KABARBURSA.COM - Bank Dunia mengungkapkan bahwa lebih dari dua miliar orang di seluruh dunia masih kekurangan akses terhadap air minum yang aman. Akses terhadap air minum yang aman dan sanitasi sangat penting bagi pembangunan dan perekonomian suatu negara.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Manuela V Ferro, menyatakan bahwa selama 20 tahun terakhir, jumlah orang yang kekurangan air minum yang aman telah meningkat sebanyak 197 juta, sementara jumlah orang yang kekurangan sanitasi dasar meningkat sebanyak 211 juta.
Sebanyak 3,5 miliar orang tidak mendapatkan fasilitas sanitasi yang dikelola dengan aman. Akibatnya, penyakit menular yang timbul dari kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi ini berkontribusi terhadap setidaknya 1,4 juta kematian setiap tahunnya dan menyebabkan 50 persen dari total malnutrisi global.
“Saat ini, lebih dari dua miliar orang masih kekurangan akses terhadap air minum yang aman, dan 3,5 miliar orang tidak mendapatkan fasilitas sanitasi yang dikelola dengan aman,” kata Ferro dalam keterangan tertulis pada Selasa, 21 Mei 2024.
Ferro menambahkan bahwa perubahan iklim memperbesar risiko terkait air, apalagi dengan adanya emisi global yang terus meningkat. Negara-negara berkembang, menurutnya, adalah yang paling terkena dampak guncangan iklim.
Antara tahun 2000 dan 2021, negara-negara berkembang mengalami kekeringan yang lebih parah dan banjir yang berlangsung lebih lama dibandingkan dengan negara-negara maju. Hal ini memiliki dampak jangka panjang terhadap gizi, angka kehadiran di sekolah, kesejahteraan ekonomi, dan bahkan menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat.
“Untuk mengembangkan mata pencaharian masyarakat, diperlukan reformasi dan investasi yang signifikan untuk menyediakan layanan air dan sanitasi yang dikelola secara efisien bagi mereka yang tidak memiliki akses serta untuk memperkuat ketahanan terhadap risiko hidroklimat,” jelas Ferro.
Menurutnya, solusi berbasis alam seperti reforestasi dan investasi pada infrastruktur penyimpanan air terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini. Reforestasi membantu mengurangi limpasan air dan memastikan ketersediaan air selama musim kemarau.
Selain itu, Ferro menekankan pentingnya kebijakan peningkatan perumahan serta rencana tata ruang dan tata guna lahan yang mencegah pembangunan di daerah rawan banjir.
Sistem peringatan dini dan asuransi juga bisa membantu rumah tangga dan petani mengatasi guncangan akibat perubahan iklim yang ekstrem. Penyedia layanan air dan sanitasi juga perlu meningkatkan cara kerjanya agar dapat mengurangi kehilangan air dan menurunkan biaya operasional.
Krisis air ini memerlukan perhatian segera dan tindakan kolektif dari berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat internasional. Investasi yang tepat dalam infrastruktur air dan sanitasi, serta penerapan kebijakan yang mendukung ketahanan terhadap perubahan iklim, dapat membantu mengatasi tantangan ini dan membawa manfaat jangka panjang bagi kesehatan dan kesejahteraan global.
Separuh Populasi Dunia Sudah Alami Kelangkaan Air Bersih
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan bahwa sekitar setengah populasi dunia mengalami kelangkaan air pada tahun 2022. Informasi ini berdasarkan laporan UN Water 2024, lembaga PBB yang menangani isu air global.
“Menurut laporan UN Water 2024, pada tahun 2022 sekitar setengah dari populasi dunia menghadapi kelangkaan air,” ujar Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu, Tri Tharyat, dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center ( BNDCC), Minggu, 19 Mei 2024.
Tri menambahkan bahwa, berdasarkan laporan yang sama, 2,2 miliar orang hidup tanpa akses air minum yang layak, dan 3,5 miliar orang kekurangan akses sanitasi. Masalah ini dianggap sebagai isu serius yang perlu segera ditangani.
Akibat dari permasalahan ini, pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait ketersediaan air dan sanitasi berkelanjutan diakui tidak berjalan sesuai rencana.
“Laporan Sekjen PBB menyebutkan bahwa dari target 2030, pada tahun 2023, negara berkembang secara umum baru mencapai 12 persen. Ini adalah tantangan bersama,” ujar Tri.
Untuk Indonesia, Tri mengklaim bahwa situasinya lebih baik. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang cukup maju dalam pencapaian SDGs tersebut.
“Indonesia termasuk negara yang cukup maju dalam pencapaian SDGs ini. Pada tahun 2023, target yang dicapai Indonesia melebihi 66 persen,” kata Tri.
Pertemuan World Water Forum (WWF) ke-10 menjadi kesempatan bagi negara-negara untuk berdialog mengenai kesenjangan hak atas air di dunia. WWF ke-10 berlangsung di Nusa Dua, Bali, pada 18-25 Mei 2024.
Forum air terbesar dunia ini akan berfokus pada empat hal: konservasi air, air bersih dan sanitasi, ketahanan pangan dan energi, serta mitigasi bencana alam.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengajak seluruh masyarakat global untuk mendukung program tata kelola perairan yang berkelanjutan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan dalam Dialog G20 Global Blended Finance Alliance yang membahas ‘Sustainable Freshwater and Ocean Wealth’, sebagai bagian dari World Water Forum (WWF) di Denpasar, Bali.
Menurut Trenggono, saat ini, kesenjangan pendanaan menjadi salah satu hambatan utama dalam pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan.
“Forum ini sangat penting sebagai solusi untuk mengatasi kesenjangan pendanaan demi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama di negara-negara berkembang, negara kepulauan kecil, dan negara-negara yang tertinggal,” ujarnya.
Data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menunjukkan bahwa diperlukan pendanaan sekitar USD175 miliar per tahun untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan. Namun, data dari tahun 2013-2018 menunjukkan bahwa pendanaan untuk SDGs Goal 14 hanya mencapai USD2,9 miliar per tahun.
Trenggono menilai bahwa Skema Global Blended Finance Alliance (GBFA) memiliki peran penting sebagai jembatan untuk mengatasi kesenjangan pendanaan, terutama bagi negara-negara berkembang, kepulauan kecil, dan negara-negara yang tertinggal dalam menghadapi perubahan iklim dan mencapai target SDGs 14.
GBFA melibatkan pemerintah, filantropi, pasar karbon, sektor swasta, pendanaan internasional, serta investor nasional dan internasional.
“Pertemuan ini memiliki peran strategis dalam kolaborasi dan sinergi antara negara-negara dan stakeholder untuk mewujudkan Sustainable Freshwater and Ocean Wealth,” ungkapnya.
Trenggono juga menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki lima program ekonomi biru untuk pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.
Program-program tersebut termasuk perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan berkelanjutan berbasis kuota, pengembangan budidaya berkelanjutan di laut, pesisir, dan darat, pengendalian dan pengawasan pemanfaatan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta aksi pembersihan sampah plastik di laut melalui partisipasi nelayan.
Trenggono menegaskan bahwa program-program ini berhubungan erat dengan tata kelola sumber daya perairan yang berkelanjutan.
Melalui lima program ekonomi biru tersebut, Indonesia bertujuan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perairan, memastikan ketersediaan pangan dari sektor kelautan dan perikanan, serta mencapai pemerataan pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir.
Dia juga menggarisbawahi pentingnya ekosistem perairan yang sehat dalam menangani perubahan iklim global saat ini.
“Indonesia siap untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam hal kebijakan, sumber daya manusia, data dan teknologi, pendanaan, serta memperkuat jaringan pasar dan pelaku usaha,” pungkasnya.
2050 air bersih akan langka
Pada 2050 air diperkirakan bakal menjadi barang langka di bumi. Kekhawatiran ini diperkuat dengan ketersediaan fresh water yang semakin menyusut.
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Medrilzam, mengatakan sejatinya bumi memiliki cadangan air yang banyak. Namun, tidak bisa dimanfaatkan penuh oleh makhluk hidup.
“Dari neraca yang ada, bumi kita memang airnya banyak, tapi ternyata fresh water yang bisa dimanfaatkan itu terlihat kecil,” kata Medrilzam di acara ‘Peran PBB dan Indonesia dalam World Water Forum’ di Jakarta, Kamis, 16 Mei 2024.
Dari ketersediaan yang ada, ungkap Medrilzam, fresh water di bumi hanya sekitar 2,5 persen. Hal inilah yang menyebabkan air di bumi tidak bisa dimanfaatkan dengan banyak.
Kata Medrilzam, ada beberapa analisa yang menyebut pada 2050 tahun mendatang penduduk dunia bakal mengalami water tress atau kelangkaan air.
“Beberapa analisa menyebut bahwa nanti di 2050 water tress besar sekali,” ungkapnya.
Menurut Medrilzam, kejadian itu bisa terjadi lantaran air di dunia semakin banyak digunakan penduduk di bumi.
“Kebutuhan air yang tadi hanya sedikit sekali, tapi semakin lama kebutuhan semakin besar,” katanya.
Medrilzam mengatakan, permasalahan itulah menjadi perhatian khusus pihaknya selama gelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali mendatang.
Sebagai informasi, World Water Forum akan digelar pada 18-25 Mei 2024 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.
World Water Forum merupakan pertemuan internasional yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan di sektor sumber daya air, mulai dari pemerintah, parlemen, pemimpin politik, lembaga multilateral, politisi, akademisi, masyarakat sipil, dan pelaku usaha.
Acara ini akan menjadi platform untuk membahas masalah kritis terkait air, termasuk pengelolaan air yang berkelanjutan, adaptasi terhadap perubahan iklim, dan air dan sanitasi.
Forum Air Dunia ke-10 ini mengusung enam sub tema, yakni ketahanan dan kesejahteraan air, air untuk manusia dan alam, pengurangan dan pengelolaan risiko bencana, tata kelola, kerja sama, dan hidro-diplomasi, pembiayaan air berkelanjutan, dan pengetahuan dan inovasi.
Hasil forum diharapkan dapat menghasilkan komitmen dan tindakan nyata untuk mencapai pengelolaan air yang lebih baik dan berkelanjutan.
Sementara itu Spesialis Water, Sanitation, Hygiene Unicef, Maraita Listyasari menyebut keseriusan Indonesia dalam mengatasi sumber air bersih sudah baik. Menurutnya, pemerintah sudah mampu meningkatkan akses layanan air minum dan sanitasi dasar.
“Data yang ada menyebutkan dari tahun 2000 hingga 2023, sudah cukup tinggi signifikan peningkatan akses kelahiran sanitasi,” tutur dia dalam kesempatan yang sama.
Pemerintah Indonesia, jelas Maraita, sudah berkomitmen dalam memenuhi target tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan ini, dia berujar target yang ingin dicapai pemerintah kini mempunyai standar kualitas yang lebih tinggi.
“karena ingin memberikan banyak manfaat yang lebih baik untuk masyarakat maka berbagai hal perlu ditingkatkan di area inilah yang kami lakukan bagaimana untuk mendukung pemerintahan Indonesia dalam mengatasi kendala-kendala yang ada dihadapi khususnya dalam menyediakan akses air minum,” pungkas dia.