Logo
>

Bank Internasional Putus Dukungan ke Adaro Energy, Ada Apa?

Ditulis oleh Dian Finka
Bank Internasional Putus Dukungan ke Adaro Energy, Ada Apa?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Lebih dari 54 ribu individu mendesak bank-bank internasional ternama seperti Citi, DBS, Deutsche, JP Morgan, dan Morgan Stanley untuk menghentikan pendanaan kepada Adaro Energy Indonesia, menyusul dugaan praktik greenwashing perusahaan dalam langkah ekspansi bisnisnya.

    Adapun desakan ini dilakukan melalui petisi yang dikoordinasikan Binbin Mariana, Juru Kampanye Energi dan Keuangan Asia Market Forces, dan Ekō, sebuah lembaga yang berfokus untuk mendorong agar perusahaan menerapkan praktik yang berkelanjutan. 

    “Tidak ada pengecualian, seluruh ekspansi tambang batu-bara akan membahayakan masa depan iklim global,” kata Binbin, di Jakarta, Senin 8 Juli 2024.

    Citi, sebagai salah satu yang ditargetkan dalam petisi, pernah terlibat dalam kredit sindikasi untuk Adaro sebesar USD400 juta. Sementara kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang diberlakukan JPMorgan dan Deutsche Bank masih memungkinkan mereka untuk memberikan pembiayaan untuk perusahaan yang merusak lingkungan.

    “Perbankan yang tetap bersikeras melanjutkan dukungan dan pendanaan ke Adaro menghadapi risiko gagalnya target penurunan emisi mereka,” tegasnya.

    Meskipun Adaro awalnya mengumumkan akan menghentikan eksplorasi dan ekspansi batu bara termal, rencana anak usahanya, Adaro Minerals, untuk menambang batu bara metalurgi (coking coal) telah menarik perhatian. 

    Binbin menyatakan bahwa ekspansi batu bara metalurgi memiliki dampak serupa dengan batu bara termal terhadap perubahan iklim global. Dia menegaskan bahwa bank-bank yang tetap memberikan pendanaan kepada Adaro berisiko gagal mencapai target penurunan emisi mereka.

    Batu bara metalurgi digunakan dalam produksi baja, namun ekspansi ini dianggap tidak sejalan dengan target global untuk mencapai skenario net zero emisi gas rumah kaca.

    Analisis dari Reclaim Finance dan Bank Track menunjukkan bahwa antara 2016 hingga 2023, perbankan global telah menginvestasikan lebih dari USD31,9 miliar ke perusahaan batu bara metalurgi, meskipun hanya sedikit bank yang memiliki kebijakan tegas terhadap investasi semacam itu.

    Will O’Sullivan dari Bank Track menyuarakan kritik terhadap klaim bahwa ekspansi batu bara metalurgi dapat dianggap sebagai bagian dari transisi hijau, mengingat adanya alternatif investasi yang lebih ramah lingkungan seperti peleburan logam listrik dan baja dengan menggunakan hidrogen hijau.

    “Perbankan masih memiliki banyak opsi untuk melakukan alternatif investasi ke proyek yang lebih rendah karbon seperti peleburan logam listrik dan baja yang menggunakan hidrogen hijau. Bank harus meninggalkan perusahaan yang tidak memiliki rencana transisi yang kredibel dan sejalan dengan sains iklim,” jelas Will.

    Apekshita Varshney dari Ekō menyoroti pentingnya bank-bank memiliki kebijakan yang menghentikan investasi dalam batu bara metalurgi untuk mendukung tujuan global mengurangi emisi. Dia menegaskan bahwa batu bara termal dan metalurgi merupakan sisi dari masalah yang sama yang bertentangan dengan upaya perlindungan iklim.

    “Sangat penting bagi perbankan untuk memiliki kebijakan penghentian investasi batu-bara metalurgi dalam level project maupun corporate financing. Batu-bara termal dan metalurgi adalah dua sisi dari koin yang sama, yang berlawanan dengan target iklim,” tutur Apekshita Varshney, Juru Kampanye dari organisasi Ekō.

    Adaro saat ini memiliki tambang Kestrel di Queensland, Australia, yang telah mencapai produksi 5,57 juta ton batu bara metalurgi pada tahun 2023 dengan potensi produksi hingga 175 juta ton. Di Indonesia, Adaro juga memiliki konsesi tambang batu bara metalurgi seluas 146,579 hektar, dengan tiga dari lima area konsesi tersebut merupakan tambang baru.

    “Alih-alih menghentikan dan mengurangi ketergantungan terhadap seluruh jenis batu bara, Adaro malah menggunakan kedok ekonomi hijau untuk melanjutkan eksploitasi batu bara,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

    Namun, penilaian dari pihak seperti Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa Adaro menggunakan alasan ekonomi hijau untuk melanjutkan eksploitasi batu bara, sementara organisasi ini menyerukan pemerintah untuk lebih tegas dalam membatasi tambang batu bara dan mendorong energi terbarukan guna mengurangi risiko bencana iklim di masa depan.

    “Seharusnya pemerintah tidak hanya berhenti di kebijakan early retirement PLTU batu bara. Untuk memastikan bahwa masa depan seluruh masyarakat Indonesia aman dari bencana iklim yang bertambah parah, pemerintah seharusnya memiliki kebijakan untuk membatasi tambang batu bara, dan mendorong energi terbarukan,” Bondan menegaskan.

    Kabar Bursa menghubungi pihak Adaro Energy terkait bank internasional yang memutus dukungan, akan tetapi hingga berita ini diturunkan Kamis 11 Juli 2024 tidak ada tanggapan.

    Emiten Batubara Tertekan

    Prospek kinerja emiten batubara hingga pertengahan tahun ini belum menunjukkan kebangkitan yang signifikan. Dari segi harga saham, pergerakannya bervariasi, meskipun mayoritas berada dalam tren penurunan.

    Emiten batubara dengan kapitalisasi pasar terbesar, PT Bayan Resources Tbk (BYAN), masih termasuk dalam saham laggard yang menggerus indeks. Beberapa saham batubara mengalami penurunan setelah momentum pembagian dividen, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA).

    Emiten besar lainnya, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), mengalami penurunan harga saham dalam empat perdagangan berturut-turut. PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Indika Energy Tbk (INDY) juga mengalami tren penurunan minggu ini

    Meskipun harga saham turun, 2024 ini, PT. Adaro Energy berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan operasional yang signifikan sepanjang tahun 2024. Pendapatan utama didorong oleh divisi pertambangan batubara, yang terus menjadi penyumbang terbesar bagi total pendapatan perusahaan.

    Muhammad Wafi, Analis RHB Sekuritas Indonesia, juga memperkirakan kinerja kuartal II emiten batubara belum akan menunjukkan perubahan signifikan. Harga batubara dan volume penjualan belum banyak meningkat. Namun, dari sisi pembukuan, bisa jadi ada perbaikan karena pergerakan kurs dolar dan rupiah.

    Wafi menyoroti dua faktor yang mengganjal kinerja emiten batubara pada semester pertama. Pertama, harga batubara yang tertinggal dibanding komoditas tambang lainnya, terutama logam. Kedua, kendala persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari pemerintah yang mempengaruhi tingkat produksi. Namun, kondisi diperkirakan membaik pada semester II seiring dengan periode La Nina yang meningkatkan curah hujan dan mengurangi suplai.

    Meski harga batubara masih di atas level USD100 per ton, belum bisa stabil menembus level USD140. Merujuk TradingEconomics, harga batubara berada di posisi USD135,90 per ton hingga akhir pekan ini. (Dian/*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.