KABARBURSA.COM – Ketua Umum Asosiasi Sepeda Motor Listrik Indonesia (Aismoli) Budi Setyadi, mengatakan pemerintah bersama asosiasi sedang gencar mengupayakan agar pemasaran motor listrik tidak hanya di kota besar, tapi juga di wilayah pinggiran dan pedesaan.
Budi menuturkan, ada beberapa strategi yang akan ditempuh untuk mengupayakan sepeda motor listrik bisa sampai ke daerah, baik melalui kebijakan pemberian insentif dan non insentif.
“Sebagaimana yang disampaikan Deputi Kemenko Maritim, ke depan kita akan lebih massif lagi. Strategi pertama adalah edukasi kepada masyarakat supaya menggunakan sepeda motor listrik. Ini harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dengan asosiasi,” kata Budi saat dihubungi Kabarbursa.com, Rabu, 16 Oktober 2024.
Strategi berikutnya adalah meneruskan program pemberian subsidi motor listrik seperti yang telah dilakukan pemerintah. Menurutnya, subsidi motor listrik harus tetap diberikan untuk meningkatkan minat masyarakat sekaligus mengurangi harga motor listrik di pasaran.
Selama ini tanpa subsidi penjualan motor listrik tersendat karena masyarakat selalu menunggu ada insentif atau potongan harga dari pemerintah baru melakukan pembelian motor listrik. Tanpa subsidi harga motor listrik relatif tinggi dan berkisar antara Rp20-28 jutaan bergantung merek dan spesifikasi.
Budi mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengupayakan dengan mendatangi DPR agar motor listrik kembali menambah kuota subsidi pembelian motor listrik.
Dukungan Pemerintah Daerah
Budi menilai, upaya meningkatkan populasi motor listrik di Indonesia butuh dukungan dari pusat dan daerah. Menurutnya, mendapat dukungan dari pemerintah daerah adalah salah satu strategi meningkatkan populasi motor listrik di daerah.
“Ini yang menjadi komitmen kita di industri (motor listrik). Karena memang kita juga berkewajiban mendorong ini. Saya tadi minta kepada Menkomarves agar ada peran dari pemerintah daerah karena dalam amanat Perpres No 55 ada (dukungan) insentif dan disinsentif,” jelasnya.
Dalam hal ini insentif sifatnya untuk kepentingan industri. Sementara untuk non fiskal adalah disinsentif seperti dukungan dari sisi regulasi.
“Kalau masyarakat menggunakan sepeda motor yang combustion engine (konvensional) mungkin nggak boleh melalui jalan ini atau nggak boleh lewat di jam-jam tertentu,” jelasnya.
Ia berharap pemerintah daerah mengambil peran dalam memasyarakatkan motor listrik karena saat ini masuk dalam era transisi energi. Menurutnya, transisi energi tidak hanya menjadi kewajiban dari pemerintah pusat saja, tapi juga pemda.
“Daerah juga harus berperan juga. Dan nanti kita harapkan peran dari pemerintah daerah, baik apapun kota, provinsi, lebih banyak lagi yang sifatnya adalah policy brief gitu. Policy brief atau policy untuk melakukan insentif yang non fiskal atau disentif kepada penggunaan kendaraan-kendaraan yang combustion engine,” ujarnya.
Subsidi Bukan yang Utama
Di lain pihak, Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu, menyarankan pemerintah agar tidak sekadar mendorong peningkatan populasi motor listrik di Indonesia dengan subsidi, tapi juga dengan menetapkan standar untuk meningkatkan kualitas.
Terkait dengan standar yang harus diupayakan mencakup mutu, dimensi, voltase dan soket baterai. Beberapa hal tersebut merupakan sesuatu yang urgen untuk dijaga kualitasnya melalui standar. Standar tersebut, kata dia, perlu dukungan regulasi.
“Semua perlu segera diimplementasi sebagai sebuah standar Indonesia agar produksi battery pack Indonesia dapat berkembang pesat seiring dengan perkembangan sepeda motor listrik tersebut,” kata Yannes kepada Kabarbursa.com beberapa waktu lalu.
Selain itu, hal lain yang perlu ditindaklanjuti pemerintah adalah edukasi publik berkelanjutan terkait dengan pentingnya kesadaran mengenai isu lingkungan hidup.
“Kesadaran mengenai isu lingkungan hidup perlu digenjot dari usia SMP melalui pendidikan di semua sekolah yang membuat generasi mud akita kelak semakin menyadari dan memahami pentingnya menciptakan lingkungan hidup yang lebih bersih,” ujarnya.
Agar pertumbuhan motor listrik di Indonesia tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, Yannes meminta pemerintah mempercepat pertumbuhan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) tidak hanya di kota besar tapi juga ke pelosok atau daerah terpencil.
“Meski pabrikan memberi alternatif untuk mengisi daya motor listrik di rumah, sepertinya masyarakat masih enggan, karena proses pasang home charging di rumah harus menambah daya,” tuturnya.
Di sisi lain, kebanyakan kapasitas daya listrik di rumah hanya 900 watt ke bawah sehingga untuk menghadirkan motor listrik perlu menambah daya. Sementara untuk menambah daya perlu ongkos lebih.
Ia juga meminta pemerintah selaku pihak yang berupaya keras mengupayakan peralihan dari motor konvensional ke listrik harus tahu segmentasi usia terbesar pembeli motor listrik.
“Pembeli sepeda motor listrik diprakirakan berada di rentang 20-40 tahun, terutama dari kelompok sosial menengah ke atas yang menggunakannya untuk mobilitas perkotaan saja,” jelasnya.
Jumlah dari kelompok usia dan kelas sosial tersebut masih lebih kecil ketimbang masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurutnya, mentalitas budaya konsumen di Indonesia, terutama pembeli pertama low class cenderung memilih kendaraan murah dan memiliki likuiditas tinggi saat akan dijual kembali.
Kelompok ini juga mempertimbangkan biaya operasional jangka panjang. Mereka takut mengeluarkan uang besar tanpa mendapat kepastian terkait dengan daya tahan dan besaran biaya operasional, termasuk servis dan perawatan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.