Logo
>

BBNI Buka Peluang Divestasi Saham BRIS, Apa yang Ditunggu?

Ditulis oleh Syahrianto
BBNI Buka Peluang Divestasi Saham BRIS, Apa yang Ditunggu?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) menanggapi pemberitaan tentang rencana divestasi saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).

    BBNI menegaskan komitmennya sebagai pemegang saham pengendali BSI untuk mendukung pengembangan BSI dan industri syariah, termasuk melalui aksi korporasi seperti divestasi saham.

    "Proses divestasi, jika dilakukan, akan dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan mematuhi seluruh peraturan yang berlaku, termasuk keterbukaan informasi," jelas Corporate Secretary BBNI Okki Rushartomo Budiprabowo.

    Saat ini, BBNI menguasai 23,24 persen saham BSI atau setara 10,72 miliar saham, yang diperoleh melalui penggabungan Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah pada 1 Februari 2024.

    Meskipun berkomitmen untuk BSI, BBNI tidak menutup kemungkinan untuk melepas sebagian saham BSI secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan modal ekspansi anak usahanya.

    "Prioritas kami adalah mengembangkan BSI, namun jika diperlukan, kami bisa saja melepas sebagian saham BSI," ujar Direktur Utama BNI Royke Tumilaar.

    Royke menambahkan, BNI mempertimbangkan ekspansi ke BNI Life atau BNI Asset Management, sehingga sebagian saham BSI dapat dialihkan ke anak usaha tersebut.

    Terkait investor BSI, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyatakan opsi saat ini adalah menambah porsi kepemilikan saham publik atau free float karena belum adanya investor strategis yang ideal dari Timur Tengah.

    Dari data RTI Business, selain BBNI, pemegang saham pengendali lainnya adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dengan kepemilikan 51,27 persen atau 23,74 miliar saham. Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga menjadi pengendali dengan kepemilikan 15,38 persen atau 7,09 miliar saham di BSI.

    Sementara itu, pemerintah memiliki saham dwiwarna di BSI, sementara kepemilikan publik atas saham BSI mencapai 9,87 persen atau sekitar 4,54 miliar saham. Sebelumnya, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan sejauh ini pihaknya masih akan mempertahankan kepemilikan saham BRIS.

    Namun, pihaknya mengakui kemungkinan untuk melepaskan sebagian saham BRIS secara bertahap seiring kebutuhan modal untuk ekspansi ke sejumlah anak usaha. "Intinya kami masih ingin memiliki [saham] BSI, tapi jika nanti kita butuh modal untuk yang lain, pasti kita akan menjual sebagian saham BSI,” jelasnya usai acara Peluncuran wondr by BNI, Jumat, 5 Juli 2024.

    Royke menambahkan bahwa pihaknya kemungkinan akan melakukan ekspansi ke BNI Life atau BNI Asset Management, sehingga sebagian saham yang ada di BSI akan dialihkan ke anak usaha perseroan tersebut.

    Terbaru, Kementerian BUMN melaporkan belum adanya investor strategis yang ideal bagi BSI dari Timur Tengah. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyatakan opsi bagi BSI saat ini adalah dengan menambah porsi kepemilikan saham publik atau free float.

    "Ini karena investor swasta di Timur Tengah belum ada yang ideal. Jadi, lebih ke peningkatan free float," ujar Tiko, sapaan akrabnya, setelah acara DBS Asian Insights Conference 2024 pada Selasa, 21 Mei 2024.

    Kinerja Bank BNI

    berhasil menunjukkan kinerja yang solid di kuartal pertama 2024. Berbagai data yang dipaparkan dalam dokumen Makro Ekonomi dan Kinerja BBNI, menunjukkan pencapaian yang mengesankan di tengah berbagai tantangan ekonomi global.

    Total aset BNI tercatat mencapai Rp1.067 triliun pada Maret 2024, meningkat 5,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.012 triliun. Peningkatan ini mencerminkan ekspansi bisnis yang agresif namun tetap sehat.

    Total kredit yang disalurkan BNI juga mengalami pertumbuhan yang signifikan, mencapai Rp695 triliun, naik 9,6 persen dari Rp634 triliun pada Maret 2023.

    “Peningkatan kredit ini sejalan dengan peningkatan Loan to Deposit Ratio atau LDR menjadi 89 persen, menunjukkan efisiensi dalam pengelolaan likuiditas,” tulis BNI dalam dokumennya yang diterima KabarBursa, Selasa, 9 Juli 2024.

    Dana murah atau Current Account Saving Account (CASA) BNI juga tumbuh 6,0 persen YoY, mencapai Rp544 triliun pada Maret 2024, dibandingkan Rp513 triliun pada Maret 2023. Pertumbuhan dana CASA ini penting karena memberikan biaya dana yang lebih rendah bagi bank.

    Sementara itu, laba bersih BNI meningkat sebesar 2,0 persen YoY, dari Rp5,2 triliun pada kuartal pertama 2023 menjadi Rp5,3 triliun pada kuartal pertama 2024.

    Sementara itu, rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan atau NPL BNI berhasil ditekan menjadi 2,0 persen pada kuartal pertama 2024, turun dari 2,8 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini menunjukkan peningkatan kualitas kredit yang disalurkan oleh BNI.

    “Rasio keuangan lainnya juga mencatatkan performa yang baik, dengan Loan at Risk (LaR) sebesar 13,3 persen, dan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang kuat di level 20,5 persen,” catat BNI.

    Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI Senin, 8 Juli 2024, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menjelaskan suku bunga Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR) yang tetap tinggi di level 5,5 persen berdampak pada pelemahan nilai tukar Rupiah.

    Hingga 21 Juni 2024, Rupiah terdepresiasi mencapai Rp16.450 year to date, dan melemah 6,4 persen hingga akhir Juni, lebih dalam dibandingkan rata-rata negara berkembang lainnya yang 5,3 persen. “Implikasinya ke Indonesia rupiah pun tidak imun,” kata Royke.

    Meskipun Rupiah terdepresiasi, kata Royke, investor asing mulai masuk ke Indonesia. Pada semester pertama 2024, tercatat portofolio net inflow sebesar USD2 miliar ke pasar finansial. SRBI menjadi tujuan utama investasi asing dengan net inflow sebesar USD4,1 miliar ytd, meskipun terdapat outflow dari pasar obligasi dan pasar saham sebesar USD2,1 miliar.

    Dengan adanya tekanan terhadap Rupiah, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada RDG April 2024 menjadi 6,25 persen. Hal ini juga berdampak pada kenaikan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar 65 basis poin.

    Kebijakan ini berhasil menarik foreign inflow dan menstabilkan Rupiah, namun juga menyebabkan penyerapan likuiditas Rupiah yang signifikan melalui instrumen operasi pasar terbuka, mencapai Rp890 triliun atau tiga kali lipat dari posisi pra-pandemi, dengan SRBI menyumbang 70 persen dari total operasi pasar terbuka. “Kesimpulannya, likuiditi agak ketat,” kata Royke. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.