KABARBURSA.COM - Bank Dunia melaporkan bahwa kawasan Asia Timur dan Pasifik yang tengah berkembang tetap mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dibandingkan wilayah lain di dunia pada 2024, meski laju ekspansinya melambat jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi.
“Negara-negara di Asia Timur dan Pasifik terus menjadi lokomotif bagi ekonomi global. Namun, kecepatannya mulai melambat,” ujar Vice President of the World Bank for East Asia and the Pacific, Manuela V Ferro, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa 8 Oktober 2024.
Menurut proyeksi Bank Dunia, perekonomian kawasan ini akan tumbuh sebesar 4,8 persen pada 2024 dan 4,4 persen pada 2025. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan proyeksi April 2024 yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 4,5 persen pada 2024 dan 4,3 persen pada 2025. Kendati demikian, proyeksi ini tetap menunjukkan perlambatan signifikan dibandingkan periode 2015-2019, ketika rata-rata pertumbuhan mencapai 6,4 persen per tahun sebelum pandemi melanda.
Manuela menekankan bahwa agar mampu mempertahankan momentum pertumbuhan dalam jangka menengah, negara-negara di kawasan ini harus segera berbenah dengan memodernisasi serta mereformasi struktur ekonominya. Langkah ini diperlukan untuk menghadapi dinamika perubahan pola perdagangan dan pesatnya perkembangan teknologi.
Dalam laporan East Asia and The Pacific Economic Update edisi Oktober 2024 yang dirilis pada hari yang sama, Bank Dunia mengidentifikasi tiga faktor utama yang berpotensi mempengaruhi laju pertumbuhan Asia Timur dan Pasifik: pergeseran arus perdagangan dan investasi, perlambatan ekonomi Tiongkok, serta meningkatnya ketidakpastian kebijakan global.
Manuela menjelaskan bahwa ketegangan perdagangan yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah menciptakan peluang baru bagi negara-negara seperti Vietnam untuk mengambil peran yang lebih signifikan dalam rantai pasokan global dengan merangkul mitra dagang utama. Meski demikian, ruang gerak ini bisa menyempit jika aturan asal barang (rules-of-origin) yang lebih ketat diberlakukan untuk membatasi impor dan ekspor.
Sebagai contoh, perusahaan Vietnam yang mengekspor ke AS mencatatkan pertumbuhan penjualan hampir 25 persen lebih cepat dibandingkan dengan penjualan ke destinasi lain selama periode 2018-2021. Namun, dinamika tersebut bisa berubah dengan pemberlakuan regulasi baru.
Selain itu, Manuela menggarisbawahi bahwa negara-negara di sekitar Tiongkok telah meraup keuntungan besar dari pertumbuhan pesat ekonomi Tiongkok selama tiga dekade terakhir. Namun, seiring perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu, dampak positif ini pun turut memudar. Tercatat, impor Tiongkok hanya tumbuh 2,8 persen dalam tujuh bulan pertama 2024, jauh di bawah laju pertumbuhan tahunan hampir 6 persen selama dekade sebelumnya.
Di sisi lain, ketidakpastian global juga berpotensi memberikan dampak negatif bagi kawasan Asia Timur dan Pasifik. Di luar risiko geopolitik, ketidakpastian dalam kebijakan ekonomi global yang meningkat dapat menekan produksi industri dan menurunkan harga saham di kawasan hingga masing-masing 0,5 persen dan 1 persen.
Untuk itu, Bank Dunia merekomendasikan agar negara-negara di Asia Timur dan Pasifik memperkuat pilar pertumbuhan domestik dengan segera melaksanakan reformasi mendalam yang selama ini tertunda. Selain itu, percepatan penyelesaian perjanjian perdagangan internasional yang lebih komprehensif, baik di dalam kawasan maupun dengan negara-negara ekonomi utama lainnya, dinilai penting untuk menciptakan ekosistem perdagangan yang lebih terbuka dan stabil.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Bank Dunia telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,9 persen menjadi 5 persen pada tahun 2024. Pertumbuhan ini diperkirakan solid berkat perkembangan kelas menengah dan kebijakan ekonomi yang prudent.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, sependapat dengan proyeksi ini. Ia memperkirakan ekonomi Indonesia tahun ini akan tumbuh di kisaran 5 persen hingga 5,1 persen. Prediksi ini juga sesuai dengan perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB), yang sama-sama memproyeksikan pertumbuhan 5 persen.
Namun, Josua mengingatkan bahwa pemerintah harus tetap waspada terhadap berbagai tantangan yang bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah pertumbuhan konsumsi yang masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal I-2024, ekonomi tumbuh 5,1 persen, namun konsumsi hanya meningkat 4,91 persen.
Pendapatan riil masyarakat juga belum sebanding dengan kenaikan biaya hidup, terutama di kalangan kelas menengah. Untuk mengatasi ini, Josua menekankan pentingnya peningkatan produktivitas ekonomi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan teknologi produksi. Dengan input yang sama, output yang lebih besar dapat dihasilkan.
Peningkatan produktivitas diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia. Josua menambahkan, kunci untuk mencapai target menjadi negara maju pada 2045 adalah transformasi struktural. Jika langkah ini diambil, pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen per tahun bisa menjadi kenyataan.
Dari sisi eksternal, pemerintah disarankan untuk meningkatkan perannya dalam rantai nilai global, sehingga bisa memberikan kontribusi lebih besar melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketergantungan pada sektor komoditas juga perlu dikurangi dengan mendorong kebijakan hilirisasi, memperpanjang rantai pasokan domestik, dan mencari sumber produk atau tujuan ekspor baru.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) juga perlu ditingkatkan untuk mendukung semua agenda tersebut. Josua menyarankan agar pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan teknologi terkini, sehingga bisa menyesuaikan kebutuhan industri. Dengan peningkatan kualitas SDM, produktivitas akan meningkat, yang pada gilirannya akan menarik lebih banyak investasi.
Investasi yang masuk berpotensi menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi mendekati potensinya.(*)