KABARBURSA.COM - Desakan Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Howard Lutnick, agar India mengutamakan kerja sama ekonomi dengan Washington ketimbang tetap berada dalam lingkup BRICS, menjadi sinyal kuat tentang kekhawatiran Amerika terhadap pengaruh forum negara-negara Global South tersebut. Pernyataan itu ia sampaikan dalam forum promosi kerja sama dagang AS-India di Washington pada Selasa, 3 Juni 2025.
BRICS, yang awalnya dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, telah berkembang menjadi forum strategis yang memayungi negara-negara berkembang dalam menghadapi hegemoni ekonomi global. Sejak awal 2025, forum ini resmi menerima sembilan mitra baru—termasuk Indonesia—yang menandai ekspansi penting dalam penguatan pengaruh BRICS+.
Dengan masuknya Belarus, Bolivia, Kuba, Indonesia, Kazakstan, Malaysia, Thailand, Uganda, dan Uzbekistan pada awal tahun ini, serta keanggotaan penuh sebelumnya dari Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab, BRICS kini mencakup 15 negara. Indonesia sendiri diumumkan sebagai anggota penuh oleh Brasil, ketua BRICS saat ini, pada 6 Januari 2025.
Terkait desakan Amerika kepada India, Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai pendekatan tersebut dapat menimbulkan efek sebaliknya. Menurutnya, langkah itu justru bisa memperkuat daya tarik BRICS bagi negara-negara berkembang yang berusaha membangun kemandirian dalam kebijakan ekonomi-politik global.
Syafruddin menggarisbawahi bahwa India masih sangat bergantung pada pasokan bahan baku strategis dari China, terutama rare earth magnets—komponen penting dalam sektor kendaraan listrik, pertahanan, dan energi hijau.
“India tahu betul bahwa pasokan mineral strategis itu dikendalikan oleh Tiongkok, dan mereka harus menjaga jalur dagang tetap terbuka, bukan malah memutuskannya,” katanya dalam keterangannya Kamis 5 Juni 2025.
Ia menyebut, India kemungkinan besar tidak akan begitu saja berpaling dari kerja sama strategis dengan Tiongkok dan Rusia, karena forum BRICS menawarkan jalur kerja sama teknologi dan sumber daya yang tidak bergantung pada sistem keuangan Barat.
Menurutnya, keandalan Amerika dalam menjamin pasokan mineral kritis pun masih dipertanyakan, terlebih ketika kebijakan perdagangan Negeri Paman Sam kerap berubah dan cenderung proteksionis.
Syafruddin melihat tekanan semacam ini bisa menjadi bukti bahwa Washington mulai menganggap serius BRICS sebagai ancaman terhadap pengaruh institusi Barat seperti IMF dan Bank Dunia.
"Kalau AS sampai meminta India atau bahkan Indonesia keluar dari BRICS+, itu justru jadi pengakuan tidak langsung bahwa BRICS telah menjadi ancaman strategis bagi dominasi institusi-institusi Barat seperti IMF dan Bank Dunia,” ujarnya.
Brics Menarik: Memperkuat posisi Tawar
Ia menilai, dalam situasi seperti ini, BRICS justru semakin menarik karena memberi ruang bagi negara-negara Global South untuk memperkuat posisi tawarnya secara kolektif, tanpa perlu tunduk pada tekanan geopolitik dari kekuatan besar.
“Alih-alih menjauh, Indonesia seharusnya melihat peluang besar dari keterlibatan dalam BRICS+ untuk memperkuat daya tawar globalnya, termasuk dalam negosiasi perdagangan, pendanaan pembangunan, hingga transisi energi,” terang Syafruddin.
Menurutnya, dikotomi lama antara memilih AS atau melawan AS sudah tidak cocok lagi dalam struktur global yang makin multipolar. Negara seperti Indonesia justru bisa memainkan peran sebagai penyeimbang baru dalam dunia yang dinamis.
Jika kemudian tekanan semacam itu juga diarahkan ke Indonesia, kata dia, sikap strategis dan berhati-hati harus menjadi pegangan utama. “Menolak tekanan bukan berarti memusuhi, tapi menjaga otonomi dan posisi tawar dalam percaturan global,” tutup Syafruddin.
Untuk diketahui, pemerintah Indonesia sendiri tengah menyiapkan lanjutan perundingan dagang dengan Amerika Serikat. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa tim perunding akan segera diberangkatkan kembali ke Washington DC dalam waktu dekat.
Langkah itu diambil setelah pertemuan Airlangga dengan Jamieson Greer dari Kantor Perdagangan AS di sela forum tingkat menteri OECD di Paris. Dalam pertemuan tersebut, sinyal positif datang dari pihak AS terhadap dokumen usulan Indonesia.
“Ambassador Greer mengapresiasi proposal Indonesia sebagai basis yang baik untuk mendapatkan pertimbangan bagi Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers virtual, Rabu malam, 4 Juni 2025.
Perundingan ini merupakan bagian penting dari strategi perdagangan luar negeri Indonesia. Putaran awal telah menyentuh isu-isu krusial seperti tarif, hambatan non-tarif, perdagangan digital, serta keamanan ekonomi.
“Pemerintah akan memberangkatkan tim delegasi Indonesia pada pekan depan sebagai negosiator. Delegasi Indonesia akan mengirim tim ke Washington untuk melakukan negosiasi putaran selanjutnya,” kata Airlangga.
Ia menekankan bahwa posisi Indonesia dalam perundingan tetap berorientasi pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan kepentingan nasional. “Agar penyelesaian perundingan ini Indonesia menjadi salah satu dari 18 negara yang diperkirakan dokumennya sudah lebih maju,” ujarnya.(*)