Logo
>

Bank Dunia Soroti Rencana Kenaikan PPN 12 Persen

Ditulis oleh KabarBursa.com
Bank Dunia Soroti Rencana Kenaikan PPN 12 Persen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Bank Dunia atau World Bank menyoroti rencana pemerintah untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025.

    Kebijakan ini diperlukan sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang telah disahkan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki struktur pajak secara keseluruhan.

    Meski belum ada kesepakatan mengenai kelanjutan kebijakan ini di pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Bank Dunia menganggap kenaikan tarif pajak sebagai langkah untuk mendorong reformasi dari perspektif perancangan kebijakan.

    Namun, mereka menekankan perlunya langkah-langkah tambahan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan agar kebijakan ini dapat memberikan dampak yang signifikan.

    Tanpa langkah-langkah tersebut, Bank Dunia menilai bahwa kenaikan tarif pajak tersebut tidak akan mencapai tujuannya secara optimal.

    "Dampak kenaikan tarif PPN akan terhambat oleh basis pajak yang sempit dan rendahnya kepatuhan pajak. Reformasi yang dimulai melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada tahun 2021 dapat diperkuat dengan langkah-langkah jangka pendek dan menengah," demikian rilis Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024, yang dikutip, Senin, 1 Juli 2024.

    Untuk jangka pendek, Bank Dunia merekomendasikan reformasi ini dapat dilengkapi dengan menetapkan ambang batas pajak yang lebih rendah, menghapus pengecualian pajak yang ada, serta memperbaiki mekanisme audit untuk meningkatkan kepatuhan pajak.

    Sedangkan, untuk jangka menengah, ada opsi untuk meningkatkan pengumpulan pajak dengan meningkatkan akses dan ketersediaan data dari pihak ketiga untuk mengawasi dan mengonfirmasi pendapatan, serta usaha untuk mengatur ulang perekonomian informal.

    "Penerimaan pajak yang lebih tinggi pada gilirannya dapat membiayai bantuan sosial untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin yang terkena dampak tarif PPN yang lebih tinggi," ujar Bank Dunia.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun mendatang akan menjadi tanggung jawab pemerintahan selanjutnya yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka

    "Mengenai PPN saya sudah sampaikan, sekali lagi saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya," ucapnya Sri Mulyani saat konferensi pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, Senin, 24 Juni 2024.

    Efisiensi Pemungutan Pajak

    Bank Dunia juga menilai penerimaan fiskal dari kenaikan tarif PPN bisa meningkat jika efisiensi pemungutan pajak bisa digenjot. Indonesia menghadapi tantangan efisiensi yang membatasi potensi kenaikan tarif pajak untuk menghasilkan tambahan pendapatan pajak.

    Menurut Bank Dunia, rasio efisiensi PPN yang hanya sebesar 0,5324 adalah 0,17 poin di bawah rata-rata negara-negara tetangga. Sebagai catatan, rasio 1 menunjukkan sistem pemungutan pajak yang sangat efisien.

    "Hal ini menunjukkan bahwa potensi pendapatan yang dapat dipungut dengan tarif yang berlaku saat ini hampir sama. dua kali lipat dari pemungutan pajak sebenarnya," ungkap Bank Dunia.

    Jika rasio C-collection membaik ke tingkat yang setara dengan negara-negara lain di kawasan, perkiraan menunjukkan bahwa keuntungan fiskal dari kenaikan tarif PPN dapat meningkat hingga 32 persen. Peningkatan ini di luar keuntungan saat ini.

    Bank Dunia mengatakan kekurangan dari sisi penerimaan selama ini berasal dari desain kebijakan PPN dan rendahnya kepatuhan pajak. Bukti dari negara-negara lain menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN yang ditetapkan undang-undang mungkin hanya menghasilkan sedikit atau tidak ada tambahan pendapatan tambahan jika tantangan ketidakpatuhan terus berlanjut.

    "Rendahnya efisiensi perpajakan disebabkan oleh sempitnya basis pajak dan rendahnya kepatuhan, sehingga mengakibatkan terbatasnya pemungutan pajak tambahan jika tarif dinaikkan," tegas Bank Dunia dalam laporan IEP.

    Rendahnya efisiensi pemungutan pajak dapat disebabkan oleh kebijakan perpajakan, kepatuhan perpajakan dan struktur perekonomian. Pertama, rancangan kebijakan pajak di Indonesia memiliki tarif yang rendah, ambang batas yang tinggi, dan banyak pengecualian, sehingga menghasilkan basis pajak yang sempit.

    Kedua, kepatuhan pajak yang rendah karena tantangan penegakan hukum, prevalensi penghindaran pajak, dan rendahnya tingkat pajak. semangat pajak di kalangan pembayar pajak.

    Ketiga, perekonomian ditandai dengan tingginya informalitas, yang mengecualikan banyak perusahaan dari sistem perpajakan.

    Selain itu, dangkalnya sektor keuangan membatasi akses perusahaan terhadap pembiayaan formal, yang menyebabkan perusahaan harus bergantung pada laba ditahan untuk membiayai operasi bisnis, sehingga mendorong penghindaran pajak.

    "Sektor keuangan yang dangkal juga membatasi kemampuan otoritas pajak untuk memantau dan menegakkan, sehingga membatasi bukti dari sektor perbankan yang dapat digunakan untuk audit," tulis Bank Dunia.

    Penelitian menunjukkan bahwa memanfaatkan lembaga keuangan formal untuk simpanan dan modal kerja kredit membantu otoritas pajak untuk melacak pendapatan dan aset, sehingga meningkatkan pengumpulan pajak. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi