungi pasar domestik.
"Amankan pasar dalam negeri agar barang-barangnya diisi oleh produk dalam negeri. Sehingga pabrik-pabrik bisa bertahan dan menghindari PHK," tegas Ristadi.
Ia juga mencatat hanya dua perusahaan yang telah memenuhi kewajiban kepada pekerja yang terkena PHK, yakni PT SAI Aparel dan PT Sritex Grup. Namun, 80 persen pekerja di sektor TPT masih belum jelas nasib pesangonnya.
Menaker Akui Gelombang PHK di Industri Tekstil
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengakui bakal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dari Industri Tekstil, hal ini disebabkan tutupnya 6 pabrik tekstil di awal tahun 2024 yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan.
Melihat data dari Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), terdapat 6 perusahaan di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang terpaksa gulung tikar dan 4 perusahaan tekstil yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) efesiensi dengan total 13.800 pekerja sepanjang tahun 2024.
“Jika ada perusahaan yang akan melakukan PHK, tentu yang kami dorong adalah benar-benar PHK itu sebagai jalan terkahir,” kata Ida kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024.
Ida juga mengimbau para pengusaha mengedepankan prinsip dialog dalam menentukan langkah dan nasib para pekerjanya. Dia mengaku, tidak sedikit perusahaan yang berkonsultasi ke Kemenaker sebelum memutuskan akan melakukan PHK.
“Mereka konsultasi, baik manajemennya maupun yang mewakili pekerja, alhamdulilah berakhir dengan kesepakatan dan tidak jadi melakuakn PHK. Upaya-upaya dialog seperti ini terus kami lakukan,” jelasnya.
Di sisi lain, Ida juga mengungkap ciri sektor industri yang berpotensi melakukan PHK. Adapun PHK itu dilakukan karena produksi satu perusahaan yang berkurang, kondisi ekonomi global, dan ketegangan konflik Israel dan Palestina. (yog/*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.