KABARBURSA.COM – Kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan China yang diumumkan pada 12 Mei 2025 dinilai sejumlah ekonom menjadi titik balik yang dinanti banyak negara.
Dilansir dari Reuters, kedua negara sepakat untuk menurunkan tarif secara timbal balik selama 90 hari, membuka jalan bagi deeskalasi konflik dagang yang telah menciptakan ketidakpastian luas di pasar keuangan, memperlemah rantai pasok, dan mendorong lonjakan harga global.
Sebelum kesepakatan ini, AS telah menaikkan tarif hingga 145 persen untuk produk China bahkan mengancam menaikkan hingga 245 persen,sementara China membalas dengan tarif 125 persen terhadap produk AS. Langkah ini memicu penurunan guncangan ekonomi global, perdagangan bilateral menurun sebesar USD600 miliar dan meningkatkan kekhawatiran akan resesi global.
Dalam kesepakatan terbaru, AS akan menurunkan tarif pada barang-barang China dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara China akan mengurangi tarif pada barang-barang AS dari 125 persen menjadi 10 persen. Kesepakatan tersebut juga mencakup pembentukan forum konsultasi ekonomi baru untuk memfasilitasi dialog berkelanjutan antara kedua negara.
Pasar global merespons positif terhadap perkembangan ini. Indeks STOXX 600 Eropa naik 1,1 persen, dan DAX Jerman mencetak rekor tertinggi baru, mencerminkan optimisme investor terhadap stabilitas perdagangan internasional yang mulai pulih.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi, menilai kesepakatan tersebut bukan hanya kabar baik untuk stabilitas global, tapi juga sebuah peringatan keras bagi negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Perang dagang Trump vs Jinping adalah lonceng peringatan keras bagi model pertumbuhan berbasis ekspor (export-led growth) yang selama ini dianggap jalur utama pembangunan," ujar Syafruddin melalui keterangan resminya, dikutip Selasa, 13 Mei 2025.
Menurutnya, perjanjian itu menunjukkan bahwa dua ekonomi terbesar dunia pun rapuh di bawah tekanan proteksionisme. Ia menekankan bahwa ketahanan ekonomi tidak bisa lagi hanya bergantung pada pasar global.
Kesepakatan yang dicapai dalam forum bilateral di Jenewa ini disambut positif oleh pasar keuangan global. Indeks STOXX 600 Eropa naik lebih dari satu persen, sementara DAX Jerman mencetak rekor tertinggi baru. Pasar merespons sinyal deeskalasi ini dengan optimisme, melihat peluang untuk berakhirnya era ketidakpastian akibat saling balas tarif antara AS dan China.
Namun, Syafruddin melihat perjanjian itu sebagai momentum awal, bukan garis finish.
"Kesepakatan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu masuk untuk negosiasi lebih luas dan reformasi struktural yang lebih dalam," ucap dia.
Ia mendorong Indonesia agar tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global ini, tetapi aktif memosisikan diri sebagai mitra strategis baru bagi rantai pasok dunia yang mulai berbenah.
Peluang dan Risiko untuk Indonesia
Dengan normalisasi tarif antara AS dan China, peluang ekspor Indonesia ke dua pasar utama itu bisa terbuka lebih lebar. Terutama di sektor manufaktur, Indonesia berpotensi menjadi pemasok alternatif bagi produk yang sebelumnya dikenai tarif tinggi.
Namun, Syafruddin mengingatkan ada risiko tersendiri yang menghadang.
“Trade diversion yang sebelumnya menguntungkan Indonesia bisa berbalik arah. Ketika AS dan China berdamai, mereka bisa saling ambil kembali pasar yang sempat hilang,” ujarnya.
Untuk itu, ia menilai Indonesia perlu segera memperkuat daya saing domestik dan mengakselerasi negosiasi bilateral baru agar tidak kehilangan momentum.
Di tengah rivalitas dua raksasa ekonomi dunia, Syafruddin menilai Indonesia perlu mempertahankan strategi bebas aktif. Ia menggarisbawahi pentingnya kebijakan perdagangan yang mandiri dan adaptif.
“Ketika dua raksasa ekonomi saja goyah menghadapi proteksionisme, negara berkembang harus mulai mempertimbangkan ulang strategi mereka. Kita tidak bisa hanya bertumpu pada ekspor. Kita butuh diversifikasi, inovasi domestik, dan kekuatan pasar dalam negeri," paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran Indonesia dalam forum multilateral seperti ASEAN untuk memperkuat posisi tawar. Melalui forum seperti ASEAN atau G20, Indonesia dinilai bisa mendorong tata perdagangan global yang lebih adil dan prediktabel.
Menurut Syafruddin, Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, terbuka peluang untuk ekspansi ekspor dan peran yang lebih besar dalam rantai pasok global. Di sisi lain, jika tidak siap secara struktural, negara ini bisa kembali tersisih begitu AS dan China memperkuat kembali dominasi mereka.
“Langkah konkret dan visi strategis menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika global, tetapi berperan aktif membentuk arah baru perdagangan internasional,” kata dia.
Kesepakatan AS-Tiongkok mungkin telah menghentikan perang tarif, tapi kompetisi global sesungguhnya baru saja dimulai.(*)