Logo
>

Arus Dana Asing Naik Rp0,69 Triliun, Apa Dampaknya?

Ditulis oleh Dian Finka
Arus Dana Asing Naik Rp0,69 Triliun, Apa Dampaknya?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) mencatat lonjakan arus dana asing dalam transaksi 15-18 Juli 2024, dengan investor asing membukukan beli neto sebesar Rp0,69 triliun. 

    Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono menilai pendanaan tersebut disektor swasta akan memberikan dampak terhadap stabilitas pasar keuangan domestik. “Bila fenomena ini dibiarkan, maka pendanaan untuk sektor swasta ke depan akan semakin sulit dan mahal, dan akan semakin bergantung pada perbankan,” kata Yusuf kepada Kabar Bursa di Jakarta, Rabu 24 Juli 2024.

    Data ini terinci menjadi beli neto Rp0,67 triliun di saham dan beli neto Rp0,40 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), sementara jual neto Rp0,38 triliun di Surat Berharga Negara (SBN).

    Adapun pendanaan untuk sektor ini diprediksi akan semakin sulit dan mahal, sementara perbankan kemungkinan besar akan lebih memilih untuk menempatkan dana mereka di instrumen investasi yang menjanjikan return tinggi seperti SBN dan SRBI.

    “Situasi ini mengindikasikan bahwa operasi fiskal dan moneter akan memakan biaya yang sangat mahal, dan ujungnya akan dibebankan kepada publik melalui pajak yang lebih tinggi di masa depan,” jelasnya.

    Yusuf menambahkan, sudah saatnya BI dan pemerintah memprioritaskan dua kebijakan yang selama ini terabaikan. Pertama, penerapan pajak tambahan atas windfall dari sumber daya alam, yang penting mengingat lonjakan harga komoditas pasca pandemi dan konflik global seperti perang Rusia-Ukraina. 

    Sebagai contoh, ekspor batubara Indonesia melonjak dari USD14,5 miliar pada 2020 menjadi USD 46,8 miliar pada 2022, namun keuntungan dari kenaikan ini belum dirasakan secara merata karena absennya pajak tambahan atas windfall

    “Namun keuntungan dari kenaikan harga komoditas dunia ini tidak dirasakan publik karena negara tidak menerapkan pajak tambahan atas windfall ini,” paparnya.

    Keuntungan dari windfall sepenuhnya dinikmati pengusaha. Hal ini bertentangan dengan konstitusi karena tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

    Kemudian Yusuf juga menyoroti perlunya enforcement yang lebih ketat terhadap repatriasi devisa hasil ekspor (DHE). Kegagalan dalam repatriasi DHE mengurangi efektivitas kebijakan stabilisasi Rupiah, meskipun Indonesia memiliki surplus neraca perdagangan yang kuat senilai USD162,5 miliar. 

    “Nilai kumulatif DHE yang belum direpatriasi mencapai USD165 miliar, lebih besar dari cadangan devisa yang hanya mencapai kisaran USD140 miliar.”ungkap Yusuf

    Dia menekankan, Pemerintah dan BI harus segera menegakkan kewajiban konversi DHE ke Rupiah untuk mendukung pasokan devisa yang signifikan bagi negara.

    “Menjadi amat tidak bermoral ketika surplus neraca perdagangan kita demikian besar namun tidak kembali ke dalam negeri sehingga Rupiah melemah,” tandasnya.

    Langkah-langkah ini dianggap penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mengoptimalkan manfaat dari surplus ekonomi yang ada.

    SRBI dan SBN Melonjak

    Fenomena meningkatnya minat terhadap SRBI dan SBN belakangan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi nasional.

    Dampak dari fenomena ini tidak hanya berdampak pada sektor swasta yang menghadapi tantangan mendapatkan pendanaan yang murah dan mudah, tetapi juga pada perbankan yang cenderung lebih memilih untuk menempatkan dana mereka di SBN dan SRBI yang menjanjikan return tinggi.

    “Stabilisasi Rupiah berbasis intervensi operasi pasar melalui SRBI ini mahal dan terjadi persaingan yang keras dalam memperebutkan dana dengan SBN, Dengan tenor yang pendek, SRBI bahkan juga telah menarik investor di pasar saham,” ujarnya.

    Lanjutnya, dampak negatifnya, dengan operasi fiskal dan moneter yang memerlukan biaya yang semakin tinggi. Biaya ini pada akhirnya akan harus ditanggung oleh publik melalui pajak yang lebih tinggi di masa depan, memperburuk beban ekonomi masyarakat umum.

    “Terjadi nya crowding out effect ini, dimana dana berpindah dari pasar saham dan pasar SBN ke pasar SRBI sehingga stabilisasi dan penguatan rupiah membuat beban pembiayaan defisit anggaran pemerintah menjadi semakin mahal, adalah ironis,” kata Yusuf.

    Keuntungan Investasi SRBI dan SBN

    Kabar Bursa merangkum beberapa keuntungan investasi SRBI dan SBN Sekuritas Republik Indonesia (SRI) dan Sukuk Ritel Bank Indonesia (SRBI) merupakan dua instrumen investasi yang populer di Indonesia, terutama bagi investor yang ingin mendapatkan pendapatan tetap. Berikut adalah tren yang terlihat di tahun 2024:

    Peningkatan Minat Terhadap SRBI:

    • Yield yang Lebih Tinggi: SRBI menawarkan yield yang lebih tinggi dibandingkan SBN dengan tenor yang sama, menarik minat investor yang mencari imbal hasil yang lebih besar.
    • Kebijakan BI: Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Repo Rate (BI7DR) secara bertahap sejak awal tahun 2024. Hal ini mendorong kenaikan yield SRBI.
    • Inflasi: Meningkatnya inflasi di Indonesia mendorong investor untuk mencari instrumen investasi yang dapat melindungi nilai aset mereka dari inflasi. SRBI, dengan yield yang lebih tinggi, dianggap sebagai salah satu pilihan yang menarik.

    Pergeseran Penempatan Dana Perbankan:

    • Dari SBN ke SRBI: Terjadi pergeseran penempatan dana perbankan dari SBN ke SRBI. Hal ini dikarenakan perbankan mencari imbal hasil yang lebih tinggi untuk meningkatkan profitabilitas.
    • Dampak Terbatas: BI meyakinkan bahwa pergeseran ini tidak akan berdampak signifikan terhadap likuiditas SBN di pasar sekunder.

    Perbedaan Performa:

    • SRBI: Performa SRBI di tahun 2024 terbilang stabil dengan yield yang menarik. Namun, perlu diingat bahwa SRBI memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan SBN.
    • SBN: SBN mengalami penurunan harga di awal tahun 2024 seiring dengan kenaikan suku bunga acuan BI. Namun, performanya mulai stabil di kuartal kedua dan ketiga.

    Berikut adalah beberapa prediksi untuk tren SRBI dan SBN di sisa tahun 2024:

    • SRBI: Yield SRBI diprediksi akan tetap stabil dan menarik di sisa tahun 2024.
    • SBN: SBN diprediksi akan terus mengalami tren kenaikan harga seiring dengan stabilnya suku bunga acuan BI. (Dian/*)

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.