KABARBURSA.COM - Harga batu bara dunia mengalami tekanan pada Selasa, 12 November 2024, seiring penurunan drastis impor batu bara dari India. Data dari pasar menunjukkan harga batu bara Newcastle untuk November 2024 stagnan di level USD142,25 per ton. Untuk kontrak Desember 2024, harganya melemah USD0,25 menjadi USD143,75 per ton, sementara kontrak Januari 2025 turun lebih dalam lagi sebesar USD0,5 menjadi USD144,9 per ton.
Di sisi lain, batu bara Rotterdam justru menguat meski tipis. Harga batu bara Rotterdam untuk November 2024 naik USD0,05 ke level USD120,85 per ton, sedangkan kontrak Desember 2024 mengalami peningkatan USD0,2 menjadi USD122,25. Untuk Januari 2025, harga naik USD0,15 ke level USD122,35 per ton.
India Stop Belanja, Pasar Batu Bara Lesu
Berdasarkan laporan Reuters, penurunan impor batu bara India pada bulan Oktober 2024 terbilang signifikan. Volumenya merosot hampir sepertiga dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Data dari firma analitik Bigmint dan Kpler mencatat, penurunan ini dipicu oleh melemahnya permintaan listrik berbasis batu bara serta meningkatnya pasokan energi terbarukan di India.
Impor batu bara termal ke India, negara pengimpor terbesar kedua di dunia, turun hingga 31,8 persen menjadi 13,56 juta metrik ton. Ini merupakan penurunan terbesar dalam 15 bulan terakhir dan merupakan penurunan beruntun pertama sejak Juli 2023.
Meskipun pedagang memperkirakan impor India akan kembali naik dalam beberapa minggu mendatang, proyeksi tersebut diprediksi tidak akan mampu mendongkrak total impor tahunan ke level tahun 2023. Stok yang tinggi di pelabuhan juga membuat impor batu bara India diproyeksikan akan tetap lemah di penghujung 2024.
Stagnan, Pasokan Banyak tapi Permintaan Minim
Direktur I-energy Natural Resources Ltd, Vasudev Pamnani, salah satu perusahaan perdagangan batu bara di India, mengungkapkan meskipun aktivitas industri tidak terlalu tinggi, para pedagang sudah membawa banyak pasokan batu bara ke India. Ia memperkirakan total impor batu bara termal India sepanjang 2024 kemungkinan stagnan di sekitar 176 juta ton, sejalan dengan minimnya permintaan tambahan.
Pengiriman batu bara India, yang sebagian besar digunakan untuk pembangkit listrik, selama ini kerap mengimbangi peningkatan impor oleh China. Tren ini turut menjaga harga internasional. Namun, penurunan impor India di bulan Oktober mencatatkan perubahan mencolok, yang pertama sejak pertengahan 2023, dalam laju pertumbuhan impor antara India dan China.
Sementara itu, impor batu bara termal dan metalurgi China justru melonjak 29 persen pada Oktober, terutama didorong oleh peningkatan impor batu bara termal. Tren ini menunjukkan bahwa impor batu bara China siap mencetak rekor tertinggi lagi pada 2024. Berbeda dengan India yang cenderung memilih batu bara lokal karena lebih murah, di China, harga batu bara impor malah lebih bersaing dibandingkan batu bara dalam negeri.
Produksi listrik tenaga air di China yang turun pada September juga meningkatkan ketergantungan pada batu bara. Namun, di India, produksi listrik tenaga air dan tenaga surya yang lebih tinggi mengurangi kebutuhan pasokan batu bara.
Biar Cuan Enggak Cuma dari Batu Bara
Penurunan impor batu bara India yang signifikan menyoroti pergeseran kebutuhan energi global, terutama di kawasan Asia, yang semakin berpaling ke sumber energi terbarukan. Tren ini juga tercermin di pasar domestik Indonesia, di mana pendanaan untuk energi terbarukan mulai menemukan jalannya melalui Bursa Efek Indonesia.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyarankan para investor untuk mencermati sejumlah faktor dalam penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) perusahaan energi terbarukan. Langkah ini didorong oleh adanya peluang pendanaan energi terbarukan melalui Bursa Efek Indonesia (BEI).
IESR menilai, pasar modal dapat menjadi alternatif bagi perusahaan energi terbarukan untuk memperoleh pendanaan dari investor. Pendanaan ini dinilai penting untuk mereformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mendukung implementasi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai upaya mempercepat transisi energi bersih.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan investor sebaiknya mencermati faktor pendukung (enabling environment) yang akan memperkuat pengembangan energi terbarukan di Indonesia, seperti kebijakan, regulasi, ekosistem bisnis, stabilitas negara, dan kondisi makroekonomi.
Selain itu, Fabby menilai investor perlu melihat fundamental perusahaan. Selain itu, kata dia, investor perlu memperhatikan sejumlah hal, antara lain prospek pengembangan bisnis ke depan, daya saing, keunikan produk, keterampilan dan keahlian, pengalaman, kredibilitas, kemitraan, serta strategi pengembangan dan pertumbuhan bisnis untuk mencapai profitabilitas berkelanjutan.
“Kalau saya sebagai investor, misalnya, akan memilih membeli saham energi terbarukan ketimbang saham batu bara. Namun, saya harus melihat prospek perusahaan energi terbarukan yang IPO, apakah proyeksinya berkembang cepat atau lambat,” katanya, Sabtu, 9 November 2024.
Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia menargetkan karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat dengan target bauran energi bersih sebesar 23 persen pada 2025 dan 40 persen pada 2030. Dari sisi industri energi terbarukan, Indonesia juga memiliki potensi energi terbarukan yang besar.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi surya di Indonesia mencapai 3.295 gigawatt (GW), hidro 95 GW, bioenergi (biogas dan biomassa) 57 GW, bayu (angin) 155 GW, arus laut 60 GW, dan panas bumi 24 GW, sehingga totalnya mencapai 3.686 GW. Namun, hingga 2023, pemanfaatan energi bersih baru mencapai 12,54 GW.
Kementerian ESDM juga menetapkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035, bahwa target bauran energi bersih minimal 60 persen. Komitmen ini diperkuat oleh PT PLN (Persero) yang akan melibatkan swasta dalam pembangunan pembangkit energi terbarukan hingga kontribusi sebesar 60 persen.(*)